Jika anda menganggap bahwa Muhammadiyah itu tidak lucu, maka anda salah. Sebagian besar pengajian Muhammadiyah memang tidak lucu. Namun, belum tentu semua hal yang berkaitan dengan Muhammadiyah itu tidak lucu.
Muhammadiyah telah melahirkan seorang komika kelas nasional. Anda sudah tahu: Dzawin Nur Ikram. Kader IMM Ciputat. Yang dalam stand up-nya ia selalu membawa identitas santri. Materinya tak jauh-jauh dari dunia santri dan keislaman.
Di bulan Ramadhan 2022 kemarin, Dzawin membuat konten komedi dengan judul Kultum. Kultum adalah singkatan dari Kuliah Antum. Dzawin berperan sebagai ‘ustadz’ yang membawakan ceramah dengan penuh komedi. Atau membawakan komedi dengan gaya ceramah. Lengkap dengan gamis, peci, dan kalimat-kalimat Bahasa Arab yang tidak perlu diamini karena bukan doa.
Sebenarnya ada satu lagi komika yang bangga sekali beririsan dengan Muhammadiyah. Ia merupakan mahasiswa di sekolah Muhammadiyah: Abdur. Yang juga rival Dzawin di SUCI 4. Abdur tampak begitu bangga dengan Universitas Muhammadiyah Malang. Ia pernah stand up di depan rektornya yang kini menjadi Menko PMK, Muhadjir Effendy. Berkat Muhammadiyah, Abdur tau bagaimana rasanya naik lift.
Klaim bahwa Muhammadiyah telah melahirkan komika, Dzawin, agaknya berlebihan. Baiklah, kita turunkan klaimnya. Dzawin adalah komika yang aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Klaim ini lebih jelas dan berdasar.
Tak tanggung-tanggung, ia menjadi Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Ciputat bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan. Jabatan yang harus diperebutkan dengan susah payah.
Ketika menjadi mahasiswa baru di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia terdampar di Asrama Putra IMM. Untuk bisa tinggal di situ, Dzawin cukup membayar 70 ribu rupiah per bulan. Murah sekali. Apalagi untuk ukuran Jakarta.
Dzawin tinggal di asrama itu hingga semester enam. Diskusi tiap pagi dan malam. Bareng ‘santri-santri’ asrama IMM yang lain. Karena IMM, maka ke mana-mana ia juga bawa buku. Entah dibaca atau tidak. “Nanti kalau lagi bosen juga bakal dibaca,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Kepada mahasiswa baru, ia sering berpesan agar mereka masuk organisasi ekstra, terutama IMM.
Di IMM, Dzawin tidak terlihat sebagaimana di layar kaca. “Serius banget kalau ngobrol. Nggak lucu kaya kalo lagi di panggung stand up,” ujar teman saya di IMM Ciputat, juniornya Dzawin.
Mungkin, ia menjaga ‘marwah’ dan ‘wibawa’ sebagai senior IMM.
Kini, Dzawin tengah menyelesaikan ekspedisi langit kelabu, pendakian tujuh gunung horror di Pulau Jawa. Ekspedisi itu ia jadikan konten di kanal YouTubenya. Entah apa maksudnya.
Biografi Dzawin Nur Ikram
Dzawin Nur Ikram lahir pada 22 Agustus 1991 di Bogor. Setelah lulus SD, ia nyantri di Pesantren La Tansa, Lebak, Banten. Ia nyantri selama enam tahun. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di UIN, ia mengambil prodi Bahasa Inggris.
Dzawin mulai dikenal secara luas pada tahun 2014. Saat ia menjadi juara 3 Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) Season 4.
Sejak saat itu, ia resmi menjadi ‘artis’. Ia mulai sering tampil di acara-acara TV. Ia menjadi co-host dalam program acara televisi SUPER di Kompas TV. Ia juag ‘manggung’ di acara SUCI Playground, Comic Story, Ceria i-Star 2017, dan Gegar Lawak 2018.
Sementara, film yang Dzawin turut terlibat sebagai bintangnya adalah Get Up Stand Up (2016) dan 99 Nama Cinta (2019).
Agama dan Humor
Berbekal nyantri enam tahun plus tiga tahun di Asrama IMM, Dzawin menjadi komika yang banyak membawa materi tentang agama. Di video Kuliah Antum, ia banyak mengajarkan nilai-nilai agama sungguhan.
Seperti bagaimana cara meredam amarah, bagaimana cara bersikap rendah hati, dan tidak merasa benar sendiri. Ia benar-benar ‘kultum’. Hanya saja kemasannya komedi. Materi-materi keagamaan ia sampaikan lengkap dengan dalil-dalil dan argumen-argumennya. Dengan sasaran yang berbeda dengan kultum pada umumnya.
Dzawin juga berhasil membuktikan diri. Bahwa lulusan pesantren tidak hanya bisa ceramah dan mengaji. Sekalipun tak bisa melepaskan diri dari identitas ‘santri’, namun orang tetap mengenal Dzawin sebagai komika. Pelawak. Komedian. Bukan ustadz. Walaupun bisa juga sesekali menjadi ustadz. Seperti dalam acara Kuliah Antum itu tadi.
Dzawin juga menunjukkan hal lain yang tak kalah penting. Bahwa agama tidak anti dengan komedi. Melalui apa yang selama ini dilakukan Dzawin, kita melihat bahwa seharusnya agama memang disampaikan dengan jenaka.
Agama tidak harus selalu ditampilkan dalam wajahnya yang seram. Wajahnya yang serba hitam-putih, halal-haram, boleh-tidak boleh. Agama melarang berlebihan, termasuk berlebihan sampai jadi kaku. Dzawin dengan begitu cantik berhasil menampilkan agama dalam wajahnya yang lain. Agama dengan wajah jenaka, humoris, dan lucu.
Dulu, Muhammadiyah memiliki kiai kharismatik, legendaris, sekaligus lucu: AR. Fachrudin. Kebesaran nama Pak AR di Muhammadiyah rasanya sulit ditandingi hingga kini. Selain karena kezuhudannya, Pak AR juga dikenal dengan kejenakaannya. Pak AR begitu santai dalam beragama. Tentu banyak cerita yang sudah sering kita dengar.
Umat Islam juga pernah memiliki tokoh besar yang sangat humoris: Gus Dur. Presiden RI keempat ini tidak bisa tidak disebut ketika berbicara tentang relasi agama dan humor. Kini, banyak ustadz, kiai, dan tokoh agama yang meneruskan gaya-gaya humoris ala Gus Dur dan Pak AR.
Dzawin tentu berbeda. Ia bukan tokoh agama. Namun, namanya terlanjur lekat dengan ‘santri’ dan ‘Muhammadiyah’. Maka, ia beririsan dengan tokoh-tokoh yang tadi kita sebut. Jika Pak AR dan Gus Dur menyampaikan agama dengan humoris, maka Dzawin menyampaikan humor dengan bahasa agama.
*Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.