Setiap penyelenggaraan sistem pendidikan tidak pernah netral dari ideologi dan politik. Begitu pula penyelenggaraan pendidikan Islam pada abad ke-11 tidak dapat dikatakan netral dari ideologi dan politik tertentu. Dinasti Saljuk yang menganut Madzhab Sunni sedang berhadapan dengan sisa-sisa kekuatan dinasti Fathimiyyah (Mesir) dan Buwaihi (Laut Kaspia) yang menganut Madzhab Syi’ah. Menarik untuk menyelidiki hubungan Madrasah Nidzamiyah dan Siyasat Ahlu Sunnah pada masa Dinasti Saljuk.
Sekalipun dinasti Saljuk hanya mengakui Madzhab Sunni sebagai ideologi negara, tetapi proses transmisi ideologi Syi’ah terus berjalan menggunakan jalur pendidikan. Kekuasaan dinasti Fathimiyyah memang telah tumbang, begitu pula dinasti Buwaihi telah hancur, tetapi ideologi Syi’ah tidak pernah mati. Lewat jalur pendidikan, proses transmisi ideologi dan budaya Syi’ah beralih kepada generasi muda sehingga tetap lestari.
Beda Etnis, Satu Madzhab
Kota Baghdad pada tahun 1066 M (459 H). Seorang perdana menteri dinasti Saljuk telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan formal Islam pertama dalam sejarah umat Islam. Uniknya, sang perdana menteri berdarah Persia. Sedangkan kekhalifahan yang berkuasa pada saat itu didominasi oleh bangsa Turki.
Meskipun demikian, sang perdana menteri tetap memiliki dedikasi tinggi untuk mengabdi kepada rezim Saljuk. Khususnya pada masa kekuasaan Alp Arsalan dan Malik Shah. Dedikasi tinggi sang perdana menteri kepada rezim Saljuk disebabkan oleh kesamaan madzhab.
Sang perdana menteri seorang Sunni yang taat sementara madzhab ini telah menjadi ideologi resmi dinasti Saljuk. Sang perdana menteri tersebut bernama Ghawamuddin Abu Ali Hassan ibnu Ali ibnu Ishaq Khawja Nidzam al-Mulk (w. 1092 M/485 H). Dialah pendiri Madrasah Nidzamiyyah di kota Baghdad.
Pada tahun 1092, atau pada detik-detik menjelang ajal, Nidzam al-Mulk berhasil merampungkan karya monumentalnya, Siyasat Namah. Peta politik kekuasaan Saljuk sedang memanas ketika Madrasah Nidzamiyyah didirikan pertama kali. Apalagi, Siyasat Namah lebih mengutamakan dogma Sunni dan merendahkan dogma Syi’ah. Sehingga pendirian Madrasah Nidzamiyyah kental bernuansa politik.
Kaum Syi’ah, terutama Syi’ah Ismailiyyah, menjadi kekuatan oposisi yang selalu menentang kebijakan politik dinasti Saljuk. Nidzam al-Mulk sendiri harus menjadi korban pembunuhan bermotif politik yang dilakukan oleh kaum Ismailiyyah. Setelah dia merampungkan karya monumental yang berisi pedoman politik dan pendidikan bagi dinasti Saljuk (Mehdi Nakosteen, 1995: 113-114).
Madrasah Nidzamiyah dan Siyasat Ahlu Sunnah
Madrasah Nidzamiyyah hadir di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang diselenggarakan oleh faksi-faksi teologi dan politik dalam Islam, khususnya aliran-aliran Syi’ah. Data jumlah sekolah di kawasan dunia Islam bagian timur pada tahun 1050-1250 terdapat 60 sekolah (madrasah). Dari jumlah tersebut, 24 sekolah dikelola oleh kaum Syi’ah (Imamiyyah 7 sekolah; Ismailiyyah 17 sekolah). Sisanya 36 sekolah dikelola oleh kaum Sunni (Syafi’iyyah 27 sekolah; Hanafiyyah 9 sekolah) (Mehdi Nakosteen, 1995: 58-59).
Lembaga pendidikan Islam ini selangkah lebih maju dibanding dengan institusi-institusi pendidikan tradisional pada masa sebelumnya. Madrasah ini tidak lagi menjadi bagian dari struktur kepengurusan ta’mir di sebuah masjid. Proses belajar mengajar tidak lagi menggunakan ruang di serambi masjid, tetapi sudah menggunakan gedung sendiri.
Seluruh dana penyelenggaraan Madrasah Nidzamiyyah ditanggung oleh rezim Saljuk sehingga sekolah ini cepat berkembang. Mehdi Nakosteen (2003:53) mencatat, Nidzam al-Mulk mendapat perhatian dan dukungan besar dari rezim Saljuk dalam menyelenggarakan madrasah di jantung kota Baghdad. Madrasah ini merupakan lembaga pengajaran dan sekaligus sarana indoktrinasi paham Sunni yang mendapat pengawasan langsung dari pemerintah.
Tujuan utama penyelenggaraan Madrasah Nidzamiyyah untuk mengokohkan dan sekaligus melanggengkan Madzhab Sunni yang menjadi ideologi resmi negara. Selain tujuan politik, penyelenggaraan Madrasah Nidzamiyyah untuk memperkuat dominasi paham Sunni.
Madrasah yang Dilegitimasi Rezim
Dari aspek kurikulum, sejarawan Philip K. Hitti (2006:515) mencatat, lembaga pendidikan Islam ini diselenggarakan sebagai pusat studi teologi Sunni. Khususnya fiqh Madzhab Syafi’iyyah dan pemikiran kalam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Di Madrasah Nidzamiyyah, al-Qur’an dan puisi-puisi Arab klasik menjadi mata pelajaran utama. Harus dipelajari oleh para murid untuk pengembangan ilmu-ilmu humaniora dan sastra (‘ilm al-adab).
Madrasah Nidzamiyyah adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan teologi Islam dan dilegitimasi oleh rezim Saljuk. Begitu kuat legitimasi kekuasaan Saljuk dalam penyelenggaraan Madrasah Nidzamiyyah sehingga tidak semua ulama atau kaum terpelajar dapat mengajar di sekolah ini.
Sejarawan Ibnu Atsir mengisahkan sebuah peristiwa penting ketika seorang mudarris yang telah menerima surat kontrak untuk mengajar. Meski begitu Ia belum juga mendapat izin untuk melakukan aktivitas mengajar di sekolah tersebut. Permasalahannya terletak pada otoritas sang khalifah yang memang belum memberikan surat izin untuk mengajar di madrasah tersebut (Philip K. Hitti, 2006:516).
Sebuah peristiwa penting terjadi dalam catatan sejarah Madrasah Nidzamiyyah. Sejarawan Ibnu Jubayr (lihat Philip K. Hitti, 2006:516) mengisahkan sebuah pidato monumental pasca shalat Dhuhur di madrasah ini. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1091-1095, ketika seorang guru berpidato di atas mimbar. Berdasarkan informasi Ibnu Jubayr, para siswa duduk berkerumun di hadapan sang guru sambil mencatat dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting.
Tanpa terasa, proses belajar lewat tanya jawab tersebut telah memasuki waktu Ashar. Di akhir pidato, sang guru memperkenalkan kitab karya monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin. Sang guru tersebut adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058–1111 M).
Madrasah Nidzamiyyah telah menjadi saksi sejarah ketika Imam al-Ghazali, tokoh yang dikenal sebagai Hujjatul Islam (Argumentasi Islam), mengajar selama empat tahun di lembaga pendidikan ini. Di madrasah inilah, al-Ghazali berhasil menanamkan benih teologi fatalistik (jabbariyyah). Menabur bibit ajaran sufi (tasawuf) juga menyerang pemikiran spekulatif dari para filosof Muslim terdahulu.
***
Madrasah Nidzamiyyah tidak hanya menjadi saksi atas kemenangan fatalisme dalam teologi Islam. Tetapi juga turut merekam jejak kekalahan umat Islam dari serangan bangsa Mongol pada tahun 1258 M. Ketika kota Baghdad berhasil dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan, Madrasah Nidzamiyyah termasuk bagian kecil dari gedung yang selamat dari kehancuran.
Meskipun selamat dari kebengisan pasukan Mongol, tetapi madrasah ini tidak mampu bertahan dari perubahan zaman. Pada tahun 1234 M madrasah ini terpaksa digabung dengan Madrasah al-Mustanshiriyyah. Bekas gedung Madrasah Nidzamiyyah akhirnya hanya dapat digunakan sebagai asrama di madrasah baru ini.