Perspektif

Lahirnya Pancasila dan Posisi Sila Pertama

5 Mins read

Saat ini, tanggal 1 Juni dijadikan momentum untuk memperingati lahirnya Pancasila. Sudah barang tentu yang dimaksud di sini adalah lahirnya ide Pancasila sebagai kesatuan gagasan umum, bukan Pancasila sebagai konsensus founding fathers bangsa dan dasar negara tanggal 18 Agustus 1945.

Pertanyaannya adalah di mana sumbangsih Bung Karno dan di mana ia berkekurangan utamanya menyangkut Sila Pertama. Semua itu bisa dibaca dalam tulisan maupun dokumen tertulis tentang Pancasila.

Roeslan Abdulgani dalam Bukunya Resapkan dan Amalkan Pantjasila sangat menekankan posisi penting Bung Karno sebagai salah satu penabur benih Pancasila. Benih itu sudah ditanam Bung Karno sejak di PNI melalui tiga fundamen: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan marhaenisme, serta ditambah ketuhanan pada tahun 1945.

Pernyataan Roeslan Abdulgani ini sejalan dengan banyak tulisan Bung Karno pra-Kemerdekaan. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, ada beberapa tulisan Bung Karno bertema Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Marhaenisme. Ide-ide itu muncul pada tahun 1932-1933 dalam Koran Fikiran Rakyat.

Pada tahun 1928, Bung Karno banyak menulis di Suluh Indonesia Muda mengenai tema persatuan, yaitu persatuan antara tiga kekuatan perjuangan: Nasionalisme, Islamisme, dan Sosialisme. Seraya menganalisis kondisi kolonialisme dan perlawanan atasnya di beberapa negara, seperti India, Tiongkok, dan Mesir.

Pada tahun 1930-an juga, Soekarno berdebat dengan Moh. Natsir tentang posisi agama dan negara. Sukarno berpendapat bahwa Islam harus dibebaskan dari ikatannya dengan negara. Dengan melihat contoh Turki dan Mesir. Islam akan kehilangan dukungan rakyat ketika terikat dengan negara.

Sebaliknya, Natsir berpendapat bahwa Islam adalah satu jalan hidup bagi muslim dalam segala aspek dan negara merupakan sarana mewujudkan ajaran agama. Juga, secara sosiologis, selama kerajaan-kerajaan Islam ada di Nusantara sehingga mayoritas rakyat beragama Islam.

Meski berbeda pendapat, Natsir dan Sukarno sepakat Islam adalah agama yang demokratis. Natsir menghendaki demokrasi. Bahkan Masyumi, sebagaimana dikemukakan Roeslan Abdulgani, dalam Program Perjuangannya menyatakan perlunya negara hukum berdasarkan ajaran Islam dengan asas demokrasi, berbentuk negara Republik dan sistem pemerintahan presidensial yang menjamin kebebasan agama.

Merumuskan Pancasila

Rapat BPUPKI tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 merupakan kesempatan untuk merumuskan dasar negara Undang-Undang Dasar Negara dan arah pembangunan. Perumusan Dasar Negara menjadi arena paling dinamis, terlebih menyangkut di atas landasan apa negara Indonesia dibangun.

Baca Juga  Manusia Seperti Apa yang Diinginkan Oleh Pancasila?

Bung Karno dipandang paling mampu untuk mensintesiskan berbagai pandangan yang mengemuka tanggal 29, 30, dan 31 Mei 1945. Kedekatannya dengan banyak kalangan dan ikatan emosional dengan kelompok Islam (karena hubungan dengan Sarekat Islam di Surabaya, Surat Menyurat dengan Pendiri Persis saat di Ende, dan Menjadi Guru Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu) maupun kelompok agama lain (Ibunya orang Bali dan ia sering main tonil dan membaca di perpustakaan gereja di Ende) serta dengan kalangan kiri dan pergerakan nasional membuat Soekarno punya kepekaan untuk mencari sintesis.

Oleh karena itu, ia mengajak agar dasar negara itu dicari bersama persetujuannya.  Dengan rendah hati dia berkata: “….tetapi alangkah benarnja perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo bahwa kita harus mentjari persetudjuan, mentjari persetudjuan faham.”

Tentu dasar negara itu disetujui pula oleh Saudara Yamin, Ki Bagoes, Ki Hadjar, Saudara Sanoesi, Saudara Abikoesno, dan Saudara Lim Koen Hian. Demikian persetujuan yang dimaksud Bung Karno.

Ia mengemukakan bahwa sejak muda ia dipengaruhi oleh gagasan pendapat A Baars (seorang tokoh sosialis yang pendapatnya banyak dipakai di pledoi Indonesia Menggugat) untuk tidak berfaham kebangsaan, tetapi kemanusiaan sedunia.

Tetapi pada tahun 1918, ia merasa diingatkan oleh Sun Yat Sen dengan ajaran San Min Chu I (Tiga Dasar Kerakyatan): Mintsu (nasionalisme), Minchuan (Demokrasi) dan Min Sheng (sosialisme). Gagasan Sun Yat Sen itu menjadi spirit negeri Tiongkok sejak tahun 1912.

Karena itu rumusan Pancasila Soekarno dimulai dari kebangsaan, diikuti perikemanusiaan (internasionalisme), mufakat (demokrasi), kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Ketuhanan ini menjadi dasar terakhir, yang di satu sisi mengakui hal pokok yang dikehendaki kelompok Islam, namun tidak sepenuhnya sama.

***

Ketuhanan yang dimaksud oleh Bung Karno adalah bahwa masing-masing pemeluk agama ini menyembah Tuhan menurut ajaran masing-masing secara berkeadaban dan saling menghormati. Hal ini tentu belum dipandang sebagai mewakili harapan kelompok Islam.

Maka dalam Pancasila Rumusan Panitia Kecil (Tim 9) yang kemudian dibicarakan dengan sebagian anggota BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945, terjadi perubahan mendasar. Ketuhanan menjadi urutan pertama dengan akomodasi “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.”

Kebangsaan digeser urutan ketiga menjadi “Persatuan”, mungkin untuk menghindari keberatan bahwa kebangsaan itu menjadi ashabiyah atau fanatisme terhadap identitas perkauman satu bangsa yang tidak sejalan dengan kemanusiaan. 

Baca Juga  Refleksi Hari Lahir Pancasila: Mencari Spirit yang Hilang

Pada Rapat PPKI, rumusan sila pertama diubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sehingga masih mengakomodasi tuntutan kelompok Islam.

Tidak bisa diabaikan bahwa Bung Karno adalah sosok yang paling bersemangat dengan gagasan Pancasila. Panitia 9 yang ia pimpin pun cukup mengakomodasi kelompok Islam dengan adanya 2 wakil dari Sarekat Islam dan pecahannya, 1 wakil NU, dan 1 wakil Muhammadiyah. Panitia itu juga megakomodasi wakil kelompok Nasionalis dan Nonmuslim.

Bung Karno konsisten untuk mendiseminasikan Pancasila. Pada tahun 1955 sampai awal 1959, di saat Konstituante berdiskusi untuk merumuskan dasar negara dan UUD, Bung Karno tetap mensosialisasikan Pancasila.

***

Namun kelemahan Bung Karno tetap saja pada sila Ketuhanan karena pada dasarnya bagian itu bukan menjadi pikiran awalnya. Dalam Kursus Pancasila yang diselenggarakan di Istana Negara tanggal 26 Mei 1958 (Diterbitkan bersama kursus tanggal 5 dan 16 Juni, 22 Juli dan 3 September 1958 dalam Pantjasila sebagai Dasar Negara) penjelasan Bung Karno mengenai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa malah berisi penjelasan tentang pentingnya Revolusi sesuai dengan ajaran Karl Marx dan uraian evolusi agama berdasarkan historisisme materialisme ala Marxisme. Cara pandang agama dipengaruhi hubungan manusia dengan alam yang berakhir dengan hilangnya Tuhan dalam pikiran manusia bagi sebagian kalangan.

Di sisi lain, kelompok Islam berpendapat bahwa agama itu adalah petunjuk hidup dan mengatur manusia menuju kehidupan nanti. Agama seyogyanya dipahami sebagai pokok yang melandasi Pancasila. HAMKA menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang Pancasila. Falsafah Keragaman dan Perdamaian ada dalam Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini ia kemukakan sebagai tanggapan atas pidato Bung Karno pada Isra Mi’raj 7 Mei 1951 di Istana Negara.

Kelemahan dalam Konsepsi Sila Ketuhanan yang Maha Esa

Roeslan Abdulgani tampaknya menyadari kelemahan mendasar konsepsi Bung Karno mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam tulisan tahun 1955 dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Indoktrinisasi, Roeslan Abdulgani berusaha mencari titik temu pandangan berbagai kalangan dengan Pancasila, termasuk kesesuaian pikiran Bung Karno dengan pihak lain.

Ia menunjukkan adanya dukungan terhadap Pancasila dari Kiai Fakih Usman (Menteri Agama), dari Soegijapranata, dari J. Leimena, HAMKA, Moh. Natsir dan Asmara Hadi (tokoh sosialis).

Baca Juga  Tiga Argumen tentang Hadits “10 Sahabat Muhajir yang Dijamin Masuk Surga”

Bung Karno dalam ceramahnya di Universiteit Indonesia 7 Mei 1953, menurut cerita Roeslan Abdulgani, mengutip pidato Natsir di Karachi Pakistan tahun 1952 bahwa Pancasila adalah “spiritual, moral, dan ethical foundation dari bangsa dan negara kita.” Natsir sendiri sebenarnya menekankan arti penting Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai tiang Pancasila dan sebagai dasar ruhani, akhlak dan moral negara dan bangsa Indonesia.

Roeslan Abdugani juga menunjukkan kesesuaian Pancasila dengan Nasrani. Soegijapranata dan J. Leimena. Soegijapranata mengajak umat Nasrani untuk mendukung cita-cita negara yang sejalan dengan Perintah Tuhan Kesepuluh. Leimena kaum Kristen bis menerima Pancasila sebagai falsafah dasar negara jika faham batasnya dan mengisinya dengan pengertian Kekristenan.

Roeslan Abdulgani sendiri menjelang peringatan 1 Juni 1964 menyatakan bahwa Nasionalisme Indonesia adalah Nasionalisme yang modern, berjiwa dan ber-Ke-Tuhanan. Ketuhanan Yang Maha Esa penting untuk menjamin sumber kerohanian yang menciptakan keseimbangan kehidupan bangsa, material dan spiritual.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara eksplisit menyatakan kembali ke UUD 1945 yang dijiwai oleh piagam Jakarta. Pasca Dekrit, Piagam Jakarta kadang muncul dalam penerbitan yang terkait dengan Pidato Presiden Soekarno (Manifesto Politik/ Manipol). Hal itu untuk menekankan bahwa Pancasila tidak lepas dari gentle agreement tahun 1922.

Roeslan Abdulgani adalah pendukung Bung Karno yang baik. Ia selalu membela pandang Bung Karno dan menegaskan 1 Juni 1945 sebagai hari kelahiran Pancasila. Tetapi Roeslan cukup insyaf bahwa ada kelemahan dalam konsepsi Bung Karno mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga ia mencoba mensintesiskan gagasan Bung Karno dengan gagasan lain karena kenyataannya Pancasila dalam UUD 1945 adalah konsensus bersama.

Referensi

Roeslan Abdulgani. 1963. Resapkan dan Amalkan Pantjasila. Djakarta: BP Prapantja

Soekarno. 1964. Tjamkan Pantjasila dan Pantjasila Dasar Falsafah Negara. Djakarta: Departemen Penerangan RI

Soekarno. 1964. Pantjasila sebagai Dasar Negara. Djakarta: Prapantja

Soekarno. 1963. Dibawah Bendera Revolusi. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi. Cet.II. Jilid Pertama

HAMKA. 1952. Urat Tunggang Pantjasila. Djakarta: Penerbit Pustaka Keluarga. Cet. II

Tim Indoktrinasi Daerah Tk. I Djawa Tengah. 1963. Dasar dan Haluan Negara Republik Indonesia. Semarang: Tim Indoktrinasi Daerah Tk. I Djawa Tengah bersama Djawatan Penerangan Propinsi Djawa Tengah

Editor: Yahya FR

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds