-Kuttab- Sebelum Nidzamul Mulk (w. 1092 H/485 H) mendirikan lembaga pendidikan formal tingkat dasar pertama pada tahun 1066 di kota Baghdad, umat Islam sudah memiliki tradisi menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak secara non formal. Kegiatan belajar mengajar secara non formal dipusatkan di masjid-masjid. Menggunakan sistem dan metode yang masih sangat sederhana. Pada periode Abbasiyah, penyelenggaraan sekolah dasar non formal ini memanfaatkan ruangan di masjid-masjid. Yaitu sebagai sarana belajar membaca (qira’ah) dan menulis (kitabah) al-Qur’an. Lembaga pendidikan tingkat dasar non formal yang masih sangat sederhana ini kemudian dikenal dengan nama Kuttaab.
Secara bahasa, kata kuttab berasal dari istilah Arab, ka-ta-ba, yang berarti “menulis.” Menggunakan pola (wazan) fu’aal menjadi kuttaab yang secara kharfiah berarti “para penulis.” Lembaga ini memang bertujuan untuk mengajarkan keterampilan menulis (kitabah) dan menghasilkan para penulis. Perlu ditegaskan di sini, yang dimaksud para penulis bukan dalam arti para pengarang kitab-kitab. Tetapi orang yang memiliki keahlian menulis pada umumnya. Untuk dapat menulis, secara otomatis, murid-murid yang belajar di Kuttaab harus dapat membaca (qira’ah).
Dalam teori pendidikan modern, menulis (kitabah) dan membaca (qira’ah) merupakan teori kompetensi dasar pendidikan. Ternyata, teori pendidikan modern ini sudah diterapkan dengan baik dalam sistem pendidikan tradisional pada zaman Dinasti Abbasiyah. Sejarawan Philip K. Hitti (2006: 512) memberikan informasi yang cukup penting seputar perkembangan Kuttaab di Damaskus.
***
Pada tahun 1184, Ibnu Jubayr mengunjungi kota Damaskus dan mendapati anak-anak penduduk setempat sangat mahir membaca dan menulis Alquran. Bahkan, anak-anak penduduk setempat juga piawai membaca dan menulis syair-syair Arab klasik. Di kota Damaskus, penyelenggaraan sekolah dasar non formal bagi anak-anak dilakukan dalam sebuah institusi sederhana. Institusi itu bernama Kuttaab yang keberadaannya dipusatkan di masjid-masjid.
Dalam institusi Kuttaab, yang bertindak selaku pengajar atau seorang guru disebut mu’allim. Selain istilah mu’allim, seorang guru yang mengajar di Kuttaab kadang disebut faqih. Membayangkan institusi Kuttaab pada zaman Dinasti Abbasiyah jelas jauh berbeda dengan lembaga pendidikan non formal yang diselenggarakan umat Islam saat ini. Institusi Kuttaab bagian dari sistem terpadu dalam sebuah masjid. Seorang mu’allim atau faqih sudah barang tentu sekaligus menjabat sebagai pengelola (ta’mir) masjid yang menyelenggarakan Kuttab tersebut.
Bagaimanakah metode yang digunakan seorang mu’allim ketika mengajar di Kuttaab? Ternyata cukup sederhana. Mehdi Nakosteen (2003: 60-61) memiliki informasi yang cukup untuk menjelaskan metode belajar di Kuttaab. Pada umumnya, metode belajar di Kuttaab menggunakan sistem halaqah (melingkar). Murid-murid melingkari seorang mu’allim atau faqih yang tengah menyampaikan materi pelajaran. Membayangkan metode halaqah di Kuttaab yang diterapkan pada era Dinasti Abbasiyah layaknya santri-santri di Indonesia di zaman sekarang ketika belajar di pondok pesantren.
Halaqah di Kuttaab cukup bervariasi. Setiap halaqah dibimbing oleh seorang mu’allim atau faqih yang mengajar berdasarkan kompetensinya. Murid-murid yang berumur antara 6-14 tahun dengan leluasa dapat memilih halaqah mana yang akan diikuti. Jika seorang mu’allim atau faqih dalam sebuah halaqah dinilai tidak mampu memberikan penerangan yang memuaskan, maka seorang murid dapat berpindah ke halaqah lain. Menariknya, seorang mu’allim selalu memiliki sebuah tongkat kecil.
***
Sejarawan Philip K. Hitti (2006: 514), mengutip pendapat Ibnu Sina (dalam Risalah as-Siyasah), menjelaskan arti penting sebuah tongkat kecil. Sebuah tongkat yang harus dimiliki oleh seorang mu’allim. Menurut Ibnu Sina, tongkat yang dimiliki oleh seorang mu’allim merupakan bagian penting dalam seni mengajar. Untuk apakah tongkat kecil yang menurut Ibnu Sina wajib dimiliki oleh seorang mu’allim?
Ternyata, penggunaan tongkat kecil dalam proses belajar mengajar berkaitan dengan kewibawaan seorang mu’allim. Informasi dari sejarawan al-Mas’udi, ketika mengutip kalimat perintah Khalifah Harun al-Rasyid, dapat menjelaskan bagaimana seharusnya sikap seorang guru: “Jangan bersikap terlampau keras hingga membahayakan pikiran dan tubuhnya, dan jangan terlalu lemah hingga ia bermalas-malasan dan akhirnya tenggelam dalam kemalasan. Bimbinglah sesuai dengan kemampuanmu dengan cara-cara yang baik dan lembut, tetapi jangan ragu untuk bersikap keras dan tegas ketika ia tidak memperhatikan atau mengabaikanmu!” (Philip K. Hitti, 2006: 214).
Selain metode halaqah, dalam institusi Kuttaab, anak-anak belajar membaca dan menulis menggunakan metode dikte (imla’). Mu’allim membacakan teks dan murid-murid harus mencatat (Mehdi Nakosteen, 2003: 61). Dibutuhkan kecermatan bagi murid-murid ketika mencatat teks yang didiktekan oleh mu’allim.
Sejak era Dinasti Abbasiyah hingga saat ini, metode imla’ memang masih tetap relevan digunakan, baik di institusi pendidikan modern maupun tradisional di Indonesia. Dalam hal ini, metode imla’ memang cocok untuk mengembangkan kemampuan murid dalam hal tulis-menulis, baik untuk jenjang pendidikan tingkat dasar hingga lanjutan.
***
Dalam kategori proses belajar untuk jenjang pendidikan tingkat dasar, metode imla’ relevan digunakan untuk melatih dan mengukur akurasi penulisan kata (mufradat) dan kalimat (kalam). Dalam kategori proses belajar untuk jenjang pendidikan tingkat lanjutan, metode imla’ relevan digunakan sebagai alat untuk merekam materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, di samping mengandalkan ingatan atau hafalan.
Kuttaab tidak hanya mengajarkan kepada anak-anak bagaimana membaca dan menulis al-Qur’an. Metode hafalan (mukhafadzah) juga menjadi bagian terpenting dalam proses belajar di Kuttaab. Anak-anak yang berumur sekitar 18 tahun ketika sudah mahir menguasai materi hafalan (makhfudzat) dan piawai menulis diberi pelajaran hadits-hadits Nabi saw.
Pada beberapa institusi Kuttaab, meskipun tidak terlalu banyak jumlahnya, anak-anak yang sudah menguasai materi dasar berupa kemampuan membaca dan menulis al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw diberi tambahan pelajaran dasar-dasar Aritmatika dan puisi. Dengan mengajarkan dasar-dasar Aritmatika, maka institusi Kuttaab telah menyempurnakan tiga kompetensi dasar dalam pendidikan modern (membaca, menulis, berhitung). Proses belajar di Kuttab menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan ketika materi-materi yang bersifat umum juga mulai diajarkan kepada anak-anak.
***
Memang tidak dikenal istilah ujian akhir atau lulus selama belajar di institusi Kuttaab. Akan tetapi, terdapat sebuah informasi yang cukup penting ketika berakhir proses belajar di Kuttaab. Untuk anak-anak yang dinilai sebagai murid-murid terbaik akan mendapat kehormatan untuk mengikuti parade naik unta menyusuri jalan-jalan di kota. Tradisi seperti ini pun akan mengingatkan kita, umat Islam di Indonesia, pada sebuah tradisi yang digelar di pondok pesantren manakala santri-santri sudah menyelesaikan proses belajar. Tradisi tersebut bernama Khataman.
Dalam tradisi belajar di pondok pesantren, ketika para santri sudah menyelesaikan pendidikan dasar (tamat al-Qur’an/Juz Amma) akan diadakan parade naik kuda menyusuri jalan-jalan di kampung. Rupanya, tradisi semacam ini sudah berusia ribuan tahun karena pada era Dinasti Abbasiyah pun sudah dijalankan.
Namun demikian, menurut sumber sejarawan Philip K. Hitti (2003: 513), tradisi parade naik unta bagi murid-murid kategori terbaik di Kuttaab pada masa Dinasti Abbasiyah jauh lebih unik lagi. Ketika diarak mengelilingi kota sambil menyusuri jalan-jalan besar, pada saat yang bersamaan, orang-orang di pinggir jalan melempar buah badam kepada murid-murid yang sedang naik unta.
Pada suatu ketika, pernah kejadian seseorang melempar buah badam tapi mengenai mata murid yang tengah diarak naik unta. Akibatnya, si murid mengalami luka parah pada matanya. Karena kejadian inilah, tradisi melempar buah badam harus ditiadakan pada setiap kali penyelenggaraan parade naik unta bagi murid-murid terbaik yang telah menyelesaikan pendidikan dasar di Kuttaab.
Kuttaab sebagai institusi pendidikan dasar Islam pertama akhirnya digantikan dengan sistem baru ketika Nidzamul Mulk mendirikan madrasah Islam pertama di kota Baghdad pada tahun 1066. Madrasah Nidzamiyah diselenggarakan menggunakan sistem dan metode yang lebih modern dibanding Kuttaab. Di kemudian hari, Madrasah Nidzamiyah menjadi tipe percontohan bagi madrasah-madrasah Islam yang didirikan di Nisabur, Balkh, Herat, Isfahan, Marv, Bashrah, dan Mosul.