Tak ada asap kalau tak ada api, ada alasan mengapa AS begitu berteman baik dengan negara Yahudi ‘Israel’. Ya, alasannya ternyata sangat berdimensi. Mulai dari latar belakang sejarah, sampai dengan kepentingan khusus dua negara adidaya yang berpengaruh di Internasional ini.
Sejak berdirinya negara Israel tahun 1948, AS merupakan negara pertama yang mengakui Israel sebagai sebuah negara yang berdaulat. Hal ini diketahui dari ditemukannya fakta pada lembaran resmi dari Departemen Luar Negeri AS.
Di bawah kepemimpinan Donald Trump, AS merupakan negara pertama yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017 dan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem pada 2018.
Pengakuan tersebut diikuti dengan kebijakan-kebijakan kontroversial Trump lainnya terhadap Palestina. Yang sebelumnya telah dirancang melalui proposal damai dengan Tim Perdamaian Timur Tengah oleh Trump.
Di era Trump ini, ada empat negara yang melakukan normalisasi dengan Israel, yakni UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Dari normalisasi negara Arab dengan Israel ini lah, tercetus perjanjian Abraham Accord yang merupakan kelanjutan dari perjanjian damai sebelumnya Peace to Prosperity. Namun, fakta yang terjadi, setelah perjanjian-perjanjian damai ini diresmikan, bukannya Israel-Palestina berdamai, melainkan banyak isu kemanusiaan yang ditemukan. Seperti masalah krisis air, kesehatan, pendidikan, kekerasan, kelaparan dsb di Palestina. Terhitung sejak Trump menjadi presiden pada tahun (2017) hingga pemilu AS (2020).
Masa Pemerintahan Joe Biden
Usai terpilihnya Joe Bidenmenjadi presiden AS ke-46, pada 3 November 2020, para sarjana sebelumnya mempredisksi hubungan antara Israel dan AS akan semakin memburuk. Prediksi tersebut menjelaskan bahwa Biden merupakan sosok yang masih memegang teguh visi yang diemban oleh mantan Presiden Barrack Obama.
Biden merasa perlu memperkuat lagi visi misi yang sempat dicanangkan bersama karena posisinya sebagai mantan Wakil Presiden Obama sekaligus politikus Partai Demokrat. Sikap Obama dan Biden ini diserang habis-habisan oleh pemerintah Israel yang dianggapnya tidak mendukung Israel.
Selain dari pandangan politik yang berbeda antara kubu Partai Demokrat (Biden) dan kubu Republik (Trump), sisi lain dari memburuknya hubungan Israel dengan negara yang memiliki penduduk 328,2 juta itu disebabkan oleh sikap Biden yang tidak ingin melihat AS sebagai negara ‘penyetir’ Israel seperti yang dilakukan oleh Presiden Trump lima tahun ke belakang.
Menurut Biden, presiden Trump cenderung mengakomodir semua keinginan Israel supaya pemilik industri AS keturunan Israel mendukung penuh apa yang dilakukan Trump saat menjalankan pemerintahan.
Kebijakan Biden dalam Konflik Israel-Palestina
Di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, AS mengubah arah kebijakannya dalam menangani isu konflik Palestina-Israel. Langkah Biden ini menunjukkan suatu pendekatan yang bertolak-belakang dengan kebijakan presiden AS sebelumnya.
Biden mengambil kebijakan untuk mendorong solusi dua negara seperti yang tertera pada Resolusi DK PBB 2334 tahun 2016 dalam penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina yang tak kunjung usai ini. Biden berharap, Palestina membuka kembali kantor misi diplomatik mereka di Washington yang sempat ditutup oleh Presiden Trump.
Menurut Pelaksana Tugas Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Richard Mills, Biden tidak akan mendukung rencana pencaplokan sebagian Tepi Barat dan perluasan permukiman ilegal oleh Israel. Serta membatalkan pemangkasan bantuan bagi penduduk Palestina.
Namun, Biden akan mendesak Israel dan Palestina agar menghindari aksi sepihak yang bisa mempersulit dialog atau perundingan damai untuk solusi dua negara. Contoh aksi itu adalah upaya pencaplokan, proyek permukiman, penggusuran rumah penduduk Palestina, serta menghasut orang-orang untuk melakukan kekerasan.
Keputusan Biden dalam membatalkan kebijakan terhadap Palestina dan Israel di era Trump itu juga bukan untuk menyenangkan segelintir kalangan. Namun, bantuan dari AS itu akan sangat menguntungkan bagi penduduk Palestina dan membantu menciptakan lingkungan yang stabil bagi Palestina maupun Israel.
Meski begitu, Biden akan tetap mendukung Israel sebagai sekutu untuk menghadapi opini yang dinilai menyudutkan negara itu di PBB dan lembaga dunia lainnya.
Sebagai upaya terakhirnya, Biden kerap mengajak sejumlah negara di dunia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Dengan janji bukan dianggap sebagai imbalan untuk memuluskan jalan perdamaian antara Israel dan Palestina.
Joe Biden Akan Memberikan Bantuan Rp. 1,4 Triliun untuk RS Palestina
Pertemuan Biden dengan Abbas pada 15 Juli 2022 lalu nampak sangat hangat dan kekeluargaan. Mereka fokus membicarakan kebijakan ekonomi dan bantuan kemanusiaan. Namun tanpa ada capaian konkret dan terobosan diplomatik yang besar.
Pada pertemuannya dengan Abbas, ia menjanjikan tambahan dana sebesar 100 juta dollar, AS (Rp 1,4 triliun) untuk mendukung sejumlah rumah sakit di Yerusalem Timur. Di Rumah Sakit Augusta Victoria, Biden telah menyampaikan janjinya, yakni “Hari ini saya dengan senang hati mengumumkan bahwa Amerika Serikat memberikan tambahan 100 juta dollar AS untuk mendukung rumah sakit-rumah sakit ini, para staf anda yang bekerja untuk rakyat Palestina,”.
Hilangnya Kepercayaan Palestina Terhadap AS
Sejak Trump membuka kedubes AS untuk Israel di Yerusalem, hubungan antara AS-Palestina pun merenggang hingga kini. Benar-benar tidak ada komunikasi apa pun. Tidak ada diskusi dengan Palestina. Pendanaan telah sepenuhnya terputus. Benar-benar tidak ada prospek diskusi politik dalam bentuk apa pun.
Biden mengatakan, ia tak bakal membalikkan kebijakan Presiden Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal, Yerusalem menjadi salah satu sumber konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung setengah abad lebih.
Saat melakukan kunjungan ke Tepi Barat dan Gaza, Biden mengumumkan banyak bantuan ekonomi serta dukungan lainnya seperti pembuatan jaringan telepon 4G untuk Palestina.
Akan tetapi, kunjungan Biden ke Palestina turut diwarnai aksi protes. Seperti yang dikatakan oleh Jude Salhi, “AS bukan perantara yang jujur. Dia (Biden) di sini jelas hanya untuk satu tujuan: membantu Israel, bukan Palestina,”.
Bahkan, Mahmoud Abbas sebagai presiden Palestina menanggapinya dengan berkata, “Solusi dua negara di satu wilayah atau two-states untuk konflik Israel-Palestina mungkin tidak akan bertahan lama. AS yang berusaha memperbaiki hubungan dengan Palestina yang putus di bawah pemerintahan AS terakhir”.
Kepercayaan Palestina dengan AS telah hilang bagaikan kertas yang dicoret-coret atau cermin yang pecah. Hak veto yang dimiliki AS di DK PBB, seharusnya dapat mengembalikan kepercayaan itu. Yakni dengan mengembalikan tanah air Palestina yang meliputi rasa aman, damai, dan sejahtera bagi bangsa Palestina.
Namun jika Biden tak mampu melakukannya, maka perubahan pada kebijakan Biden ini akan dianggap sama seperti presiden AS sebelumnya. Dan pada akhirnya, konflik antara Israel dan Palestina pun tak akan pernah selesai karena digantungkan pada kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemimpin negara adidaya itu, yang sifatnya stagnansi.
Editor: Yahya FR