Oleh: M Husnaini*
Kematangan sebuah organisasi atau institusi setidaknya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu administrasi keuangan dan pergantian kepemimpinan. Tidak sedikit organisasi yang terlihat megah, tetapi di dalamnya mengidap konflik keuangan berkepanjangan antaranggota. Berbagai kepentingan menyangkut persoalan keuangan tidak mudah diselesaikan, sehingga organisasi yang sudah berdiri itu pelan-pelan merosot dan akhirnya bubar. Namun, tidak dengan Muhammadiyah, kekuatan Muhammadiyah ada pada persaudaraan.
Keuangan dalam Muhammadiyah dikelola secara profesional dan transparan. Pernah seorang kawan yang kebetulan bekerja sebagai sales obat-obatan bercerita, “Kalau menjual obat ke RS Muhammadiyah, pengurusnya biasa minta diskon besar. Tidak sama dengan rumah-rumah sakit di tempat lain. Tetapi, meskipun minta potongan besar, semua transaksi RS Muhammadiyah dilakukan di atas meja dan tidak masuk ke saku pengurusnya.”
Muktamar yang Teduh dan Tidak Gaduh
Peristiwa pergantian kepemimpinan lebih menarik lagi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa harta, takhta, dan wanita adalah sumber bencana apabila manusia tidak pandai mengelolanya. Di banyak organisasi atau sering sekali terjadi konflik hebat ketika diselenggarakan pergantian kepemimpinan. Muktamar yang diawali dengan perdebatan lisan dan berujung dengan bentrok tangan adalah pemandangan lumrah di luar Muhammadiyah.
Muktamar Muhammadiyah ke-47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar, misalnya, dipuji media massa sebagai muktamar yang teduh dan tidak gaduh. Publik menilai sebagai muktamar yang cerdas, demokratis, elegan, dan berkeadaban. Mitsuo Nakamura, pengamat Muhammadiyah dan juga NU, seusai mengikuti muktamar lain, lantas hadir dalam Muktamar Muhammadiyah, berkomentar di media, “Serasa keluar dari neraka ke surga.”
Muhammadiyah, Alhamdulillah, terbukti matang dalam kedua aspek di atas, yaitu manajemen keuangan dan reformasi kepemimpinan. Keuangan Muhammadiyah tertib. Amal usaha yang terus berkembang jelas merupakan bukti kepercayaan masyarakat untuk menitipkan kekayaan mereka untuk dikelola Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak mengemis kepada negara, tetapi kekayaan amal usaha Muhammadiyah belum ada tandingannya.
Belum pula terdengar ada pimpinan Muhammadiyah yang melakukan korupsi. Semua amanah. Tidak ada yang mencari kaya. Kalimat KH Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah” tersebut sudah mendarah daging di kalangan pimpinan dan anggota Muhammadiyah, dari pusat hingga ranting. Dalam Muhammadiyah, orang senang berlomba memberi, tidak terbiasa meminta.
Dengan kematangan demikian, tidak heran apabila Muhammadiyah mampu bertahan hingga seratus tahun lebih. Bukan sekadar bertahan sebagai “wujuduhu ka ‘adamihi”, melainkan Muhammadiyah benar-benar menyumbangkan manfaat dan pencerahan kepada umat. Dari segi jumlah anggota, boleh jadi Muhammadiyah bukan yang paling besar, namun organisasi mana yang mampu menandingi amal usaha Muhammadiyah?
Pertentangan Tidak Memunculkan Gejolak
Muhammadiyah terus berbuat dan bergerak. Tokoh dan elite Muhammadiyah adalah orang-orang yang gemar bekerja, bukan tipe manusia yang hanya “basah di lisan, namun kering dalam perbuatan”. Perdebatan yang tiada ujung pangkal itu tidak laku di Muhammadiyah. Perbedaan pandangan itu lumrah, tetapi tidak sampai merembet ke mana-mana, apalagi sampai saling serang di media sosial. Itu bukan gaya Muhammadiyah.
Tokoh dan elite Muhammadiyah sangat menjunjung akhlak dan mementingkan persatuan. Kita masih ingat kasus Basuki Tjahaja Purnama. Suara tokoh dan elite bangsa ini terbelah, termasuk di Muhammadiyah. Sebagian orang berpendapat bahwa Ahok menista agama, tetapi sebagian lagi berpendapat tidak. Ahmad Syafii Maarif termasuk yang menganggap Ahok tidak bersalah, sementara, M Din Syamsuddin berpendapat sebaliknya.
Ketika Karni Ilyas mengundang kedua mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu ke Indonesia Lawyer Club (ILC), M Din Syamsuddin menyatakan tidak mau hadir. Pak Din tidak ingin berhadapan dengan Buya Syafii di muka publik. Di sini, terlihat jelas kedewasaan pembesar Muhammadiyah. Buya Syafii sendiri, waktu itu, tetap hadir ke ILC mewakili dirinya sendiri, bukan atas nama Muhammadiyah atau apa pun.
Kemudian, yang masih segar dalam ingatan kita adalah ucapan M Amien Rais yang mengancam akan menjewer Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir apabila dia mempersilakan kader Muhammadiyah untuk menentukan pilihan di Pilpres 2019. Pernyataan itu disampaikan Pak Amien dalam acara Tabligh Akbar dan Resepsi Milad ke-106 Masehi Muhammadiyah di Islamic Center Surabaya, Selasa (21/11/2018).
Publik heboh, bahkan ada yang berharap-harap cemas, apa kira-kira yang bakal terjadi di kalangan tokoh dan elite Muhammadiyah. Tidak sedikit pula yang berusaha menjadi kompor agar suasana di dalam Muhammadiyah memanas, mengingat Pak Amien, selama ini, dikenal sebagai tokoh yang sering ucapannya kontroversial. Sementara Pak Haedar adalah tokoh kalem. Tetapi, endingnya, aman saja. Tidak ada gejolak di Muhammadiyah.
Muhammadiyah rupanya tidak terpancing, sebagaimana diprediksi banyak orang, atau seperti yang biasa terjadi di organisasi lain. Pak Haedar dan pimpinan Muhammadiyah menanggapi ucapan Pak Amien itu biasa saja. Mungkin dianggap sebagai nasihat orang tua kepada yang muda agar senantiasa hati-hati dan tidak sampai tersesat jalan. Hubungan Pak Haedar dan Pak Amien juga tetap harmonis. Tidak ada ketegangan sama sekali.
Tidak Ada Klaim Lebih Muhammadiyah Daripada yang Lain
Sekali lagi, Muhammadiyah benar-benar menunjukkan sebuah kedewasaan sikap. Dan, yang begini-begini ini, termasuk apabila ada upaya pihak-pihak luar untuk mengail kekeruhan dalam Muhammadiyah, tidak pernah berhasil. Muhammadiyah tidak gampang diadu domba. Mereka yang duduk sebagai pimpinan adalah orang-orang matang dan bertindak penuh pertimbangan. Akar rumput Muhammadiyah juga tidak biasa membully pimpinan.
Di Muhammadiyah tidak dikenal pengelompokan-pengelompokan, kendati bernada guyon, seperti “Muhammadiyah Garis Lucu”, “Muhammadiyah Garis Keras”, Muhammadiyah Garis Lunak”, “Muhammadiyah Murni,” “Muhammadiyah Sempalan”, dan semisalnya. Tidak ada pula sesama tokoh atau elite Muhammadiyah saling serang di media sosial dengan mengatakan bahwa dirinya lebih Muhammadiyah daripada yang lain.
Budaya saling menghormati dan memahami sangat dijunjung tinggi dalam Persyarikatan ini. Yang paling terasa adalah di Pilpres kali ini. Jelas sekali di Muhammadiyah tidak satu suara. Ada yang mendukung pasangan 01, ada pula yang ke 02. Secara organisasi, Muhammadiyah tetap netral, tetapi anggota Muhammadiyah dipersilakan memilih capres dan cawapres sesuai hati nurani masing-masing. Tidak ada instruksi atau arahan resmi.
Kekuatan Muhammadiyah Ada Pada Persaudaraan
Muhammadiyah, dari awal berdirinya hingga hari ini, tetap konsisten untuk tidak sama sekali mempertaruhkan diri terjun ke politik praktis. Bukan buta politik, apalagi apolitik, namun politik Muhammadiyah adalah politik tingkat tinggi. Yaitu politik nilai yang mengedepankan nilai-nilai akhlak, politik yang mengajak umat untuk memilih calon pemimpin yang memang mampu dan layak, bukan politik partisan, apalagi berebut kekuasaan.
Tentu segala pencapaian ini harus disyukuri dan ditingkatkan. Sebagaimana kata Haedar Nashir ketika berkunjung ke PCIM Malaysia baru-baru ini, “Kekuatan Muhammadiyah ini ada pada persaudaraan. PCIM yang sudah tersebar di 27 negara dengan ranting-ranting istimewa adalah karena orang-orang Muhammadiyah fokus untuk terus beramal dan beramal. Mereka tidak mudah terbakar suasana sehingga lupa dengan tugas dakwah yang mulia.”