Hadis

Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis (Bag 2)

3 Mins read

Di tulisan sebelumnya, penulis telah menjelaskan tentang pendekatan bahasa dan historis dalam memahami hadis. Selanjutnya, penulis akan menjelaskan pendekatan psikologis dan geografis dalam memahami hadis.

Pendekatan Psikologis dalam Memahami Hadis

Yang dimaksud dengan pendekatan psikologi dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan kondisi psikologi Nabi Saw dan masyarakat pada waktu itu.

Beberapa hadis disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw ketika sahabatnya bertanya perihal sesuatu. Karenanya dalam keadaan, tertentu Nabi Saw memperhatikan kondisi psikologi sahabat yang bertanya.

Ini akan menentukan pemahaman hadis secara utuh. Sebagai contoh hadis tentang amalan yang paling utama. Ternyata hadis yang menyatakan amalan yang utama berjumlah banyak dan sangat variatif. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:

“Dari Abu Hurairoh berkata: Bahwa Rasulullah Saw ditanya (oleh seseorang), “Amalan apakak yang paling utama?” Beliau menjawab “Beriman kepada Allah”. (Beliau) ditanya lagi “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab “Jihad di jalan Allah.” (Beliau) ditanya lagi “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab “Haji Mabrur” (HR. Bukhari).

 “Abudullah bin Mas’ud, dia berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah Saw: Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Salat pada waktunya”. Bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada orang tua” bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab “Jihad di jalan Allah” (HR. Bukhari).

Pada kedua hadis di atas, dapat dilihat bahwasannya kedua hadis itu mempunyai pertanyaan yang sama. Akan tetapi, memiliki jawaban yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Jawaban yang diberikan Nabi Saw sangat memperhatikan kondisi psikologi sang penanya. Dalam konteks ini, seakan Rasulullah menjadi seorang psikiater yang memberikan jawaban kepada dua orang yang memiliki perbedaan dalam kehidupan mereka.

Baca Juga  Hadis Tematik: Apa Saja yang Dibahas di Dalamnya?

Pada saat sang penanya adalah seorang yang sering berbuat maksiat dan lain sebagainya, maka kapasitas Nabi di sini menjadi seorang pembimbing dan menasehatinya agar menghindarkan dirinya dari perbuatan maksiat.

***

Pada saat sang penanya merupakan orang yang terlalu sibuk dengan urusan sendirinya, sering mengulur waktu salat, bahkan sampai lupa berbakti kepada orang tuanya, maka amalan yang paling utama baginya adalah salat pada waktunya dan berbakti kepada orang tuanya.

Dalam memahami hadis dengan pendekatan ini mempunyai dua kemungkinan. Pertama, jawaban dari Rasul hanya untuk orang yang bertanya saja.

Kedua, mempertimbangkan jawaban Nabi sebagai petunjuk umum bagi kelompok masyarakat, yang dalam kesehariannya memerlukan bimbingan dengan menekankan adanya amalan-amalan tertentu. Orang yang bertanya berfungsi sebagai wakil dari hadis yang diberikan Rasul untuk memberikan bimbingan bagi masyarakat.

Terkadang juga, hadis Nabi Saw disabdakan sebagai respon terhadap pertanyaan dan perilaku sahabat. Dalam keadaan tertentu, Nabi memperhatikan faktor psikologi sahabat ketika hendak mengucapkan sebuah hadis.

Dengan melihat dua kondisi psikologis (Nabi dan Sahabat) ini akan mementukan pemahaman yang utuh terhadap hadis tersebut. Perbedaan materi jawaban tersebut sesungguhnya bertolak dari kondisi psikologis orang yang bertanya kondisi psikologis Nabi.

Pendekatan Geografis dalam Memahami Hadis

Kata geografi itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani dari kata Geo yang berarti bumi dan Graphy yang berarti gambaran.

Oleh karena itu, ilmu geografi adalah ilmu tentang gambaran bumi. Istilah ini digunakan pertama kali oleh Eratosthenes pada tahun 240 SM untuk salah satu karyanya.

Pengertian ini dibantah oleh Ritter yang menjelaskan ulang (M. Dalil, 2016) bahwa ilmu geografi adalah kajian korelasi antara fenomena alam dan kehidupan manusia.

Baca Juga  Empat Metode Para Orientalis dalam Melacak Hadis

Hartshorme memberikan pengertian yang lebih berbeda bahwa ilmu geografi adalah kajian tentang perbedaan karakteristik satu wilayah dengan lainnya.

Dari uraian di atas, ilmu geografi dan berbagai macam cabangnya memang tidak memiliki hubungan dengan ilmu hadis atau pemahaman hadis. Akan tetapi, jika ditelaah ulang bahwa hadis merupakan perilaku dan tutur yang diucapkan Nabi dalam sebuah ruang dan waktu tertentu. Sehingga, mengesampingkan ilmu geografi untuk memahami hadis berakibat pada kesalahpahaman pada hadis itu sendiri (Widowati and Si, 2013).

Pada dasarnya, tidak semua hadis harus dipahami dengan pendekatan ilmu geografi karena hadis-hadis yang menyebutkan fenomena geografis dapat dikelompokkan menjadi 2 corak untuk membacanya.

Pertama, hadis-hadis yang tidak membutuhkan pemahaman geografis. Tetapi cukup memahami dan mengetahui nama tempat yang disebutkan dalam hadis tersebut. Kedua, hadis-hadis yang membutuhkan pendekatan geografis untuk memahaminya.

Contoh 1

“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa mengiringi jenazah muslim, karena iman dan mengharapkan balasan dan dia selalu bersama jenazah tersebut sampai disalatkan dan selesai dari penguburannya, maka dia pulang dengan membawa dua qiroth, setiap qiroth setara dengan Uhud. Dan barangsiapa menyolatkannya dan pulang sebelum dikuburkan, maka dia pulang membawa satu qiroth” (HR Bukhari).

Uhud merupakan nama yang populer bagi gunung yang ada di Madinah. Ia merupakan gunung berwarna merah dan berjarak sekitar 1 mil dari kota Madinah bagian utara.

Contoh 2

“Dari Abu Ayyub al-Anshari, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: jika seseorang di antara kalian buang hajat, maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginya, tapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat” (HR Bukhari).

Pada hadis di atas, jika dibaca umat muslim yang ada di wilayah timur kiblat seperti Indonesia, maka akan mengalami kesulitan dalam mempraktikannya. Karena jika menghadapt Timur, ia membelakangi kiblat dan jika mengarah barat, ia menghadap ke kiblat.

Baca Juga  Ar-Riwayah bi al-Ma'na dalam Ilmu Hadis

Namun jika didekati dengan pendekatan geografi di mana Rasulullah saat itu menyatakan hal ini (yaitu di Madinah atau sebelah utara Kiblat), maka hadis tersebut menjadi jelas dan dapat dipahami tanpa adanya kebingungan. Sebab, larangan menghadap kiblat atau membelakanginya adalah ke arah selatan atau ke utara. Sementara solusinya adalah menghadap timur atau barat.

Mahrus Ali
2 posts

About author
Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahamatullah Tulungagung
Articles
Related posts
Hadis

Transmisi Hadits Era Tabi’in

4 Mins read
Pengetahuan tentang proses penyebaran hadits menjadi sangat penting, mengingat rentang waktu antara umat dengan Nabi-nya. Akan tetapi keterbatasan ruang dan waktu tersebut…
Hadis

Sunan Asy-Syafi'i, Kitab Hadis yang Ditulis Langsung oleh Imam Syafi'i

2 Mins read
Tentang Kitab Sunan Syafi’i Sesungguhnya kitab As-Sunan karya Imam Asy-Syafi’i ditulis langsung oleh beliau. Kitab Sunan ini merupakan kitab yang terbilang “…
Hadis

Hadis Daif: Haruskah Ditolak Mentah-mentah?

4 Mins read
Dalam diskursus kajian hadis, masalah autentisitas selalu jadi perhatian utama. Bagaimana tidak, dalam konstruksi hukum Islam sendiri menempatkan hadis pada posisi yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds