Perspektif

Benarkah Imam Syafi’i Mengharamkan Ilmu Kalam?

4 Mins read

Ada satu poin yang sedari awal harus disetujui. Yaitu, Kalam adalah disiplin ilmu yang baru ada pasca generasi sahabat Nabi. Ia sama halnya dengan sejumlah ilmu yang tercetus setelah Islam berkembang seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh dsb.

Karenanya, alasan ilmu kalam tidak ada pada masa sahabat tidaklah bisa dijadikan sandaran untuk menolaknya. Sebab jika demikian, ilmu lainnya pun patut untuk ditolak.

Nah, ketika kealpaan kalam di masa sahabat tidak mampu dijadikan sandaran penolakan, sejumlah orang berusaha bertameng di balik pendapat ulama Tabi’in. Salah satunya adalah Imam Al-Syafi’i. Meskipun harus diakui bahwa di sana ada sejumlah riwayat Imam Syafi’i tentang ilmu kalam yang mengarah kepada penolakan. Misalnya saja:

Dari Yunus bin Abdil A’la setelah ia (imam Syafi’i) berdebat dalam ilmu ushul dengan Hafsh al-Fard, Ia pun berkata: “Engkau tidak hadir wahai Abu Musa; aku telah menelaah dari pakar Kalam sesuatu yang tidak pernah aku duga sama sekali, dan sungguh seseorang diuji dengan semua yang dilarang oleh Allah –kecuali syirik—lebih baik daripada ia diuji dengan ilmu kalam”

Dari Abi Tsaur berkata, “tulislah sesuatu dalam ilmu kalam!” Imam Syafi’I berkata: “Barang siapa yang mendalami ilmu kalam tidak akan beruntung”

Dari Rabi bin Sulaiman bahwasanya Imam Syafi’I berkata: “Hindarilah berdebat dalam ilmu kalam, sebab sesungguhnya seseorang itu apabila ditanya dalam permasalahan fikih, kemudian ia tersilap, maka paling tidak ia akan ditertawakan, akan tetapi jika ia ditanya dalam ilmu kalam, kemudian salah maka ia akan dicap sebagai Bid’ah”

Dan masih ada lagi.

Apakah Semua Ilmu Kalam Ditolak oleh Imam Syafi’i?

Yang menjadi pertanyaan: apakah penolakan ini bersifat general dalam arti semua ilmu kalam harus ditolak? Atau ilmu kalam yang ditolak bersifat khusus?

Baca Juga  Pemikiran Kalam Imam Syafi'i: Kritis terhadap Mutakallim

Sebelum menjawabnya, saya hendak memberikan fakta menarik yang dipaparkan Imam Fakhruddin Ar-Razi. Menurutnya sejumlah riwayat dari Al-Syafi’i tersebut ternyata tidak hanya dipakai untuk menolak Kalam.

Lebih dari itu, riwayat tersebut juga “digoreng” dan dimanfaatkan oleh sebuah kelompok untuk menjatuhkan al-Syafi’i. Bahkan, lewat riwayat ini, mereka menyatakan bahwa tidak pantas bagi seorang Syafi’i menjadi seorang muslim apalagi mujtahid. Alasannya remeh, yaitu karena Syafi’i mengecam ilmu kalam. Itu artinya ia tidak menguasainya. Dan itu artinya juga ia buta perihal Dzat Allah, sifat-Nya juga perihal kenabian.

Dalam istilah al-Razi, sang Imam seperti dihadapkan dua kubu ekstrem. Pertama, mereka yang hendak menjatuhkannya alih-alih memuji ilmu kalam yang agung.

Kedua, mereka yang hendak menjatuhkan dan menolak ilmu kalam alih-alih memuji dan mengikuti seorang ulama sekaliber Imam Al-Syafi’i (lihat Fakhruddin Ar-Razi, Manāqib Al-Imām Al-Syāfi’ī, hal. 102-103).

Karenanya, menurut Al-Razi, sudah sepantasnya kita menafsirkan perkataan Al-Syafi’i. Tujuannya agar terlepas dari dua kubu ini. Sebab mengeluarkan Imam Syafi’i dari Islam jelas salah. Begitupun dengan menolak bahkan mengharamkan Kalam.

Selain karena ilmu kalam adalah ilmu yang mulia, sejumlah riwayat turut menyebutkan bahwa imam Syafii telah menyinggung ilmu ini bahkan berdialog tentangnya.

Karenanya, sekali lagi, riwayat itu harus ditafsirkan. Setidaknya darinya kita mampu menjawab, apakah Imam Syafi’I mengecam ilmu kalam secara mutlak atau bagaimana?

Menafsirkan Perkataan Al-Syafi’i

Dalam Manaqib Al-Imam Al-Syafi’i, Al-Razi melakukan tiga penafsiran atas sejumlah riwayat sang imam.

Pertama, ini berkaitan dengan kondisi saat itu. Dimana terjadi fitnah besar disebabkan banyaknya orang yang bergelut dalam permasalahan Al-Qur’an. Para ahli bid’ah berusaha menolong para pemimpin dan enggan mendengar pendapat para ulama yang haqq.

Baca Juga  Asal Usul Ahlussunnah Wal Jama'ah

Nah, saat Imam Syafi’i mengetahui bahwasannya pembahasan ilmu ini pada saat itu bukan karena tujuan lillahi ta’ala akan tetapi karena dunia dan pemerintah, maka ia pun melarangnya. Menurutnya, bukan satu kesalahan jika meninggalkannya, berpaling darinya, dan mencela setiap yang bersinggungan dengannya.

Kedua, memaksudkan kalam yang dilarang olehnya. Yaitu Kalam yang dibawa oleh para ahli bid’ah dengan “tujuan” tidak benar. Penafsiran ini pernah dicontohkan oleh sejumlah ulama. Semisal, dalam permasalahan qiyas, sahabat dan tabi’in sepakat bahwa ia adalah hujjah dalam syariat. Kemudian muncul riwayat mutawatir bahwa sahabat dan tabi’in mencela qiyas. Menurut ahli fikih, celaan ini tertuju pada qiyas yang tidak tepat; yaitu qiyas yang menyelisihi nash. Adapun yang selaras maka tidak dilarang. Demikian juga dalam hal Kalam, bahwa kalam yang dicela Imam Syafi’i adalah kalam yang diperjuangkan oleh ahli bid’ah pada masanya.

Ketiga, agaknya mazhab yang dianut oleh Al-Syafi’i adalah: Mencukupkan dengan dalil-dalil yang tertera dalam Al-Qur’an, yang mana itu adalah wajib. Adapun menambah lebih dari itu, dan mendalami dalam hal-hal terperinci tidak boleh. Karena hal inilah ia mencela penuh mereka yang berusaha menyelami hal-hal terperinci dalam ilmu kalam.

Imam Syafi’I Tidak Mutlak Mengharamkan Kalam

Jika ingin diringkas Imam Al-Razi seakan ingin mengatakan, Al-Syafi’i tidaklah secara mutlak –sekali lagi secara mutlak—menolak ilmu kalam. Apalagi mengharamkannya. Hal ini pun dikuatkan dengan dua riwayat milik Al-Baihaqi, salah seorang ulama dan pakar dalam hadis.

Pertama, bahwasanya imam Syafi’i pernah mengajarkan bagaimana menjawab tuduhan seputar kalam kepada muridnya, yaitu Al-Muzani. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang sanadnya sampai ke Al-Muzani bahwasanya ia berkata:

“Terjadi perdebatan antara diriku dan seseorang. Ia bertanya kepadaku seputar kalam yang hampir membuatku ragu dalam agama. Kemudian aku datang kepada Al-Syafi’I, dan aku berkata kepadanya: Perkaranya begini dan begini. Ia pun berkata: permasalahan ini milik para mulhid (orang ateis) adapun jawaban atasnya adalah begini dan begini (lihat Yahya Hasyim Hasan, Nasy’atu Ilm al-Kalām fi Al-Islām, hal. 117).

Baca Juga  Kalung Anti Virus: Indonesia Anti Kepakaran?

Kedua, Ilmu Kalam yang dimaksud Imam Syafi’i adalah apa yang disuarakan oleh ahli bid’ah pada masanya, yaitu Muktazilah. Ibnu Asakir (w. 571 H) meriwayatkan dari Imam Baihaqi (w. 458 H):

“Hafs Al-Fard datang menemui Syafi’i, kemudian Ia berkata kepada kami, ‘Seorang hamba yang menemui Allah dengan membawa dosa sebesar Gunung Tuhamah masih lebih baik daripada meyakini adanya huruf (bagi kalamullah) yang diyakini lelaki ini dan kawan-kawannya. Hafs Al-Fard berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk’”.

Masih menurut Ibnu Asakir, ia mencatat:

“Al-Syafi’i telah menyentil Kalam yang ada pada Hafs al-Fard dan mendebatnya, demikian terhadap Kalam Ashab al-Ahwiyyah dan para pelaku bid’ah yang kotor… Adapun kalam yang selaras dengan Al-Qur’an dan sunnah yang menjelaskan hakiakt dasar agama saat munculnya fitnah maka ia sungguh terpuji menurut berbagai ulama dan siapapun yang mengetahuinya. Imam Syafi’i pun telah memperindah dan memahaminya. Pernah berdialog dengan lebih dari satu orang ahli bid’ah. Bahkan membungkam lawannya dengan sejumlah argument” (lihat Ibnu Asakir, Tabyīn Kadzib Al-Muftarī, hal. 235-241).

***

Dari sini jelas bahwa sejatinya Imam Al-Syafi’I dengan keagungannya tak pernah mencela ilmu kalam secara mutlak. Adapun yang dicela adalah yang menyimpang dari kitab dan sunah. Dalam konteks ini adalah Muktazilah. Karenanya kita perlu berlaku adil atas pendapat Imam Al-Syafi’i. Maka benarlah apa yang disampaikan Al-Razi bahwa riwayat Syafi’i perlu dibaca dengan teliti. Bukan dicomot seenaknya lalu menghakimi. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Bana Fatahillah
2 posts

About author
Alumni Al-Azhar Kairo, Guru di Pondok Pesantren At-Taqwa Depok
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds