Saya berpikir, yang perlu dipahami, salafi tidaklah tunggal. Hal ini, bukan sebagaimana halnya yang dibayangkan oleh sebagian penulis, bahwa hanya ada satu salafi. Yakni yang dianggap bertentangan dengan aliran keagamaan arus utama di tanah air seperti Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Muhammadiyah.
Karena ketidaktunggalannya itulah, maka merupakan hal yang wajar jika secara sosial dan kultural lantas memiliki “irisan atau pertautan” dengan pelbagai gerakan keagamaan yang telah mapan.
Ragam dan Varian Salafisme
Selama ini, dapat diidentifikasi sekurang-kurangnya lima jenis salafisme. Yakni salafisme politik (haraki), salafisme jihadi (mujahidin), salafisme dakwah, salafisme tradisionalis dan salafisme reformis.
Dan mungkin, dapat diajukan satu kategori baru mengenai salafisme, yakni salafisme post-tradisionalis.
Pertama, salafisme politik direpresentasikan oleh gerakan politik keagamaan seperti al-Ikhwan al-Muslimun yang ada di Mesir. Turunan dari gerakan ini juga beraneka-ragam. Misalnya, cabang al-Ikhwan di Palestina: Hamas; gerakan yang serupa di Turki, berupa Partai Keadilan (AKP), di al-Jazair (FIS) dan di Indonesia (PKS); serta yang lainnya. Sebenarnya, Hizbut Tahrir juga dapat dikategorikan sebagai gerakan salafisme politik. Walaupun ia menolak sistem pemerintahan yang berlaku.
Salafisme politik ini memiliki orientasi menggapai kekuasaan politik tertentu (secara pragmatis). Hal itu diupayakan dalam rangka memenuhi misi religius. Yakni formalisasi hukum syariat dalam suatu negara melalui segala cara yang dianggap legal dan secara relatif, demokratis (sekali lagi, kecuali HTI). Karena itulah, Asef Bayat misalnya, menyebut gerakan ini sebagai post-Islamisme dan bahkan Muslim demokrat.
Kedua, salafisme jihadi. Dicontohkan dengan adanya kelompok al-Qaeda di Arab Saudi (kemudian menyebar), Jamaah Mujahidin dan Taliban di Afghanistan, Jamaah Islamiyah di Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Akhir-akhir ini muncul Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Anak turunan yang terakhir disebutkan, di Asia Tenggara berupa Jamaah Anshar al-Daulah (JAD) dan Jamaah Anshar al-Tauhid (JAT).
Salafisme jihadi ini bergerak dengan tujuan mengalahkan musuh-musuh mereka, dengan segala cara. Termasuk menggunakan kekerasan. Berdasarkan catatan Olivier Roy, Gilles Kepel dan Fawaz Gerges, mereka (jihadis) beranggapan memiliki musuh yang dekat (al-aduwwu al-qarib) yakni pemerintah yang korup dan zalim dan musuh yang jauh (al-aduwwu al-ba’id) yakni negara adidaya Amerika Serikat. Mereka juga memiliki konsep yang spesifik mengenai jihad: bukan sekedar mempertahankan diri, tetapi juga ekspansionisme militeristik.
Ketiga, salafisme dakwah bisa berupa gerakan-gerakan dakwah seperti Salafi Wahabi dari Saudi dan sekitarnya (Syeikh Abdul Aziz ibn Baz, Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, Nashiruddin al-Albani), Jamaah Tabligh di Pakistan, Salafi Yamani di Saudi, Yaman dan sekitarnya, dan lain sebagainya.
Di Indonesia salafi dakwah ini menyebar hampir di seluruh pelosok Nusantara. Bahkan karena popularitasnya, maka juga menjadi tren di kalangan artis dan selebritis tanah air untuk turut serta dalam pelbagai kegiatan salafi dakwah ini.
Salafi dakwah ini memiliki tujuan hanya untuk mendakwahkan Islam. Dakwah yang dimaksud, tidak bermuatan politik (kekuasaan), tetapi mengedepankan pentingnya ritualitas keagamaan (terutama Jamaah Tabligh).
Juga memurnikan ajaran agama dari segala bentuk takhayul, bid’ah dan khurafat, sufisme, filsafat dan pemikiran-pemikiran lainnya yang dianggap sesat (kecuali Jamaah Tabligh yang masih menerima unsur-unsur Sufisme Sunni).
Keempat, salafisme tradisionalis. Sepertinya salafi jenis ini hanya ada di Indonesia. Orang-orang penting dan terpandang (para kyai, gus dan lora). Di lingkungan pesantren tradisional, “Salafiyah Syafi’iyah” adalah contoh mengenai para ulama salafi tradisionalis. Dalam konteks ini, para pemuka agama di lingkungan NU adalah bagian dari salafisme tradisionalis.
Salafi jenis ini tidak memiliki tujuan politik formalisasi keagamaan, sangat menolak kekerasan, tidak mengedepankan “purifikasi keagamaan” dan juga cenderung tidak bersepakat dengan Wahabisme. Satu-satunya tujuan yang paling jelas, yang seringkali diungkapkan oleh para ulama salaf tradisionalis adalah mendakwahkan nilai-nilai substantif Islam yang mengedepakan pemuliaan martabat kemanusiaan.
Kelima, salafisme progresif. Tokoh-tokoh salafisme progresif antara lain adalah Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lainnya. Di tanah air, para tokoh salafi progresif adalah KH Ahmad Dahlan, Syeikh Al-Hady (di tanah Melayu), Buya Hamka dan lain sebagainya.
Para tokoh Muhammadiyah dapat kiranya dipertimbangkan sebagai orang-orang mengafirmasi salafisme progresif.
Salafisme progresif bertujuan bukan sekedar mendakwahkan Islam yang substantif, tetapi juga berupaya beradaptasi dengan kemajuan zaman. Dalam persoalan akidah, mungkin bersepakat dengan Wahabisme, tetapi dalam persoalan muamalah, salafisme ini cenderung berwawasan terbuka dan tidak menolak modernisasi. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi di lingkungan salafisme progresif adalah pro-kemanusiaan, pro-orang miskin dan pembangunan umat melalui pendidikan.
Titik Temu antar Aliran Salafisme
Di antara aliran-aliran salafisme yang ada, masing-masing secara sosial dan kultural saling beririsan. Berkaitan dengan doktrin Wahabisme misalnya, dalam persoalan akidah, salafisme politik, jihadi, dakwah dan progresif sepertinya tidak memiliki perbedaan pendapat yang terlalu tajam.
Sumber rujukan utama dalam ber-ijtihad bagi mereka adalah Alquran dan Sunah. Barangkali kita bisa mengecualikan salafisme tradisional dalam konteks ini.
Dalam persoalan politik, tidak semua aliran salafi berorientasi pada politik kekuasaan. Hanya salafi politik yang menganggap dakwah politik merupakan bagian terpenting dalam ideologi keagamaan mereka.
Salafi jihadi ada yang menyusup ke pelbagai gerakan politik, sementara yang lain tidak berkepentingan untuk menguasai kedudukan politik tertentu. Sementara salafi dakwah menganggap politik sebagai hal yang curang dan kotor. Bagi salafi progresif dan tradisional, politik adalah jalan dakwah yang bisa dijalankan secara fleksibel.
Di antara aliran-aliran salafi ini, hanya salafi jihadi yang membolehkan kekerasan sebagai salah satu jalan dakwah. Sementara itu salafi politik, salafi dakwah, salafi tradisionalis dan salafi progresif, bersikeras menolak kekerasan sebagai media penyebaran ajaran agama.
Berkaitan dengan isu penerimaan terhadap modernisasi, hanya salafi progresif yang secara terang-terangan menyatakan bahwa hal itu diperlukan karena Islam adalah agama yang sesuai dengan kemajuan zaman.
Salafi jihadi jelas menolak hal ini. Demikian juga dengan salafi dakwah. Sementara salafi politik dan salafi tradisional, memiliki posisi yang ambigu. Walaupun dalam praktiknya, mereka juga mengafirmasi pentingnya beradaptasi dengan modernisasi.
Salafisme Post-Tradisionalis
Saya tidak yakin kategori salafisme post-tradisionalis ini tepat. Akan tetapi, hal ini masuk akal jika kita mengidentifikasi adanya salafisme tradisionalis yang “mulai” mengafirmasi pentingnya doktrin-doktrin salafisme dakwah dan bahkan Wahabisme.
Di lingkungan NU, kebanyakan menolak Wahabisme (yang cenderung diapresiasi oleh Muhammadiyah). Tetapi, mereka tidak menolak karakter Arabisme-Islam. Karena sebagian besar kyai, gus dan lora, serta para habib (habaib) merupakan anak-cucu para tokoh Arab-Yaman (Hadrami) terkemuka.
Kyai Kholil Bangkalan, seorang ulama tradisionalis terkemuka di Nusantara misalnya, dianggap memiliki leluhur yang berasal dari Yaman. Karena itu, ke-Arab-an di lingkungan Kyai Kholil di Madura (bersorban dan berjubah putih panjang), menjadi keniscayaan sosial dan kultural yang dapat dipahami.
Ketika muncul sosok luar biasa, seperti Habib Rizieq Shihab, seorang tokoh Front Pembela Islam (FPI), maka sebagian massa NU (salafi tradisionalis) tidak serta merta menolaknya. Kharisma Hadramian yang dimiliki Habib Rizieq, dianggap sebagai hal yang sakral ketimbang identitas politik dan track record FPI di Indonesia (dakwahnya seringkali disertai dengan kekerasan).
Secara fikih (peribadatan) mungkin sebagian anggota FPI mengikuti fiqih NU. Tetapi secara politis, dakwah yang disertai dengan kekerasan ini, tidak semua orang NU menolaknya, terutama mereka yang tergabung dalam komunitas NU Garis Lurus (NU GL).
Lebih dari sekedar penerimaan terhadap dakwah yang disertai kekerasan, ternyata persoalannya melebar: pengerasan sikap keagamaan terjadi. Para aktivis NU GL, kerap terlibat dalam pelbagai polemik politik-keagamaan dewasa ini.
Mereka terlibat dalam aksi populisme Islam (Aksi Bela Islam) 212 dan 411. Pasca Pilpres 2019, sebagian dari mereka juga mendukung gagasan Indonesia Bersyariah (salah satu jenis formalisasi syariah di ruang publik).
Yang menarik, di antara mereka (NU GL) sudah tidak alergi lagi dengan Wahabisme dan doktrin-doktrinnya (kembali ke Alquran dan Sunah, pentingnya pemurnian akidah, penolakan sufisme dan lain sebagainya).
Bahkan ada yang menganggap bahwa NU jenis ini, lebih keras dari Muhammadiyah yang konservatif sekalipun. Demikianlah mungkin yang disebut dengan salafisme post-tradisionalis.
Jadi kesimpulannya, dengan adanya varian salafisme, mohon tidak gampang berpikir dikotomistik. Bahkan salafisme itu benar atau sebaliknya, dan kelompok lain keliru atau sebaliknya.
Salafi secara sosial dan kultural, mirip seperti air, bisa mengisi gelas atau merembes ke bahan-bahan yang tidak tahan air.
Sejak kapan NU jadi golongan salafi? mereka hanya memberikan embel-embel di nama pondok pesantren dengan as-salafy/as-salafiyah, akan tetapi faktanya mereka banyak melakukan penyimpangan terhadap faham ulama’ salafushalih.. wallahu a’lam…