Kalam

Tauhid Uluhiyah: Tuhan yang Berhak Disembah dengan Rahma

5 Mins read

Dalam ayat pertama surat al-Fatihah, Basmalah, nama ar-Rahman dan ar-Rahim menjadi keterangan sifat (na’t) dari Allah. Para ulama berbeda pendapat tentang sebutan Allah. Menurut al-Khalil, Allah merupakan nama diri yang tidak dibentuk dari kata yang lain.

Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa sebutan Allah merupakan kata bentukan. Kemudian yang terakhir ini pun berbeda tentang asal-usulnya.

Asal-usul Nama Allah

Ada yang menyatakan ia berasal dari kata ilah yang berarti sesembahan; kata aliha yang berarti kebingungan karena orang yang memahami Allah mengalami “kebingungan” dalam mengungkapkan pemahamannya dan kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya; dari kata wilah yang berarti kecintaan; dan kata laha-yaluhu-liyah yang berarti terhijab, tertutup.

Banyaknya kata yang dinyatakan menjadi asal ini menunjukkan kuatnya pandangan bahwa sebutan Allah merupakan bentukan dan kompleksitas penghayatan tentang Dia.

Dia disembah sekaligus dikagumi dan dicintai, tapi terus menjadi misteri bagi yang menyembah, mengagumi dan mencintai-Nya. Dalam penghayatan ini tidak jelas mana yang menjadi pengalaman pertama dan pusat dan mana yang kedua dan seterusnya yang menjadi ikutan.

Tetapi ayat ke-5 surat al-Fatihah menegaskan kepertamaan dan kepusatan penghayatan menyembah. Karena itu dalam teologi Islam kemudian Allah identik dengan Tuhan yang berhak disembah.

Berdasarkan asal-usul nama Allah ini, maka berarti ayat pertama dari surat al-Fatihah tersebut menunjukkan bahwa Dia menjadi Tuhan yang berhak disembah berdasarkan rahma. Dalam ayat lain makna ini tidak sekedar inferensial, tapi menjadi makna langsung sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat berikut:

Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Baqarah, 2: 163).

Tauhid Uluhiyah

Rahman dan Rahim dalam ayat itu dihubungkan dengan keesaan Allah Tuhan yang berhak disembah atau disebut tauhid uluhiyah. Masih berkaitan dengan keesaan, digambarkan pula pengingkaran kepercayaan bahwa Dia Yang Maha Rahman memiliki anak, bigetisme (19: 88, 91 dan 92, al-Anbiya’, 21: 26 dan az-Zukhruf, 43: 81).

Selain itu digambarkan penghayatan tentang ar-Rahman yang seharusnya diingat (al-Anbiya’, 21: 36), kepada-Nya dipanjatkan doa (al-Isra’, 17: 110), dan ditakuti (Yasin, 36: 11 dan Qaf, 50: 33). Juga dikisahkan menjadi tujuan nazar berpuasa dari Maryam (Maryam, 19: 26).

Dalam al-Qur’an juga disebutkan bahwa Tuhan Yang Berhak disembah Yang Maha Rahman atau konsep tauhid uluhiyah itu menjadi sesembahan para rasul:

Baca Juga  Tauhid Sosial, dari Tuhan untuk Manusia

Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul kami yang Telah kami utus sebelum kamu: “Adakah kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah?” (Q.S. az-Zukhruf, 43: 45).

Posisi sentral dalam hal ini ditempati oleh Nabi Ibrahim dengan dakwah perubahannya. Dalam dakwahnya dikisahkan bahwa dia berdialog dengan ayahnya dan menyarankan supaya tidak menyembah syetan yang dapat menyebabkannya mendapat hukuman dari Tuhan Yang Rahman (Maryam, 19: 44 – 45).

Dalam sejarah, sebagaimana disebutkan di depan, telah diketahui bahwa Nabi Ibrahim adalah pendakwah tauhid uluhiyah yang mempelopori agama etis. Agama yang mengajarkan Tuhan yang baik kepada manusia. Al-Qur’an tampaknya memberi kesaksian tentang hal itu melalui penyebutan Allah sebagai ar-Rahman yang dilakukannya itu dan melalui perubahan kurban yang dipersembahkan kepada-Nya yang dipeloporinya.

Makna Kurban

Dalam al-Qur’an Surat as-Shaffat, 37: 101-108 dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim diberi anugerah seorang putera yang sejak lama didambakannya. Beberapa waktu kemudian, melalui penglihatan batin (ru’ya/vision) dia mendapatkan wahyu yang memerintahkan untuk mengurbankan putera yang sangat dicintainya itu.

Dia tidak langsung melaksanakan perintah itu. Dia baru melaksanakannya setelah mendapatkan persetujuan dari putera belia yang akan dikurbankannya itu. Sesuai dengan perintah yang diterimanya, dia menjadikan puteranya sebagai kurban persembahan dengan menyembelihnya.

Pada waktu itu dia telah membaringkan puteranya untuk disembelih. Namun sebelum dia memotong leher anak berbakti itu, Allah yang telah mengetahui kesungguhan kedua orang bapak dan anak itu dalam melaksanakan perintah-Nya. Kemudian Allah memberitahukan bahwa perintah itu diberikan untuk menguji mereka.

Perbuatan mereka itu telah membuktikan kesungguhan dan kedalaman iman, sehingga mereka lulus dalam ujian kehidupan yang sangat berat itu. Dikisahkan Allah menghargai ketulusan mereka dan mengganti kurban dengan manusia dengan kurban dengan hewan.

Kisah yang disebutkan surat as-Shaffat itu menggambarkan kepeloporan Nabi Ibrahim dalam perubahan pelaksanaan kurban. Agama-agama yang ada pada zamannya umumnya merupakan agama-agama demonik yang mengajarkan kurban dengan manusia sebagai persembahan kepada dewa.

Dipercayai bahwa bila kurban itu tidak dipersembahkan, maka dewa akan murka dan menghukum manusia dengan menimpakan bencana. Seperti kering atau banjirnya sungai Nil, menurut kepercayaan agama Mesir Kuno. Dengan bimbingan Allah, Nabi Ibrahim mengubah ajaran kurban yang kejam ini. Pengubahan ini disimbolkan dengan perintah menyembelih putera yang diganti dengan hewan yang disebutkan dalam kisah al-Qur’an di atas.

Baca Juga  Kalam Modern sebagai Penengah atas Persoalan Ketuhanan dan Kemanusiaan

Ajaran kurban Nabi Ibrahim itu selanjutnya, sampai kedatangan Islam, terus dipraktekkan oleh bangsa yang menjadi keturunannya melalui Ismail (putera dari isteri keduanya, Hajar). Juga oleh bangsa Yahudi yang menjadi keturunannya melalui Ishaq (putera dari isteri pertamanya, Sarah).

Bangsa Arab mempraktekkan kurban hewan dengan menjadikan daging dan darahnya sebagai sajian (sesajen) yang diletakkan di atas berhala dan disiramkan ke badannya. Mereka beranggapan bahwa daging dan darah kurban itu akan diterima Tuhan.

Bangsa Yahudi di antaranya menjadikan lembu dan kambing sebagai kurban yang dibakar dan disebut sebagai kurban bakaran dengan peraturan dan upacara tertentu. Dalam Kitab Imamat ps. 1 disebutkan bahwa kurban bakaran itu suatu korban api-apian yang baunya menyenangkan bagi Tuhan.

Perubahan Status dan Fungsi Kurban

Islam yang datang kemudian tetap menerima kurban sebagai bagian dari ajaran agama bidang ibadah. Dalam S. al-Hajj, 22: 34-37, dijelaskan status dan fungsi kurban beserta semangat yang harus menyertainya.

Pertama-tama dalam ayat 34 dinyatakan bahwa penyembelihan hewan kurban itu merupakan ajaran universal yang ada dalam tiap-tiap agama. Ajaran itu ditetapkan supaya umat manusia mengingat asma Allah atas karunia berupa hewan ternak yang mereka terima.

Kemudian dalam ayat 36 dijelaskan bahwa sebagai bagian dari agama, kurban itu menjadi syiar yang mengandung kebaikan bagi umat Islam. Kebaikan yang disebutkan dalam ayat itu adalah dibagikannya daging kurban kepada orang-orang yang berhak. Di samping untuk dimakan sendiri oleh orang yang berkurban.

Terakhir dalam ayat 37 ditegaskan bahwa yang diterima Allah dari kurban sembelihan itu bukan daging dan darahnya. Melainkan ketakwaan dari umat Islam, yang dalam hal ini bisa berarti orang yang memberikan kurban dan orang yang mengurus atau panitianya.

Dengan demikian, lewat konsep tauhid uluhiyah, Islam telah melakukan rasionalisasi kurban dengan melakukan demitologisasi dan fungsionalisasi terhadapnya. Dengan tauhid uluhiyah pula, Islam melakukan demitologisasi dengan membantah mitos bangsa Arab bahwa Tuhan menginginkan daging dan darah kurban dan mitos kaum Yahudi yang mempercayai bahwa Tuhan senang akan bau kurban yang dibakar.

Baca Juga  Ibnu Rusyd: Kritik atas Metode Kalam Para Mutakkalimin

Islam Agama Rasional

Islam membantahnya dengan menyatakan bahwa semua yang dipercayai dalam mitos itu tidak benar. Karena yang diterima atau sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaan dari orang yang berkurban atau mengurus kurban.

Selanjutnya Islam melakukan fungsionalisasi dengan menjelaskan fungsi kurban sebagai syiar agama yang mengandung kebaikan. Kurban memiliki fungsi spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ketakwaan dan mengingat karunia-Nya (zikr).

Selain itu terdapat fungsi sosial menjadi jembatan integrasi dan solidaritas masyarakat. Dengan pembagian kurban yang telah disembelih kepada orang-orang yang berhak. Baik yang secara terus terang meminta bagian (al-mu’tarr) maupun tidak (al-qani’).

Ajaran kurban ini merupakan salah satu bukti bahwa Allah yang berhak disembah itu sifat dasar-Nya adalah rahma. Memberikan kebaikan yang sangat banyak dengan kapasitas-Nya itu.

Ketuhanan rahma ini pun terlembaga dalam doktrin dan sejarah Islam awal, sehingga ia menjadi agama rasional. Dalam pengertian sebagai agama yang memenuhi standar rasionalitas dan kebutuhan-kebutuhan rasional dari umat manusia pada  umumnya dan umat Islam pada khususnya. Nabi dan generasi awal kaum Muslimin sangat memahami dan menghayati hakekat ini. Sehingga mereka dapat mengambil langkah- langkah besar dalam sejarah untuk membangun peradaban.

The Miracle of Religion

Dengan pertimbangan rasional Nabi memilih hijrah untuk mengembangkan dakwahnya sehingga akhirnya bisa membangun negara kota Madinah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perkembangan Islam yang didakwahkannya, seandainya beliau bertahan di Mekah. Dengan kekuatan kecil nekat melawan kaum Musyrikin yang menindas dan ingin menghancurkannya.

Dengan pertimbangan rasional pula sahabat Umar bin Khattab mengusulkan kodifikasi al- Qur’an. Bisa disetujui oleh Khalifah Abu Bakar dan kemudian disempurnakan oleh Khalifah Usman bin Affan, sehingga umat Islam dapat memiliki al-Mushaf al-Imam. Mushaf standar (volgatus) yang menyatukan bacaan Qur’an mereka.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana perpecahan kaum Muslimin, seandainya langkah besar itu tidak diambil. Kemudian berdasarkan pertimbangan rasional pula umat Islam pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Mengambilnya terutama dari kebudayaan Yunani, sehingga mereka bisa membangun peradaban dengan beberapa pusat kemajuan. Mengundang kekaguman dan dalam sejarah disebut sebagai the miracle of religion (keajaiban agama).

28 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Kalam

Inilah Tujuh Doktrin Pokok Teologi Asy’ariyah

3 Mins read
Teologi Asy’ariyah dalam sejarah kalam merupakan sintesis antara teologi rasional, dalam hal ini adalah Mu’tazilah serta teologi Puritan yaitu Mazhab Ahl- Hadits….
Kalam

Lima Doktrin Pokok Teologi Mu’tazilah

4 Mins read
Mu’tazilah sebagai salah satu teologi Islam memiliki lima doktrin pokok (Al-Ushul al-Khamsah) yaitu; at-Tauhid (Pengesaan Tuhan), al-Adl (Keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’id…
Kalam

Asal Usul Ahlussunnah Wal Jama'ah

2 Mins read
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan pemahaman tentang aqidah yang berpedoman pada Sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ahlussunnah Wal Jama’ah berasal dari tiga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds