Falsafah

Gejala Kematian Peradaban Ilmu

4 Mins read

Siapa yang bisa menolak fakta bahwa peradaban Barat hari ini merupakan kiblat bagi ilmu pengetahuan. Buktinya, mayoritas pemikir intelektual terkemuka di berbagai bidang, karya-karya terobosan yang menjadi rujukan utama, dan tempat-tempat menimba ilmu paling didamba pasti berada di Barat.

Di belahan bumi lain, lebih tepatnya di negara-negara mayoritas Muslim pada umumnya mengalami kondisi yang sebaliknya. Kemunculan intelektual baru merupakan sesuatu yang langka. Berduyun-duyun warganya berebut beasiswa. Akreditasi kampus seringkali hanya huruf-angka yang tak mewakili nyata.

Lantas ternyata terdapat banyak gejala yang menunjukkan bahwa kondisi demikian relatif akan bertahan hingga waktu yang cukup lama di masa depan. Cita-cita pemugaran dan reposisi Islam menjadi pusat peradaban merupakan sesuatu yang sepertinya selamanya akan sekedar jadi cita-cita.

Potret Kemunduran

Pengamatan tersebut sangat dapat dijustifikasi. Berbagai contoh dari setiap sudut-sudut wilayah keilmuan toh menunjukkan demikian. Kita bisa mencoba merunut mereka satu-persatu. Mulai dari apa yang mungkin paling mudah kita berikan perhatian. Pertama, pada output atau capaian penelitian kita.

Kenyataan yang sulit dibantah bahwa judul-judul penelitian di kampus masih berpola replikasi-modifikasi dan miskin filosofi-metodologi. Ketika di luar sana topik penelitian diarahkan pada pembaharuan demi kemajuan, di sini hanya sekedar pemenuhan atas berbagai ketentuan dan tampilan permukaan.

Sama halnya dalam proses yang menjadikan output itu. Akan segera kita temukan bahwa pendidikan tinggi selama ini salah menembak sasaran. Satu di antara banyak alasannya karena minim wawasan, keterampilan, dan mindset yang tepat pada kepemimpinan akademis itu sendiri.

Kebijakan mereka soal minimal tahun jurnal yang dikaji, metodologi penelitian yang kompleks, variabel-variabel yang tampak baru, dan objek penelitian yang unik.

Semua itu mengaburkan tujuan yang sebenarnya: menemukan celah atau kekosongan dalam literatur dan urgensi serta solusi kreatif untuk mengisinya.

Baca Juga  Beda Antara Islamisasi Ilmu dan Humanisasi Ilmu Keislaman

Jalan Instan

Di tengah tuntutan akreditasi dan internasionalisasi pula kampus-kampus menuntut publikasi hingga scopusisasi. Tidak jarang mahasiswa itu mengambil jalan instan. Mereka membayar mafia-mafia terbitan demi dapat selembar surat penerimaan naskah. Soal kualitas usahlah dipikirkan.

Kesejahteraan yang minim dari para akademisi di satu sisi menjadikan mereka predator. Namun, sifat serakah, tak pernah puas juga penting dimengerti berkontribusi. Mereka sebetulnya dikonstruksi dan dijustifikasi oleh logika ekonomi neoliberal yang telah begitu merasuk menjangkiti perguruan tinggi.

Dalam logika ini akan dimafhumi bila ilmuwan, ilmu, institusi itu semuanya sekedar bagian dari mesin-mesin ekonomi. Masing-masing saling menyangga demi kesuksesan mereka secara bersama-sama untuk bertahan hidup di tengah dunia yang gemar inflasi. Ilmu sebagai komoditas tentu tidak terkecuali.

Minim Kesadaran Literasi

Gejala lain yang menggelisahkan adalah masih minimnya kesadaran literasi di antara para akademisi. Tugas-tugas membaca dan menulis masih dipandang sejajar dengan administrasi. Jadinya membaca hanya sekedarnya, menulis ya secukupnya.

Lebih banyak lagi akademisi yang tidak pernah membaca apalagi menulis. Tapi jangan khawatir, ada tugas akhir mahasiswa yang bisa ditumpangi. Meskipun di sini kentara betul ironismenya. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak membaca dan menulis dapat mengajari tugas yang sama kepada orang lain?

Tidak jarang sumber-sumber yang tidak layak kemudian dikutip. Atau yang lebih berbahaya yakni plagiasi atau membuat kutipan fabrikasi. Kalau dikritik jawaban mereka mudah saja: tulisan yang baik adalah yang selesai dan terbit. Mereka punya banyak publikasi yang pada hakikatnya hanya jadi polusi!

Maka jangan heran ada ribuan buku dan jurnal baru yang terbit tiap tahun. Namun, apakah dibaca khalayak? Tidak perlu, karena toh honorarium publikasi sudah dikantongi. Nanti mudah saja mahasiswa diwajibkan mensitasi. Dengan enteng, profil penulis mereka di google cendekia nampak mentereng.

Baca Juga  Pemikiran Kalam Imam Syafi'i: Kritis terhadap Mutakallim

Terlalu Mendewakan

Tapi gejala paling kronis bukanlah itu. Teks atau literatur entah mengapa menjadi sakral ketika telah sampai di meja kerja para ilmuwan. Tokoh ini, tokoh itu, seperti dewa yang mustahil dilampaui. Tugasnya hanya melanjutkan tapi jangan sampai di luar koridor yang ‘dewa-dewa’ itu telah buat.

Karya-karya para dewa itu tetap saja digandrungi hingga ini. Sekalipun mereka ditulis seribu tahun lalu. Dibaca dalam-dalam, lama-lama, khawatir ada yang terlewati. Lantas dikatakan, menurut dewa A, dewa B, demikian dan begini. Tugas peneliti tinggal mengkaji dan memverifikasi.

Mereka lupa bahwa dewa-dewa itu punya zaman yang berbeda. Tidak ada jaringan, tidak ada ruang untuk diskusi dan publikasi secara intens, dan pisau analisis yang juga terbatas oleh apa yang sementara itu tersedia. Banyak sekali keterbatas. Lantas, mengapa masih saja dimitoskan?

Karena mereka itu ilmuwan paripurna, katanya. Hafal seluruh isi kitab suci, menguasai luasan segala ilmu, dan yang paling utama: mereka hatinya suci. Tidak mungkin mereka lalai, berbohong, atau khilaf. Duh, para ilmuwan klasik ini sudah naik kelas menjadi nabi rupanya.

Tak Ada Kebaruan

Gatal sekali ilmuwan hari ini. Teori ini, lagi-lagi ini, seolah semua-semua bisa diatasi. Ya maqoshid bisa ekonomi, bisa pendidikan, bisa kesehatan. Sah-sah saja, tapi sebetulnya apa tujuannya? Sekedar membuktikan bahwa teori itu masih valid, benar, dan ulama-ulama itu sungguh luar bisa dibanding kita.

Literasi rendah, dikombinasi dengan pengultusan berlebih adalah resep kehancuran paling mujarab. Habis beratus-ratus halaman, berjam-jam waktu hanya untuk mengulas hal itu-itu. Tidak ada kebaruan, yang ada bahwa ini teori ulama kami, segala macam masalah bisa diurusnya.

Disebutnya Islamisasi, Integrasi, Ilmuisasi, padahal sama saja secara esensi. Bahwa yang lalu senantiasa—bahkan harus—relevan dengan hari ini. Jika menolak tuduh imannya, worldviewnya, tidak Islami. Jika akhirnya mereka minim kontribusi, lempar tuduhan ke masyarakat karena kurang islami.

Baca Juga  Stoikisme: Kebajikan Tidak Digapai dengan Malas Berpikir dan Rebahan

Islami versimu itu yang seperti apa?

Arabisasi

Satu-dua di antara mereka mulai bosan. Separuhnya sadar bahwa ikut mengekor akan sedikit untungnya. Maka, mereka membuka kembali kitab-kitab itu. Membacanya dalam-dalam, lama-lama, agak lebih serius kali ini. Mencari-cari konsep apa yang belum popular bagi pembaca.

Mereka mengais-ngais. Pada satu bagian rupanya ini sudah banyak dikaji para ilmuwan psikologi. Berlanjut pada bagian lain juga sudah diuraikan panjang-lebar di bidang kedokteran. Sementara bagian yang sedikit ini tidak luput pula. Ia sudah habis diperas oleh para sosiolog.

Solusi akhirnya arabisasi. Ambil satu konsep, cari padanan kata di kamus bahasa arab. Jelaskan bahwa tidak hanya secara istilah, ia juga mengandung perbedaan yang tajam.

Kaitkan saja dengan yang spiritual, yang metafisik. Tekankah bahwa ia beda dengan yang sekuler. Terkhusus kata terakhir ini penting. Legenda mengatakan bahwa ia ampuh sekali untuk memantik alergi. Coba saja sendiri, dijamin segera banyak yang mengangguk mendukung.

Di balik kerja-kerja destruksi ini mereka tidak sendiri. Ada banyak sekali yang lain yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka sudah berhasil dalam seribu tahun ini. Nampaknya mereka masih akan berhasil pada seribu tahun yang lain.

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds