Tarekat ini didirikan oleh Ahmad bin Ali al-Rifai (w. 1182) seorang sufi yang lebih muda dari Abdul Qadir al-Jailani dan terkenal kecintannya kepada hewan. Seperti halnya dengan tarekat Qadiriyah, Rifaiyah juga tersebar di wilayah Islam dari pusatnya yang terletak di Irak selatan. Warisannya hanya berupa syair dan doa, tetapi pancaran spiritualnya masih bertahan hingga hari ini.
Pengikut Rifaiyah dikenal karena aktivitasnya yang tidak biasa saat dalam keadaan ekstasi, seperti menunggangi singa, memakan ular hidup, berjalan di atas bara api yang panas, dan mencungkil mata tanpa terluka, untuk menunjukkan kekuatan mereka yang luar biasa (Schimmel, 1975: 248).
Namun hal seperti itu tidak ditemukan praktik semacam itu, seperti halnya Qadiriyah, Rifaiyah dikenal dengan penekanan pada doa dan aktivitas spiritual lainnya. Jami sebenarnya menyebut praktik-praktik Rifaiyah yang luar biasa seperti itu sebagai penyimpangan dari jalan Sufi. Rifaiyah dikenal sebagai Darwis Melonglong, karena aktivitas zikirnya yang keras seperti suara longlongan (Nasr, 2007: 192).
Ahmad al-Rifai adalah seorang sufi yang menghabiskan seluruh hidupnya di Um ‘Ubayda, sebuah desa di daerah rawah Bata’ih bagian Irak bawah antara Basra dan Wasit. Ia dibesarkan dalam komunitas Sufi ytang dipimpin oleh pamannya, MansÅr al-Bataih, dan kedudukannya sebagai syekh Sufi berasal dari penunjukkan pamannya untuk menggantikannya dalam kepemimpinan komunitasnya.
Ahmad Rifai tidak menulis apapun, dan tidak ada catatan kontemporer tentang ajarannya. Tetapi beberapa karamah dikaitkan dengannya, termasuk aktivitas pengikutnya yang sudah dijelaskan sebelumnya seperti menunggangi singa, berjalan tanpa alas kaki di atas bara yang panas dan lain-lain (Abun Nas, 2006: 122).
Ciri Khas Tarekat Rifaiyah
Setelah kematiannya, praktik-praktik nyeleneh ini menjadi ciri khas tarekatnya, Ibn Batuta, yang mengunjungi Um Ubayda pada tahun 1327, mengatakan bahwa Rifaiyah di sana memiliki pondokan yang besar di mana ribuan orang tinggal di sana.
Mereka melakukan zikir setelah salat malam, yang dipimpin oleh syekh mereka sambil duduk di sajadah Ahmad al-Rifai. Untuk melakukan zikir mereka menyiapkan kayu bakar, dan setelah menyalakannya mereka akan menari di tengah api dengan iringan musik. Beberapa dari mereka akan berguling-guling di dalam api, sementara yang lain akan ‘memakannya’. Ibn Batuta menambahkan bahwa pengikut Ahmad Rifai di Um ‘Ubayda juga dikenal dengan menggigit kepala ular yang besar dengan giginya yang tanpa terluka.
Dua murid Ahmad al-Rifai, Ali al-Hariri (w. 1248) dan Abu al-Fath al-Wasiti (w.1234) memainkan peran penting dalam konsolidasi ajaran tentang walayah, dan bertindak sebagai perwakilan otoritas spiritual masing-masing di Suriah dan Mesir.
Pada generasi murid al-Wasiti, Rifaiyah mulai muncul di Mesir sebagai tarekat Sufi yang dicirikan dengan praktik luar biasa yang asal usulnya mungkin berasal dari karama yang dikaitkan dengan eponim pendirinya. Termasuk, menawan ular, keterampilan di mana para pengikut tarekat ini menegaskan kepercayaan mereka pada barakah pelinding pendirinya dan juga sebagai mencari nafkah.
Tetapi Rifaiyah memperoleh ketenaran melalui zikir komunal, di mana ekstasi keagamaan ditingkatkan dengan praktik-praktik seperti menelan api dan menusuk pipi dengan tusuk sate.
Sejak abad kedelapan belas, Mesir menjadi pusat terpenting tarekat Rifaiyah, di mana perayaan maulid para pendirinya pada tanggal 12 Jumadil Akhir menjadi acara perayaan yang populer.
Jalan yang Berbeda Menuju Tuhan
Cendekiawan Muslim modern terkadang membenarkan Rifaiyah sebagai jalan yang berbeda menuju Tuhan, meskipun penyertaan dalam praktik zikirnya tidak sesuai dengan tujuan saleh yang dimaksudkan, dengan pernyataan bahwa praktik ini adalah tambahan yang dikenalkan oleh para murid-muridnya setelah kematian Ahmad al-Rifai.
Dalam sebuah buku tentang tarekat di Mesir, ‘Amir al-Najjir mengatakan bahwa Ahmad al-Rifai merupakan sufi yang ajaranya diarahkan untuk melatih murid-muridnya dalam mengatasi nafsu kejahatan dari dalam diri, dan bahwa ajarannya sangat konsisten dengan Al-Qur’an dan sunah Nabi.
Dia menjelaskan bahwa hubungan Rifaiyah dengan pesona ular dikarenakan kecintaan Ahmad al-Rifai terhadap semua makhluk hidup, termasuk reptil yang sangat dibenci seperti ular.
Bagaimanapun, Rifaiyah diidentifikasi setelah kemunculannya pada paruh kedua abad ketiga belas sebagai tarekat sufi, tidak begitu banyak aktivitas bimbingan kepada umat Islam, tetapi dengan upacara zikir di mana keampuhan barakah pendirinya ditampilkan dengan perlindungan yang diberikannya terhadap bahaya fisik dari menelan api dan menusuk paku (Abun Nas, 2006: 122-144).
Dengan penyebaran berbagai cabangnya yang berasal dari Irak bagian bawah ke Suriah, Mesir, Anatolia, dan akhirnya Balkan. Di Magrib, praktik serupa muncul jauh kemudian ketika dua kelompok baru terbentuk di Maroko. Yakni Hamadisha (Hmadsha dalam pengucapan lokal), garis keturunannya dapat ditelusuri kembali ke dua orang suci Maroko yang tidak jelas pada akhir abad ketujuh belas awal dan kedelapan belas, Sidi Abul Hasan Ali bin Hamdush (w. 1718 atau 1722 yang dikenal secara populer sebagai Sidi Ali) dan Sidi Ahmad Dghughi (tidak diketuahui tanggalnya), dan Isawa (Aissaouas), didirikan pada awal abad keenam belas oleh Muhammad bin Isa Sufyani al-Mukhtari (w. 1526).
Kelompok-kelompok ini tekenal luas karena aktivitas yang terkait dengan Rifaiyah seperti di tempat lain, seperti menyayat kepala mereka dengan pisau atau kapak dan memukuli kepala mereka dengan benda keras (Karamustafa, 2015: 119-120).
Editor: Yahya FR