Tafsir

Al-Qur’an: Kalam Allah dan Perkataan Nabi

21 Mins read

Apakah al-Qur’an merupakan kalam Allah secara verbatim, dalam arti lafaz-lafaznya berasal dari Tuhan? Fazlur Rahman, sarjana asal Pakistan, berpendapat “tidak”. Bagi Rahman, dalam hal bahwa al-Qur’an itu terjaga dari kesalahan, maka ia sepenuhnya kalam Allah. Namun, dalam kaitannya sebagai wahyu yang disampaikan ke dalam hati Nabi dan diungkapkan dengan lisannya, maka ia sepenuhnya perkataan Nabi sendiri. Berikut saya kutipkan kalimat Rahman dalam bukunya, Islam: “the Qur’an is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad.” Sayangnya, kata Rahman, ulama-ulama ortodoks (bahkan seluruh pemikir Muslim abad pertengahan) tidak memiliki perangkat intelektual untuk mengombinasikan antara eksternalitas kalam Tuhan dan keintiman koneksinya dengan pengalaman kenabian Muhammad.

Saya setuju dengan Rahman bahwa al-Qur’an sepenuhnya kalam Tuhan dan, pada saat yang sama, sepenuhnya perkataan Nabi. Namun demikian, Rahman salah ketika mengatakan bahwa tak ada ulama terdahulu yang sependapat dengannya. Seperti akan ditunjukkan dalam tulisan ini, banyak ulama terdahulu menjawab pertanyaan di atas secara negatif. Jika di zaman modern, pendapat Rahman (dan segelintir sarjana lain) tergolong minoritas (bahkan dia menghapi penolakan keras dari ulama-ulama Pakistan), di abad pertengahan (atau, lebih tepatnya, masa Islam klasik) justeru pandangan seperti itu diterima cukup luas, jika tak boleh dikatakan mayoritas (tentu, dengan berbagai varian argumentasinya).

Dalam tulisan ini, saya akan mendemonstrasikan sejumlah kalangan yang berpendapat bahwa lafaz-lafaz al-Qur’an tidak berasal dari Allah langsung. Di tengah analisis itu, akan juga didiskusikan pandangan yang di kemudian hari menjadi paham ortodoksi. Yakni, pandangan Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya, yang ditopang oleh argumen skripturalisasi yang diperkenalkan oleh Syafi‘i. Di bagian akhir tulisan, saya akan mendiskusikan pembacaan saya atas al-Qur’an dan hadis untuk memperlihatkan bahwa sumber utama Islam sendiri membuka ruang bagi pandangan “al-Qur’an sebagai kalam Ilahi dan sekaligus perkataan Nabi.”

Lafaz Al-Qur’an bukan dari Allah

Pada abad ke-14 dan 15 M., dua penulis ulum al-Qur’an ternama, Zarkasyi dan Suyuti, meriwayatkan tiga pandangan utama terkait pertanyaan bagaimana malaikat Jibril menyampaikan al-Qur’an kepada Nabi. Pertama, al-Qur’an diwahyukan dalam lafaz dan makna. Artinya, Jibril menghafalkan lafaz-lafaz al-Qur’an dari lauhul mahfuz, dan menyampaikannya kepada Nabi. Kedua, Jibril menyampaikan maknanya dan Nabi yang mengekspresikannya dengan lafaz-lafaz Arab. Menurut Zarkasyi dan Suyuti, mereka yang berpendapat demikian menafsirkan Q 26:193-195 secara harfiyah. Ketiga, Jibril menerima al-Qur’an dalam maknanya, kemudian dia mengekspresikan dengan lafaz Arab. Sang malaikat membaca al-Qur’an di langit dalam bahasa Arab, kemudian turun ke bumi dan mendiktekannya kepada Nabi.

Dalam kitab al-Burhan dan al-Itqan, baik Zarkasyi maupun Suyuti tidak memberikan penilaian pada tiga pendapat di atas. Namun demikian, keduanya tampak menguatkan perdapat pertama. Hal ini, misalnya, terlihat bagaimana mereka mendiskusikan sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa “Tuhan berbicara dengan wahyu” (takallama Allah bi’l-wahy). Kedua penulis juga mengelaborasi berbagai riwayat seputar proses turunnya al-Qur’an dalam dua tahapan. Yakni, diturunkan ke langit bumi pada satu malam, dan kemudian diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur.

Pada abad ke-14 dan 15, hampir bisa dipastikan dua pendapat terakhir sudah tidak lagi populer. Tapi hal itu tidak menafikan kenyataan bahwa apakah lafaz al-Qur’an berasal dari Tuhan atau tidak merupakan persoalan khilafiyah. Yang tidak termasuk khilafiyah adalah sumber keilahian al-Quran, yakni bahwa al-Qur’an bersumber dari Allah. Namun, apakah proses pewahyuannya melibatkan “makna” dan “lafaz” sekaligus, ataukah lafaznya berasal dari Nabi sendiri atau Jibril merupakan persoalan yang menyulut perdebatan intens. Pada periode lebih awal, dua pandangan terakhir itu sebenarnya cukup menonjol, terutama di kalangan teolog Muslim (mutakallimun).

***

Istilah “kalam Allah” sebenarnya tipikal diskursus teologis di kalangan para mutakallimun, yang berkembangan pesat sejak abad ke-3 H. atau ke-9 M. Pada dua abad sebelumnya, istilah itu jarang ditemukan. Dalam al-Qur’an, prasa “kalam Allah” hanya muncul tiga kali. Istilah yang banyak ditemukan dalam al-Qur’an ialah “kitab Allah.” Berbagai riwayat yang dinisbatkan kepada beberapa sahabat dan tabi’in juga tidak merujuk pada al-Qur’an sebagai “kalam Allah,” melainkan “kitab Allah.”

Sebenarnya menarik untuk dianalisis secara historis (sungguhpun di luar jangkauan tulisan ini) bagaimana deskripsi tentang al-Qur’an dalam perbincangan teologis bergeser dari “kitab Allah” menjadi “kalam Allah.” Kata “kitab” sendiri dalam al-Qur’an punya makna yang cukup dinamis. Barangkali ketika wahyu al-Qur’an mulai diidentikkan dengan mushaf al-Qur’an, maka konsep “kalam Allah”, yang disebutkan oleh kalangan ortodoks sebagai sifat esensial Tuhan, mulai mengambil alih signifikansi “kitab Allah.”

Sejak abad ke-3/9, “kalam Allah” muncul sebagai istilah cukup menonjol untuk mendefinisikan al-Qur’an (al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril), seiring dengan perdebatan apakah al-Qur’an itu makhluk (diciptakan) atau bukan. Sebuah perdebatan sengit yang melibatkan kubu Mu’tazilah dan penolaknya, terutama Ahmad ibn Hanbal. Saya hanya akan menggarisbawahi beberapa aspek dari perdebatan tersebut yang relevan dengan tema tulisan ini.

Menarik dicatat, baik kubu Mu’tazilah maupun Ahmad ibn Hanbal dan pendukungnya sama-sama berpendapat bahwa lafaz al-Qur’an berasal dari Allah. Bagi kubu pertama, Allah menciptakan al-Qur’an sekaligus lafaz dan bacaannya (atau, bagaimana membunyikannya). Bagi kubu kedua, al-Qur’an dan lafaznya berasal dari Allah dan bukan ciptaan-Nya. Di luar kedua kubu tersebut, sejumlah mutakallimun membedakan antara al-Qur’an sebagai berasal dari Allah di satu sisi, dan lafaz dan bacaanya yang berasal dari Jibril atau Muhammad di sisi lain.

***

Salah seorang teolog terkemuka asal Basrah, Abdullah ibn Kullab (w. 241/855), membuat distingsi antara kalam Allah dan ekspresi atau ungkapan Arabnya dalam bentuk al-Qur’an yang terdiri dari huruf dan bunyi Arab. Seperti yang nanti akan tampak jelas, pandangan Ibn Kullab ini berpengaruh besar terhadap pemikiran Abul Hasan al-Asy‘ari, pendiri mazhab teologi Asy‘ariyah. Pandangan Ibn Kullab dapat ditemukan dalam karya besar Asy‘ari, yakni Maqalat al-Islamiyyin. Setelah berargumen bahwa kalam Allah itu bersifat eternal (azali), Ibn Kullab berkata:

Kalam [Allah] bukanlah huruf atau bunyi, dan tidak dapat dibagi dan dipecah-pecah atau diubah. Ia merupakan satu makna (yang esensial) dalam Tuhan. Sementara tulisan (rasm) [al-Qur’an] merupakan huruf-huruf yang beragam, dan ia juga bacaan al-Qur’an. Adalah suatu keasalahan jika dikatakan bahwa kalam Allah adalah ini dan itu atau sebagian darinya. Sesungguhnya ungkapan-ungkapan (‘ibarat) tentang kalam Allah berbeda-beda dan beragam…. Kalam Allah disebut berbahasa Arab semata-mata karena tulisan [al-Qur’an] yang merupakan ungkapan dan bacaannya itu berbahasa Arab.

Karya Ibn Kullab tidak sampai kepada kita sekarang. Tapi, dari berbagai kutipan yang dicatat oleh Asy‘ari tampak jelas bagaimana ia membedakan antara kalam Allah yang bersifat azali dan al-Qur’an yang berbentuk tulisan dan bunyi. Jika yang pertama bersifat eternal, maka yang disebut terakhir tidak. Al-Qur’an berbahasa Arab yang terdiri dari huruf, kata, frasa, dan bunyi merupakan ungkapan dari kalam Allah dalam bahasa manusiawi, dan bukan kalam Allah itu sendiri. Dengan kata lain, lafaz-lafaz al-Qur’an dan bunyinya yang kita baca dan/atau dengar bukanlah kalam Allah, melainkan ekspresi manusiawi atas kalam Allah.

***

Dengan argumen ini, Ibn Kullab memahami kisah nabi Musa dalam Q 9:6 “supaya ia mendengar (yasma‘) kalam Allah” sebagai “supaya ia memahami (yafham) kalam Allah.” Penafsiran Ibn Kullab ini didasarkan pada asumsi bahwa kalam Allah itu tidak bisa terdengar atau didengar oleh telinga manusia. Penafsiran “mendengar” sebagai “memahami” ini kemudian menjadi penafsiran khas mazhab teologi Asy‘ariyah. (Seperti nanti akan dijelaskan, Asy‘ari mendefinisikan kalam Allah sebagai “kalam nafsi”, yang secara sederhana dapat dipahami sebagai kalam yang tidak terdengar dengan telinga.)

Lalu, bagaimana proses pewahyuan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad itu terjadi? Sulit melacak apa jawaban Ibn Kullab. Dalam Majmu al-fatawa, Ibn Taimiyah mengutip pandangan Ibn Kullab yang memberikan semacam indikasi. Menurut Ibn Taimiyyah, Ibn Kullab menafsirkan kata “inzal” (menurunkan wahyu) secara metaforis. Yakni, “menjadikannya [wahyu yang diturunkan] diketahui” (al-i‘lam bihi) dan “menjadikannya dipahami” (ifhamuhu). Seperti diduga, Ibn Taimiyah menyebut pandangan Ibn Kullab untuk ditolaknya.

Ibn Taimiyah mengakui bahwa orang pertama yang menggagas pemisahan antara kalam Allah dan lafaz-lafaz al-Qur’an adalah Ibn Kullab, yang kemudian diikuti oleh sejumlah mutakallimum, termasuk Abul Hasan al-Asy‘ari. Berikut saya kutipkan reaksi Ibn Taimiyah dalam Majmu‘ al-fatawa:

Orang pertama yang menggagas ini adalah Ibn Kullab. Namun demikian, dia dan para pengikutnya seperti Asy‘ari dan lainnya berkata bahwa al-Qur’an tersimpan dalam hati, terbaca dengan lisan dan tertulis dalam mushaf…. Kemudian para pengikut mereka mengikuti satu mazhab bahwa al-Qur’an merupakan makna esensial dalam Tuhan dan bahwa huruf-hurufnya bukan termasuk kalam Allah, melainkan Dia ciptakan di udara, atau diciptakan oleh Jibril atau Muhammad.

***

Dalam banyak kesempatan, Ibn Taimiyah menyandingkan pandangan Ibn Kullab dan Asy‘ari untuk memperlihatkan kemiripan antara keduanya. Bahkan pernyataan yang disangkal Ibn Taimiyah di atas dapat ditemukan dalam karya asli Asy‘ari, yakni al-Ibanah fi ushul al-diyanah. Seperti jamak diketahui, perhatian Asy‘ari ialah untuk menolak gagasan Mu’tazilah bahwa al-Qur’an itu makhluk. Dia sangat tegas menolak pandangan tersebut, bahkan menolak pandangan mereka yang tawaqquf (tidak mengatakan al-Qur’an makhluk atau bukan makhluk). Bagi Asy‘ari, al-Qur’an jelas bukan makhluk.

Baca Juga  Hikmah Pembagian Surat Makkiyah dan Madaniyah

Namun, apakah lafaz al-Qur’an berasal dari Allah dan karena itu bukan makhluk? Saya harus akui, pandangan Asy‘ari cukup rumit karena pendapatnya yang bermaktub dalam edisi al-Ibanah yang ada sekarang tampak berbeda dari yang diriwayatkan oleh Ibn Furak (w. 406/1015), generasi kedua sekte Asy‘ariyah. Dalam al-Ibanah, Asy‘ari menegaskan bahwa segala hal yang terkait al-Qur’an bukan makhluk. Bahkan, ia keberatan dengan istilah “lafaz”. Sebab, menurutnya, al-Qur’an tidak bisa dilafazkan, melainkan dibaca atau ditilawah. Namun demikian, dalam Mujarrad maqalat al-Syaikh Abi al-Hasan al-Asy‘ari, Ibn Furak meriwayatkan pandangan Asy‘ari yang membedakan antara kalam Allah dan tulisan/bacaan/bunyinya. Sementara kalam Allah bersifat azali, tulisan/bacaan/bunyinya bersifat temporal.

Pandangan Asy‘ari yang dikutip Ibn Furak ini sejalan dengan definisinya tentang kalam sebagai “makna yang berkandung dalam jiwa dan tidak memiliki bunyi atau huruf,” suatu teori yang dikenal dengan “kalam nafsi”. Berikut saya kutipkan pandangan Asy‘ari secara lebih detail:

Kalam Allah terdengar bagi-Nya melalui pendengaran-Nya yang azali, dan terdengar bagi makhluk (manusia) melalui pendengaran temporal (asma’ haditsah). Kalam itu dibaca dan ditilawah dengan bacaan dan tilawah para pembaca. Dan bacaan atau tilawah mereka bersifat temporal, sementara yang terbaca dan tertilawah tidak…. Maka, kalam Allah itu terbaca dan tertilawah ketika terjadi pembacaan dan tilawah. Tidak bisa dikatakan [kalam Allah] masih terbaca, sebab semua bacaan dan tilawah tersifat temporal.

***

Ada dua tahapan untuk memahami pandangan Asy‘ari di atas. Pertama, distingsi antara kalam Allah yang azali dan bacaan/tilawah/tulisan/bunyi yang bersifat temporal. Kedua, secara ontologis, kalam Allah tidak mengambil tempat dalam tulisan/bacaan/tilawah. Sebagai contoh, kalam Allah tertulis di atas lauhul mahfuz, tapi bukan berarti ia secara fisik betul-betul ada di atas lauhul mahfuz. Jika ini bisa dipahami, maka pandangan Asy‘ari dapat dirumuskan sebagai berikut: Kalam Allah merupakan sifat Tuhan yang tak terpisahkan dari-Nya. Sementara ayat-ayat yang terbagi ke dalam sejumlah surat itu dapat diaplikasikan pada al-Qur’an, tapi tidak diaplikasikan pada kalam Allah. Sebab, surat dan ayat-ayat itu bersifat fisik. Ingat, definisi kalam nafsi-nya Asy‘ari! Tentu saja, kata Asy‘ari, al-Qur’an dapat disebut kalam Allah, sebagaimana “Taurat” atau “Zabur” atau “Injil” juga demikian. Yakni, ketika beragam ungkapan dalam bahasa manusia mengekspresikan kalam Allah, “walaupun penamaan-penamaan tersebut tidak ada secara azali.”

Lagi-lagi, pertanyaannya: Bagaimanakah kalam Allah itu diturunkan kepada Nabi? Sebelum saya kutipkan pernyataannya untuk menjawab pertanyaan di atas, secara implisit Asy‘ari berpendapat bahwa Nabi-lah yang membacakan kalam Allah dengan huruf dan bunyi yang begitu mempesona sehingga tak ada yang mampu menandinginya (kemukjizatan Qur’an). Maka bisa dikatakan, kata Asy‘ari, “bacaan Nabi yang sedemikian [atas kalam Allah] merupakan mukjizat, sebab dia menginisiasi bacaan yang tak seorangpun mampu menirunya.” Kemudian, Asy‘ari mengidentifikasi dua bentuk mukjizat al-Qur’an: Bacaannya dan informasi tentang hal-hal ghaib.

Nah, pernyataan Asy‘ari yang relevan untuk menjawab pertanyaan di atas sebagai berikut:

Arti ‘menurunkan al-Qur’an’ (inzal al-Qur’an) adalah mengirimkan utusan (rasul) untuk membawanya turun, dalam arti bahwa ia menghafalnya di sebuah tempat di atas (‘uluw) kemudian menyampaikannya di sebuah tempat di bawah (sufl). Disebutkan, ia membawa turun al-Qur’an berdasarkan makna dan menyampaikan di bawah apa yang didengarnya di atas.

***

Saya kira, kutipan pernyataan Asy‘ari ini cukup eksplisit menegaskan bahwa ia membenarkan pandangan al-Qur’an tidak diturunkan dengan lafaz. Pandangan ini diikuti dan dikembangkan lebih lanjut oleh teolog Asy‘ariyah dari generasi berikutnya, seperti Baqillani, Juwaini, Shiqilli dan lainnya. Mereka mengafirmasi “kalam nafsi”-nya Asy‘ari, dan membedakannya dengan bacaan verbal yang terdiri dari huruf dan bunyi. Menarik dicatat, generasi Asy‘ariyah pasca Asy‘ari lebih menekankan peran Jibril sebagai “pencipta” lafaz-lafaz al-Qur’an, bukan Nabi sendiri.

Distingsi antara kalam Allah di satu sisi dan ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an di sisi lain sebenarnya diterima luas di kalangan mutakallimun non-Hanbali. Misalnya, pendiri teologi Maturiyah, Abu Mansur al-Maturidi. Dalam Kitab Tauhid-nya, Maturidi mengemukakan pandangan serupa dengan Asy‘ari. Ada kesamaan proposisi antara Maturidi dan Asy‘ari, yakni bahwa kalam Allah tidak bisa terdengar/terbaca. Artinya, secara ontologis, kalam Allah tidak dapat diidentikkan dengan al-Qur’an yang berbentuk tulisan dan bunyi.

Murid-murid Maturidi yang berpengaruh menyebarkan teologi Maturidiyah, seperti Abu Bakar ‘Iyad dan Abu Salamah al-Samarqandi, turut menyetujui pandangan itu. Yang disebut terakhir menulis karya penting, berjudul Jumal ushul al-din, di mana dia mengelaborasi lebih jauh perbedaan antara kalam Allah dan al-Qur’an. Karena sudah ada sarjana lain yang mendiskusikan pandangan teolog Maturidiyah, termasuk Samarqandi, saya merasa tidak perlu mengulang di sini. Saya sarakan pembaca untuk membaca tulisan Philip Dorrol, berjudul “The Doctrine of the Nature of the Qur’an in the Maturidi Tradition.”

***

Perlu dicatat, Samarqandi yang disebutkan di atas berbeda dengan Samarqandi penulis Kitab Sawad al-A’dham, yang hidup pada paruh pertama abad ke-4/10. Samarqandi yang ini memang menyamakan antara kalam Allah dan al-Qur’an yang ada di tangan kita. Dia bahkan menuntut kaum beriman untuk bersaksi bahwa “Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang tidak diciptakan (ghayr makhluq), sebab al-Qur’an memang realitasnya kalam Allah, bukan sekadar metaforis (majazi).” Sebuah pandangan yang sebenarnya cukup unik di kalangan para pengikut Maturidiyah awal. Di kalangan ulama Maturidiyah generasi berikutnya, seperti Bazdawi dan Nasafi, distingsi antara kalam Allah dan al-Qur’an yang terdiri dari ayat-ayat dan surat-surat ditegaskan secara eksplisit.

Terkait status lafaz-lafaz Arab al-Qur’an, dalam karyanya berjudul Ushul al-din, Bazdawi menegaskan bahwa “surat-surat [al-Qur’an] yang memiliki awal dan akhir serta dibagi menjadi segmen-segmen sebenarnya-benarnya (‘ala al-haqiqah) bukanlah kalam Allah, melainkan komposisi yang disusun oleh Allah (mandhum nadhdhamahu) yang menunjuk pada kalam Allah, seperti halnya komposisi [penyair] Imra’ul Qais yang menunjuk pada kalam-nya, tetapi bukan kalam itu sendiri.” Walaupun demikian, berbeda dengan Maturidi sendiri, komposisi al-Qur’an disebutnya sebagai perbuatan Tuhan, dan karenanya bersifat azali.

Nasafi merupakan teolog Maturidiyah prolifik dengan tingkat loyalitas tinggi pada ajaran Maturidi sendiri. Di antara karya pentingnya ialah Bahr al-kalam fi ‘ilm al-tauhid, al-Tamhid fī qawa‘id al-tauhid, dan Tabshirat al-adillah fi ushul al-din. Dalam kitab yang disebut terakhir ini ia mengelaborasi pandangannya tentang perbedaan kalam Allah dan al-Qur’an. Setelah mendiskusikan ke-azali-an kalam Allah, ia menulis:

Sementara ungkapan-ungkapan (‘ibarat) dalam bahasa Arab, Ibrani atau Suryani merupakan huruf-huruf dan bunyi dan itu bersifat temporal (muhdats) dan diciptakan (makhluq) dalam lokusnya. Ungkapan-ungkapan tersebut memang menunjuk pada kalam yang merupakan sifat-sifat Tuhan yang azali …. Tetapi, ‘ibarat itu diciptakan. Kalam Allah adalah sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagi atau tidak dipartisi, dan ia juga bukan berbahasa Arab atau Ibrani atau Suryani.

***

Kutipan di atas begitu jelas sehingga tak perlu dikomentari panjang lebar: Kalam Allah itu tidak berbahasa Arab, Ibrani, atau Suryani! Saya berharap sudah berhasil menunjukkan betapa luasnya penerimaan gagasan bahwa lafaz-lafaz al-Qur’an tidak berasal dari Allah. Saya sebenarnya masih ingin mendiskusikan pandangan Abu Hanifah dan para pengikutnya, namun bagian pertama tulisan ini sudah terlalu panjang.

Al-Qur’an dan Paham Ortodoks

Sekarang saatnya untuk mendiskusikan pandangan yang kelak menjadi paham ortodoksi: Lafaz dan makna al-Qur’an berasal dari Allah. Proses “ortodoksifikasi” sebuah pandangan yang sebenarnya di awal contested menarik dianalisis dalam satu tulisan tersendiri. Dalam bagian ini, saya membatasi pada cikal-bakal pandangan ortodoksi tersebut, bukan bagaimana ia menjadi keyakinan ortodoks. Dengan kata lain, apa yang akan saya bicarakan – secara serba singkat – ini terkait pandangan “proto-ortodoks.”

Yakni, pandangan Ahmad ibn Hanbal dan beberapa pengikutnya. Seperti disinggung di awal, Ibn Hanbal menolak keras doktrin ke-makhluk-an al-Qur’an sebagaimana dipromosikan Mu’tazilah. Yang relevan dengan diskusi kita ialah asumsi dasar di balik penolakannya itu: Al-Qur’an merupakan bagian dari ilmu Tuhan, dan karenanya bukan makhluk. Hal itu berarti sumber dan substansi dari apa yang diwahyukan dan menjadi al-Qur’an tak lain dan tak bukan adalah ilmu Tuhan. Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan pengejawantahan ilmu Tuhan kepada umat manusia. Dengan asumsi dasar semacam ini, dapat dipahami jika Ibn Hanbal mengidentikkan al-Qur’an dengan ilmu Tuhan yang bersifat azali dan bukan makhluk.

Dalam konstruksi Ibn Hanbal, Tuhan melafazkan al-Qur’an dalam bahasa Arab, yang kemudian didektikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad. Postulat semacam ini dapat ditemukan pada pemikiran ulama literalis belakangan, seperti Ibn Hazm, yang menyejajarkan al-Qur’an dengan kalam Allah dan ilmu-Nya.  Baik Ibn Hanbal maupun Ibn Hazm bersandar pada pemahaman literlek atas beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Misalnya, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Nabi bersabda: “Ketika Allah berfirman, para penghuni langit mendengar bunyi seperti rantai diseret pada bebatuan dan mereka tak sadarkan diri hingga Jibril datang kepada mereka. Ketika sadar, mereka bertanya kepada Jibril, ‘Wahai Jibril, apa yang difirmankan Tuhan?’ Jibril menjawab: ‘Kebenaran’. Dan mereka mengulang kalimat itu.”

***

Bagi Ibn Hanbal, hadis di atas menunjukkan bahwa Tuhan mengucapkan kalam-Nya yang bukan makhluk dalam bahasa Arab, dan Jibril mendengarnya kemudian menyampaikannya kepada Nabi. Menariknya, kalangan teolog Asy‘ariyah memahami hadis yang sama untuk mendukung pandangan mereka bahwa kalam Allah tidak berbentuk bunyi. Terbukti, kata mereka, para penghuni langit tidak bisa mendengarkan kalam Tuhan, melainkan hanya deringan suara rantai yang diseret.

Baca Juga  Kritik Keras Huseyn al-Zahaby atas Tafsir Fath al-Qadir

Di samping karena faktor politik, penyandarannya pada tradisi secara ketat menjadikan pandangan Ibn Hanbal begitu populer dan berpengaruh. Faktor politik yang dimaksud ialah kegagalan inkuisisi (mihnah) untuk menjadikan doktrin Mu’tazilah sebagai “asas tunggal” negara, sehingga memunculkan Ibn Hanbal sebagai pahlawan yang diglorifikasi oleh massa oposisi, terlepas dari aliran teologis yang mereka anut. Kredo Ibn Hanbal pun dipersepsikan sebagai simbol tradisionalisme Islam.

Sejumlah pengikut dan simpatisan Ibn Hanbal gencar mendakwahkan doktrin Hanbalisme. Generasi kedua pendukung Ibn Hanbal, seperti Ibn Baththah al-‘Ukbari, mengusung argumen yang persis seperti dikembangkan tokoh idolanya. Yakni, mengidentikkan al-Qur’an dengan kalam Allah. Dari generasi berikutnya, Ibn Hazm mengembangkan gagasan Ibn Hanbal lebih jauh, dengan mengatakan bahwa bukan hanya konten al-Qur’an tergolong kalam Allah, bahkan suara manusia yang membacakan ayat-ayat al-Qur’an pun termasuk kalam Allah.

Di sini tampak muncul dilemma. Di satu sisi, teolog Hanabilah meyakini kalam Tuhan tak boleh disamakan atau diserupakan dengan kalam makhluk-Nya. Namun, di sisi lain, mereka juga meyakini bahwa kalam Allah identik dengan lafaz dan bunyi al-Qur’an yang dibaca oleh manusia. Teolog Hanabilah di Baghdad abad ke-5/11 yang juga menjabat sebagai Qadi, Abu Ya‘la ibn al-Farra’ (w. 458/1066), menyadari dilemma tersebut, namun dia memilih condong pada yang kedua. Baginya, kalam Allah yang azali memang terdiri dari huruf dan bunyi, serupa dengan huruf dan bunyi yang dibuat manusia.

***

Faktor lain yang bersifat tidak langsung yang menyebabkan kredo Ibn Hanbal atraktif bagi khalayak umum ialah apa yang bisa kita sebut “skripturalisasi” yang dikembangkan oleh Syafi‘i, pendiri mazhab fikih Syafi‘i. Disebut “faktor tidak langsung” karena argumen-argumen Syafi‘i sebenarnya banyak berbeda dari Ibn Hanbal. Namun, gagasan “skripturalisasi” Syafi‘i membantu mengokohkan atau memberi fondasi kredo Ibn Hanbal sehingga tampak dapat diterima massa yang luas. Sebenarnya proyek Syafi‘i dimaksudkan untuk membentengi hukum Islam agar sepenuhnya bersandar pada sumber-sumber yang dianggapnya legitimat, namun punya implikasi besar pada persoalan teologis, termasuk soal natur al-Qur’an.

Bagi Syafi‘i, al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam tak bisa dipisahkan dari hadis. Sebab, yang disebut terakhir (hadis) juga merupakan sumber legitimat karena ditegaskan oleh sumber pertama (al-Qur’an). Dengan argumen ini, Syafi‘i bukan hanya berhasil mengintegralkan hadis ke dalam suatu postulat “sumber-sumber utama” hukum Islam, namun juga mengangkat status hadis sebagai wahyu. Syafi‘i memperkenalkan apa yang bisa kita sebut “wahyu kembar” (twin revelation). Yakni, wahyu dalam bentuk al-Qur’an dan wahyu dalam bentuk hadis.

Untuk mendukung argumennya, Syafi‘i menyebut sejumlah ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti Q 3:31, 132; 4:64, 80; 8:20 dan 59:7. Menurut Syafi‘i, taat kepada Allah berarti mengikuti al-Qur’an, dan taat kepada Rasul berarti mengikuti hadis. Syafi‘i juga memaknai kata “hikmah” dalam al-Qur’an sebagai referensi pada “hadis.” Sehingga beberapa ayat yang menyejajarkan “al-kitab” dengan “al-hikmah” dimaknai oleh Syafi‘i sebagai kesejajaran antara al-Qur’an dan hadis. Seperti kita tahu, beberapa ayat menyebutkan bahwa Tuhan mengutus seorang Rasul untuk mengajarkan “al-kitab” dan “al-hikmah.” Syafi‘i mengutip ayat-ayat seperti Q 2:129, 151, 231; 3:164; 4:113; 33:34 dan 62:2. Tentu, pengutipan Syafi‘i ini bersifat selektif, karena ada ayat-ayat lain yang menyebutkan nabi Isa dan keturunan nabi Ibrahim juga mengajarkan atau menerima “al-kitab” dan “al-hikmah,” seperti Q 3:48 dan 4:54.

***

Ada dua implikasi penting konsep “wahyu kembar” Syafi‘i terhadap diskursus teologi soal natur al-Qur’an yang membantu mengonsolidasi kredo Ibn Hanbal. Pertama, jika al-Qur’an dan hadis adalah wahyu, lalu apa yang membedakan antara keduanya? Perbedaannya terletak pada: Yang pertama adalah wahyu yang bersifat langsung, dan yang kedua tidak langsung. Artinya, jika wahyu dalam hadis itu mengambil bentuk makna yang diungkapkan oleh Nabi dengan lafaz-lafaznya sendiri, maka wahyu dalam al-Qur’an mengambil bentuk makna dan lafaz sekaligus (karena langsung dari Tuhan).

Implikasi kedua, yang dikembangkan oleh para pengikut Syafi‘iyah, ialah berkembangnya kategori “wahyu yang dibacakan” (matluw) dan “wahyu yang tidak dibacakan” (ghayr matluw). Wahyu yang dibacakan merujuk pada al-Qur’an, dan wahyu yang tidak dibacakan merujuk pada selain al-Qur’an, yakni hadis. Dua ketegori ini ternyata begitu luas digunakan oleh generasi Muslim pasca Syafi‘i, yang memperlihatkan betapa besar pengaruh “wahyu kembar” yang diperkenalkannya. Memang, Syafi‘i dan para pengikutnya bergerak ke ranah hukum/fikih, namun pengaruhnya pada ortodoksifikasi paham tradisionalis al-Qur’an tak boleh dipandang sebelah mata.

Nah, di luar diskursus teologis klasik di atas, apa yang bisa dipelajari dari teks-teks al-Qur’an sendiri? Apakah al-Qur’an menjustifikasi pandangan bahwa ia sepenuhnya kalam Allah dan sepenuhnya perkataan Nabi? Pertanyaan ini akan didiskusikan di bagian akhir tulisan ini.

Wahyu Turun ke Hati, Diungkapkan oleh Nabi

Berbagai pandangan teologis tentang kalam Allah dan al-Qur’an, sebagaimana didiskusikan di atas, dapat kita jadikan sebagai “something to think with” untuk memahami data-data al-Qur’an sendiri. Memahami data-data al-Qur’an dalam kategorinya sendiri menjadi penting dilakukan, karena perdebatan di kalangan mutakallimun kerap bermuara pada argumen rasional yang – dalam banyak hal – cenderung mengabaikan argumen skriptural (argumen berbasis kitab suci). Padahal, pada hakikatnya, yang mereka perdebatkan adalah natur kitab suci itu sendiri.  

Untuk menunjukkan bahwa, dalam perspektif al-Qur’an sendiri (tentu, dalam pembacaan saya), wahyu yang disampaikan kepada Nabi itu bersifat non-verbal (bukan ucapan atau ungkapan [‘ibarat]) dan peran Nabi memverbalkannya dengan lafaz dan bunyi, saya akan menganalisis data-data al-Qur’an dalam tiga segmen. Pertama, data-data al-Qur’an menunjukkan bahwa kata “wahy” dan berbagai derivasinya merujuk pada pewahyuan yang non-verbal. Kedua, kitab transenden yang ada di langit (atau, dalam bahasa para mutakallimun: kalam Allah) tidak diidentik dengan al-Qur’an yang ada di bumi. Ketiga, proses pewahyuan dan peran Nabi memverbalkan wahyu.

Kata “awha” (mewahyukan) dan “wahy” (wahyu) muncul 78 kali dalam al-Qur’an; 18 kali di antaranya menyebutkan bahwa Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dengan obyek yang diwahyukan adalah al-Qur’an yang berbahasa Arab. Dalam ayat-ayat lain, pihak yang diberi wahyu adalah figur-figur sebelum Nabi, baik mereka yang digolongkan Nabi atau bukan. Bahkan, al-Qur’an juga menyebut Tuhan memberikan wahyu kepada binatang, seperti lebah, atau benda mati, seperti bumi. (Jangan salah dipahami saya membandingkan wahyu kepada para Nabi dan wahyu kepada binatang. Saya hanya menyuguhkan data-data al-Qur’an sebelum menganalisisnya.)

***

Dari data-data al-Qur’an tentang kata “wahy,” kita tidak mendapatkan kesan bahwa wahyu yang diberikan kepada makhluk-Nya tersebut bersifat verbal. Bisa dipastikan, wahyu yang disampaikan kepada binatang dan benda mati tidak bersifat verbal. Dalam Q 99:5, Tuhan memerintahkan bumi dengan wahyu (awha), dan memerintahkan langit dengan wahyu (41:12). Sementara itu, dalam Q 16:68, Tuhan memerintahkan lebah dengan wahyu untuk membangun sarang di gunung. Perintah Ilahi yang disampaikan kepada makhluk-Nya (benda mati dan binatang) dengan wahyu tersebut jelas tidak bersifat verbal.

Bagaimana dengan wahyu yang disampaikan kepada figur-figur sebelum Nabi Muhammad? Dalam Q 20:38, Tuhan memerintahkan ibunda Musa dengan wahyu supaya meletakkan bayinya (Musa) ke dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai. Kita tak dapat membayangkan ibunda Musa mendengar wahyu langsung dengan telinganya. Artinya, wahyu yang datang kepadanya tidak bersifat verbal. Al-Qur’an juga menyebutkan para Nabi, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, dan lainnya, menerima wahyu. Misalnya, Tuhan memerintahkan Musa dengan wahyu supaya melemparkan tongkat untuk mengalahkan para pesulap (Q 7:117); supaya memukul batu dengan tongkatnya (7:160); supaya pergi pada malam hari dan memukul untuk memecah laut (20:77). Yang dapat kita pahami dari ayat-ayat di atas ialah Tuhan memberi Musa wahyu untuk bertindak, bukan wahyu yang didektikan. Dengan kata lain, Tuhan menginspirasi Musa untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.

***

Jika bentuk wahyu kepada nabi-nabi sebelumnya tidak berbentuk komunikasi verbal, apakah wahyu kepada Nabi Muhammad berbeda? Dalam Q 4:163 disebutkan: “Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Zabur kepada Dawud.” Ayat di atas jelas menjawab: Tidak! Tuhan mewahyukan kepada Nabi sebagaimana Ia mewahyukan kepada nabi-nabi sebelumnya. Wahyu yang bersifat non-verbal yang diterima nabi-nabi sebelumnya juga berlaku untuk Nabi Muhammad sendiri. Nabi berkata hanya mengikuti apa yang diperintahkan kepadanya melalui wahyu (i.e., Q 6:50; 7:203; 10:109).

Sekarang, bagaimana dengan ayat-ayat yang menyebutkan Nabi menerima wahyu dalam bentuk al-Qur’an (seharusnya “qur’an” dengan huruf “q” kecil untuk merefleksikan “qur’an” sebelum menjadi mushaf Qur’an yang ada sekarang)? Sembari menekankan fungsi Nabi sebagai pemberi peringatan (nadzir), al-Qur’an menyebut Nabi menerima qur’an yang diwahyukan kepadanya (Q 6:19; 42:7). Juga, disebutkan, Nabi diperintahkan menilawah apa yang telah diwahyukan kepadanya (Q 13:30; 29:45). Secara keseluruhan, ayat-ayat tersebut menegaskan tentang “qur’an” yang diwahyukan kepada Nabi.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memulai dengan data al-Qur’an segmen kedua: perbedaan antara “qur’an” atau “kitab” yang tersimpan di langit dan al-Qur’an yang ada di bumi. Kitab di langit jelas tidak dapat diakses oleh manusia, dan karenanya bisa disebut “kitab transenden.” Tentu, terlalu naif kalau kita membayangkan kitab transenden sebagai tulisan di antara dua sampul (buku), seperti mushaf al-Qur’an yang kita miliki sekarang.

Baca Juga  Enam Ciri Tafsir Abad Pertengahan
***

Seperti disinggung di awal, penggunaan kata “kitab” atau “kitab Allah” dalam al-Qur’an untuk merujuk pada kitab transenden jauh lebih dominan (sekitar 255 kali) dibandingkan kata “kalam Allah.” Kitab transenden ini disebut dengan berbagai istilah, seperti “lauh mahfuz”, “kitab maknun”, “kitab mubin”, “kitab hakim” atau “kitab” saja. Karena kemunculannya yang cukup banyak, sulit membuat analisis koheren tentang ayat-ayat di mana kata “kitab” muncul. Jikapun kita perlu membuat semacam pemahaman konseptual apa itu “kitab transenden” untuk membedakannya dari al-Qur’an, maka yang menyatukan makna konseptual “kitab” dalam berbagai ayat ialah statusnya sebagai ketetapan atau ketentuan Ilahi.

Hal ini bisa dipahami, sebab kata “kutiba” (yang umum diartikan “ditulis”) seringkali digunakan al-Qur’an dalam makna “ditetapkan.” Misalnya, ayat tentang kewajiban puasa di bulan Ramadan menyebut “kutiba ‘alaikum al-shiyam” (Q 2:183) yang berarti “telah ditetapkan kepadamu puasa.” Ayat tentang perang berbunyi “kutiba ‘alaikum al-qital” (Q 2:116) (telah ditetapkan bagimu berperang), ayat tentang qisas “kutiba ‘alaikum al-qisas” (Q 2:178) (telah ditetapkan kepadamu qisas).

Dari data-data al-Qur’an dapat diperoleh suatu kesan kuat bahwa kitab transenden berisi ketetapan-ketetapan Tuhan yang bersifat azali, dan karenanya harus dibedakan dari al-Qur’an atau kitab suci yang dimiliki umat-umat sebelumnya yang ditulis dalam bahasa berbeda. Karena itu, ketika al-Qur’an menyebut Tuhan menurunkan atau memberikan “kitab” kepada nabi Muhammad tak dapat dipahami sebagai tulisan dalam dua sampul, melainkan ketetapan-ketetapan Ilahi. Sebab, sederhananya, “kitab” yang diwahyukan kepada Nabi di zamannya belum berbentuk mushaf al-Qur’an, sebagaimana kita lihat saat ini, yang terdiri dari tulisan di antara dua sampul.

***

Jika penjelasan ini dapat diterima, maka kitab transenden dapat dikatakan sumber dari al-Qur’an. Perlu segera ditambahkan di sini, sumber adalah satu hal, dan identik adalah hal lain. Artinya, sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nanti, al-Qur’an memang bersumber dari kitab transenden, tapi tidak berarti keduanya identik. Sebab, al-Qur’an merupakan bentuk verbalisasi kitab transenden, yakni wahyu atau ketetapan Ilahi yang non-verbal. Sebagai ketetapan Ilahi, kitab transenden tidak terbatas pada apa yang diverbalkan dalam al-Qur’an. Karena itu, kita temukan ayat-ayat seperti:

Tidakkah engkau tahu bahwa Tuhan mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah kitab (Q 22:70)
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab sebelum Kami mewujudkannya (Q 57:22)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa semua ketentuan Ilahi terkait apa yang ada di langit dan bumi, bahkan bencana yang menimpa bumi, tercatat dalam kitab transenden. Sebagian ketentuan Ilahi dalam kitab transenden itu dikomunikasikan kepada umat manusia melalui Kitab-Kitab Suci, baik itu al-Qur’an maupun Kitab Suci umat sebelumnya. Juga perlu dicatat, beberapa ayat secara jelas membedakan antara kitab transenden dan qur’an yang diturunkan kepada Nabi. Misalnya,

Itu adalah ayat-ayat kitab yang jelas (kitab mubin). Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai qur’an berbahasa Arab (qur’anan ‘arabiyyan), agar kamu mengerti (Q 12:1-2)
Itu adalah ayat-ayat kitab dan qur’an yang jelas (Q 15:1)
Itu adalah ayat-ayat qur’an dan kitab yang jelas (Q 27:1)

***

Dalam pemahaman tradisional (terutama dalam kitab-kitab tafsir), kata “kitab” dan “qur’an” yang disebutkan secara bersamaan di atas dianggap merujuk pada al-Qur’an yang ada sekarang. Artinya, bagi mereka, al-Qur’an identik dengan kitab transenden. Suatu pemahaman yang bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri bahwa Tuhan tidak akan menyebutkan sesuatu secara sia-sia. Ketika kata” kitab” dan “qur’an” disebutkan secara bersamaan atau terpisah pastilah punya makna tersendiri. Pemahaman tradisional yang mengidentikkan al-Qur’an dengan kitab transenden menjadikan mereka menafsirkan kata “tilka” (yang berarti “itu”) dalam ayat-ayat di atas sebagai bermakna “ini.” Maka, bagian awal dari ayat-ayat tersebut biasanya diterjemahkan “Ini adalah ayat-ayat”, bukan “itu adalah ayat-ayat.” Bagi mereka yang membedakan antara al-Qur’an dan kitab transenden, maka kata “tilka” yang menunjuk pada kitab transenden harus diterjemahkan “itu.”

Setelah distingsi antara kitab transenden dan al-Qur’an dapat dibuktikan, maka kita sekarang dapat membuktikan data-data al-Qur’an ketiga yang menunjukkan peran Nabi memverbalkan kitab transenden atau wahyu yang non-verbal itu. Data-data ini terkait proses pewahyuan atau diturunkannya kitab transenden kepada Nabi. Selain kata “awha” yang sudah didiskusikan di atas, al-Qur’an menggunakan kosakata “anzala” atau “nazzala,” yang secara literlek berarti “menurunkan.” Apa perbedaan simantik antara “nazala”, “anzala”, dan “nazzala,” tapi tidak relevan untuk diulas dalam tulisan ini.

Kata “anzala”,” nazzala” dan “tanzil” muncul sekitar 266 kali dalam al-Qur’an. Bukan hanya terkait proses penurunan al-Qur’an, melainkan juga merujuk pada banyak obyek. Misalnya, Tuhan menurunkan “hujan/air” dari langit, atau menurunkan “hidangan” (ma’idah) atau “rizki”, dan seterusnya. Selain al-Qur’an dan kitab, Tuhan juga menurunkan dzikr. Dari berbagai ayat di mana kata “anzala” atau “nazzala” muncul, yang menjadi penekanan adalah kekuasaan Tuhan untuk menurunkan apapun sesuai kehendak-Nya.

***

Dalam kaitan ini, sebenarnya tidak begitu relevan apakah yang menjadi perantara proses penurunan al-Qur’an adalah malaikat Jibril atau al-ruh al-amin atau Tuhan sendiri. Apalagi soal siapakah itu al-ruh al-amin. Sebab, dalam perspektif al-Qur’an, siapapun utusan-Nya, semua itu terjadi karena kekuasaan Tuhan.

Yang relevan didiskusikan di sini ialah bahwa Tuhan menurunkan al-Qur’an ke dalam hati Nabi Muhammad. Dalam dua ayat (Q 2:97; 26:193-194), Jibril dan al-ruh al-amin membawa wahyu ke dalam hati nabi (‘ala qalbika). Tentu saja, wahyu yang masuk ke dalam hati Nabi bersifat non-verbal. Dan dua ayat itu pulalah yang dijadikan basis skriptural oleh Fazlur Rahman untuk berargumen bahwa lafaz-lafaz al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad sendiri. Argumen Rahman dapat dijustifikasi, sebab jika wahyu non-verbal disampaikan ke dalam hati Nabi, maka implikasi logisnya adalah Nabi sendiri yang memverbalkan wahyu yang diterimanya itu.

Dua ayat itu juga dapat menjadi penjelasan bentuk interaksi “utusan” Tuhan yang menyampaikan wahyu kepada Nabi, sebagaimana disebutkan dalam Q 42:51, sebuah ayat tentang cara penyampaian wahyu yang sudah diulas oleh banyak ulama dan sarjana.

Bukti lain bahwa Nabi memverbalkan wahyu non-verbal atau kitab transenden yang diwahyukan kepadanya adalah sejumlah ayat yang menegaskan bahwa kitab transenden “dijelaskan” (fushshilat) dalam “qur’an” yang berbahasa Arab. Misalnya, ayat yang berbunyi: “Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, qur’an dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (Q 41:3). Ayat ini memperlihatkan bagaimana kitab transenden dikomunikasikan kepada manusia di bumi. Yakni, dijelaskan sehingga menjadi “qur’an” yang berbahasa Arab. Di tempat lain disebutkan, “Demi kitab yang jelas. Kami menjadikan qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti” (Q 43:2-3). Sejumlah ayat lain meneguhkan bagaimana kitab transenden itu dijelaskan (fushshilat) atau diuraikan (mufashshal), misalnya Q 6:114; 7:52; 10:37; 11:1; dan 12:111.

***

Pertanyaan yang tersisa, siapa yang menjelaskan atau menguraikan kitab transenden? Hanya ada dua opsi: (1) “Utusan” yang dikirim Tuhan untuk menyampaikannya kepada Nabi, atau (2) Nabi sendiri. Dua opsi itu dianut oleh sebagian ulama-ulama klasik sebagaimana diriwayatkan oleh Zarkasyi dan Suyuti. Hemat saya, opsi pertama dengan sendiri runtuh karena adanya ayat-ayat yang menyebutkan bahwa “utusan Tuhan” itu menyampaikannya ke dalam hati Nabi. Artinya, yang disampaikan adalah wahyu yang non-verbal, sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Argumen lain kenapa opsi pertama tidak dapat dipertahankan adalah karena dalam banyak sekali ayat Tuhan mewahyukan kalam-Nya (awha) langsung kepada Nabi, tanpa perantaraan. Dengan demikian, opsi yang tersisa ialah Nabi-lah yang menguraikan wahyu non-verbal dengan lafaz-lafaznya sendiri.

Beberapa riwayat hadis juga menguatkan pandangan bahwa, setidaknya, sebagian wahyu diterima Nabi sebagai komunikasi non-verbal. Misalnya, diriwayatkan oleh Malik ibn Anas dalam al-Muwaththa’ bahwa al-Harits ibn Hisyam bertanya kepada Nabi: “Bagaimana wahyu disampaikan kepada njenengan?” Nabi bersabda: “Dang-kadang saya terima seperti deringan lonceng dan inilah yang paling berat. Bunyi itu kemudian lenyap, tapi saya dapat memahami apa yang dikatakan. Dang-kadang malaikat datang dalam wujud laki-laki dan ia bicara pada saya, dan saya ingat apa yang dia katakan.” ‘A’isyah berkata: “Saya pernah melihatnya [wahyu] turun kepadanya [Nabi] pada suatu hari yang ingin. Ketika ia pergi darinya, dahinya [Nabi] bercucuran keringat.” Menurut hadis ini, ada kalanya Nabi menerima wahyu non-verbal, hanya berupa bunyi bel/lonceng. Nabi memahaminya dan memverbalkannya.

***

Sebagai penutup, saya berharap sudah berhasil memperlihatkan bahwa pandangan Rahman “al-Qur’an seratus persen firman Tuhan dan seratus persen perkataan Nabi” dapat dijustifikasi melalui data-data al-Qur’an sendiri. Saya juga berharap telah berhasil memberikan pendasaran argumentasi yang lebih kokoh dibanding yang dikatakan Rahman sendiri. Pada spektrum yang lain, saya berharap berhasil memperlihatkan bahwa Rahman salah ketika mengatakan “indeed, all medieval thought” (seluruh pemikiran abad pertengahan) tidak menyetujui apa yang dia gagas. Seperti ditunjukkan dalam tulisan ini, pandangan bahwa lafaz al-Qur’an tidak berasal dari Tuhan diterima cukup luas di kalangan mutakallimun abad pertengahan.

Lalu, kenapa sekarang pandangan semacam ini asing dan bahkan, mungkin, dianggap sesat? Rumput yang bergoyang pun tak akan mampu menjawab.

Mun'im Sirry
4 posts

About author
Mun’im Sirry is assistant professor of theology at Notre Dame University with additional responsibilities for the Contending Modernities research project. He earned his Ph.D. from the University of Chicago Divinity School (2012).
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds