Falsafah

Al-Ghazali & Kekuasaan (1): Pandangan dan Teori

3 Mins read

Setiap orang pasti memiliki gagasan tertentu mengenai kekuasaan. Namun bila ditanyakan apa itu kekuasaan, orang itu akan menemui kesulitan dalam mengurai gagasannya tentang apa yang disebut kekuasaan.

Sebenarnya, sejak seseorang mengenal dirinya dan lingkungannya, ia telah mengenal apa yang disebut kekuasaan itu. Kekuasaan pertama yang dikenal adalah kekuasaan dalam keluarga. Kemudian, orang yang lebih besar atau lebih tua darinya, dosen terhadap mahasiswanya, dan seterusnya sampai pada kekuasaan pemerintah terhadap rakyatnya.

Konsep kekuasaan dalam ilmu politik adalah suatu konsep yang sering dibahas. Sebabnya adalah karena konsep ini dianggap mempunyai sifat yang sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya dan ilmu politik khususnya.

Malahan, pada suatu ketika, politik dianggap tidak lain dari masalah kekuasaan belaka. Dan dalam keadaan bagaimanapun juga, kekuasaan tetap merupakan gejala yang sangat sentral dalam ilmu politik dan dapat diperdebatkan dengan hangat.

Perbedaan pandangan tentang hakekat kekuasaan itu di kalangan para sarjana agaknya adalah suatu hal yang telah lumrah. Kendati demikian, sekali pun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mengetahui tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa. Sehingga, tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

Sumber Kekuasaan

Sumber kekuasaan itu bukan pangkat, kedudukan, atau jabatan. Juga bukan harta milik kekayaan dan bukan pula dewa atau pun yang dianggap ilahi. Plato menobatkan filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi yang mulia dan harus di atas tahta pemerintahan negara ideal. Karena, hanya dengan pengetahuanlah yang sanggup membimbing dan menuntun manusia untuk datang pada pengenalan yang benar akan segala sesuatu yang ada dalam keberadaannya serta sempurna dalam dunia ide.

Baca Juga  Kritik M. Amin Abdullah terhadap Etika Al-Ghazali

Merebut kekuasaan adalah sebagai salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam hal ini, bukan hanya masalah moral. Melainkan, masalah kesanggupan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri. Untuk memusatkan kosmis yang dimiliki dalam menata sebuah negara.

Membiarkan kekuasaan diperintah orang lain yang kurang menguasai ilmunya sehingga institusi negara tidak bisa berperan sebagaimana mestinya menjadi tanggung jawab bersama. Rakyat berhak dan sah secara moral dan hukum untuk merebut kekuasaan dalam negara apabila secara pribadi menguasai ilmu tentang tata negara. Begitu pula menggunakannya kekuasaan dengan sendirinya sah karena sejauh kekuasaan itu nyata.

Kekuasan Menurut Al-Ghazali

Kekuasaan menurut al-Ghazali adalah menguasai hati rakyat sehingga mereka dapat mentaati dan menghormati semua peraturan yang telah ditetapkan.

Inti dari kekuasaan adalah sebuah popularitas dan itu tercela sebab akan menimbulkan sifat tamak, sombong, dan syirik (menyekutukan Tuhan). Tetapi, bisa menjadi terpuji bila orang yang memegang kekuasaan itu telah ditunjuk oleh Allah dan menggunakan kekuasaan itu li maslahatil ammah (demi kepentingan umum).

Beliau juga menegaskan bahwa sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Hal ini terlihat dari dasar rujukan yang dijadikan al-Ghazali yaitu surat an-Nisa’ ayat 59. Di ayat tersebut, Allah memerintahkan orang-orang mukmin taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan kepada para pemimpin. Tak hanya itu, dalam surat Ali Imran ayat 26, yang menegaskan bahwa Allah memberikan kerajaan (kekuasaan) kepada yang ia kehendaki.

Al-Ghazali mendukung semboyan yang menyatakan bahwa kepala negara atau sultan merupakan bayangan Allah di atas bumi-Nya.

Karena itu, rakyat wajib mengikuti dan menaatinya, tidak boleh menentangnya. Untuk itu, menurut al-Ghazali dalam kenyataannya Tuhan memilih di antara cucu-cucu Adam menjadi Nabi dan para pemimpin.

Baca Juga  Mulla Shadra (2): Mengajar dan Kontemplasi Filosofis

Para nabi bertugas membimbing rakyat ke jalan yang benar. Para raja atau kepala negara mengendalikan rakyat agar tidak bermusuhan sesama mereka. Dengan kebajikannya, ia mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Pendapat al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa kekuasaan itu muqaddas (suci). Karena rakyatnya wajib menaati segala perintahnya. Sistem pemerintahan seperti itu hampir sama dengan teori kenegaraan yang berdasarkan atas ketuhanan (teokrasi).

Kendatipun demikian, teokrasi al- Ghazali berbeda dengan teori ketuhanan yang diformulasikan dalam teori Barat.

Dalam teori ketuhanan, kekuasaan berasal dari Tuhan. Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi kekuasaan kepada-Nya. Teori ketuhanan ini merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa kekuasaan politik diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok.

Teori Kekuasaan: antara al-Ghazali dan Barat

Negara dibentuk oleh pihak yang menang, dan kekuatannya yang membentuk kekuasaan dan pembuat hukum. Sesuatu yang membedakan teori ketuhanan al-Ghazali dengan Barat adalah, adanya sumber kekuasaan itu merupakan pengakuan dari rakyat. Sedangkan Barat berdasarkan atas siapa yang kuat dialah yang akan berkuasa.

Teori ketuhanan Barat akan mendorong penguasa berbuat lalim atas nama Tuhan. Sedangkan al-Ghazali menurut penguasa tidak boleh sekali-kali lalim, karena segala tindak-tanduknya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Al-Ghazali berpendapat mengenai kedudukan seorang kepala negara, bahwa meskipun seseorang menjadi kepala negara atas kehendak Allah, namun ia juga harus mendapat Tafwid (penyerahan kekuasaan) dan Tauliyat (pengangkatan dari orang lain).

Menurut al-Ghazali, ada tiga cara untuk memperoleh Tafwid dan Tauliyat. Yakni dengan cara penetapan dari Nabi, penetapan dari sultan yang berkuasa dengan menunjuk putra mahkota (Wilayatal-Ahd) dari putra-putranya, atau orang yang diperkuat dengan baiat oleh ulama, Ahl al-Hall wa al-Aqdi.

Seorang penguasa tidak dibenarkan memberikan peluang kepada para keluarga, pembantu, dan para pengikutnya untuk berlaku zalim terhadap rakyat. Agar mereka tidak lemah dan sengsara dan karenanya mendorong mereka berpindah ke wilayah lain, dan meninggalkan negaranya.

Baca Juga  Imam Al-Ghazali: Raksasa Genius dari Persia

Dengan begitu, pamor kepemimpinan penguasa menjadi menurun dan pemasukan negara pun menurun.

Editor: Yahya FR

Salman Akif Faylasuf
58 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds