Falsafah

Harun Nasution: Untuk Jadi Rasional, Jangan Jumud dalam Beragama!

3 Mins read

Dalam sejarahnya, Islam pada periode pertengahan mengalami suatu kemunduran. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya terus meningkatnya disintegrasi, kurangnya perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan karena mengakarnya pemikiran ulama yang bersifat dogmatis, ditambah perbedaan pendapat yang kian tebal di antara aliran teologi Sunni dan Syiah. Problematika ini disadari oleh sebagian umat muslim yang pada gilirannya menimbulkan kesadaran untuk merestrukturisasi sudut pandang keilmuan dalam konstruksi paham sekularisme Barat (Harun Nasution, 1998). Pemimpin-peminpin Islam ingin memodernisasi dunia Islam dogmatik dengan harapan umat muslim dapat meraih kembali masa kejayaanya di masa lalu.

Pembaruan Islam Harun Nasution

Di antara banyak tokoh pembaru Islam, salah satunya adalah Harun Nasution, seorang cendikiawan muslim kelahiran pulau Sumatra. Dia ahli dalam teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan radikal. Baik di dalam maupun di luar negeri, Harun Nasution merupakan sosok yang berwibawa dan disegani dalam disiplin keilmuannya.

Ide-ide dan gagasannya sering memantik dialektika dan bahkan tidak jarang menyulut perdebatan di beberapaa kalangan. Dalam konsep pembaruannya terhadap Islam, dia beranggapan telah terjadi suatu kesalahpahaman paradigmatik yang mengakibatkan dekadensi keilmuan dan kemunduran peradaban dalam dunia Islam itu sendiri. Terdapat suatu polarisasi yang nyata, antara agama dan sains, antara inklusivitas dan eksklusivitas, serta antara ulama moralis dan ulama progresif.

Kecanggungan agama dan sains sebenarnya merupakan isu kuno yang tidak pernah lekang dibahas sejak dahulu. Hal ini terjadi karena agama (Islam) selalu dibenturkan pada sains yang sangat cepat berkembang sehingga seakan-akan agama yang hidup dalam nilai-nilai kemanusiaan (norma) selalu diuji relevansinya dengan perkembangan zaman.

Puncaknya, agama dan sains dihadap-hadapkan seakan-akan orang harus memilih satu di antara keduanya. Apabila agama bisa berkompromi, artinya agama masih relevan dianut manusia. Namun jika tidak, pada tahap yang paling ekstrem, maka agama sudah tidak relevan untuk kehidupan manusia.

Baca Juga  Materialisme-Anti Materialisme Karl Marx dan Al-Ghazali

Terlepas dari pro-kontra mengenai tawaran konstruksi keislaman, jalan terjang perjuangan Harun Nasution dalam menggaungkan pembaruan Islam patut direnungkan kembali dewasa ini. Pasalnya, dia telah menawarkan suatu sistem keilmuan dan kurikulum pendidikan sebagai jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh umat muslim dunia.

Harun Nasution terbukti mampu mempertautkan agama dan sains pada porsi yang tepat. Sebagai akademisi, dia bisa menunjukkan adanya integrasi keilmuan dan keagamaan; di mana letak wahyu Tuhan yang sifatnya dogmatik dan konstruksi kebudayaan yang nisbi dan relatif sebagai hasil bacaan terhadap suatu teks/narasi dogma-dogma religiusitas.

Cita Peradaban Ciputat untuk Islam Dunia

Tawaran konsep pembaruan Islam oleh Harun Nasution telah melahirkan suatu formulasi pada sistem kurikulum pendidikan. Secara besar, grand design pembaruan itu bisa dilihat bagaimana dia membangun suatu paradigma integratif dalam membentuk muara pertemuan antara rumusan basis kesyariahan dengan kultur beragama dalam realitas pengetahuan dan kemanusiaan.

Harun Nasution tidak ubahnya para pembaru muslim yang lain, seperti Sayyed Husein Nasr, Sayyed Muhammad Nuqaib Al-Attas, dan Ismail Raji Al-Faruqi dengan konsep pembaruan Islamisasi Sains dan Islamisasi Ilmu (Rozi, Tafakkur Kauniyah, 2022).

Pertama, Harun Nasution menawarkan Islam yang humanistik-argumentatif dengan cara melepaskan tafsir tunggal dan otoritatif terhadap pesan Tuhan dalam Al-Qur’an. Harun Nasution menghadirkan kebugaran makna esetoris dengan nalar dekonstruksi teks ekstoris.

Selaras dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib, bahwa Al-Qur’an adalah ‘seribu wajah’ dari pesan Tuhan kepada umatnya. Itu bentuk otoritas manusia yang diberikan Tuhan untuk menemukan tanda-tanda keagungan-Nya. Maka, sudah seyogianya Al-Qur’an dilepaskan dari kecenderungan subjektif dan jeratan ideologis dengan terus menggali pesan Tuhan yang sakral dan universal, baik dengan hermeneutika historis, linguistik, filosofis, dan kontekstualis.

Baca Juga  Richard Rorty: Kritik Atas Epistemologi Filsafat Barat yang Kaku

Kedua, melepaskan hegemoni fiqhiyyah yang memunculkan kejumudan dalam beragama. Islam tidak boleh hanya dipahami dalam nalar normatif yang terkungkung dengan aturan-aturan belaka. Dengan ini, Islam hanya akan hadir dengan wajah yang dialektika-dikotomis di mata penganutnya. Doktrin religiusitas Islam tidak ubahnya imperatif otoritatif yang gersang dengan nilai moral filosofis dan nuansa hikmah-hikmah di baliknya. Di sinilah Harun Nasution mendobrak budaya feodalisme fiqihiyyah dengan tuntunan nalar ontis, epistimologis, dan aksiologis kelimuan yang integratif.

Pembaruan dalam Pendidikan

Dengan demikian, Harun Nasution berusaha memasukkan strategi pembelajaran yang   mengasah kemampuan pemikiran mahasiswa tentang Islam seperti diskusi dan seminar, menuntut mahasiswa menulis untuk menuangkan ide dan gagasannya baik secara lisan maupun oral, serta menuntut mahasiswa memahami Islam secara universal melalui integrasi atau multidisipliner keilmuan.

Konsep pembaruan itu pada masanya melahirkan kultur akademis yang mengakar kuat di lingkungan UIN Jakarta (Ciputat). Lahir suatu fikrah keilmuan dan harakah keislaman yang menjadi kiblat peradaban dan pengetahuan di Indonesia, seperti munculnya Mazhab Ciputat dengan resonansi Islam yang terbuka, rasional, dan kaffah.

Gagasan ini penting untuk digaungkan ulang dalam dinamika kekinian, utamanya di lingkungan UIN Jakarta atau Ciputat. Kita melihat UIN Jakarta telah mengalami pergeseran budaya pengetahuan, dari dulunya dengan nuansa kultur akademis yang berusaha dibangun oleh Harun Nasution bertranformasi pada budaya politis yang dipenuhi dengan arogansi struktural dan permusuhan elektoral. Antara yang satu dan yang lain saling menjatuhkan karena menuankan kekuasaan. Hanya segelintir komunitas yang tetap eksis dan konsisten mempertahankan budaya pengetahuan yang telah diciptakan oleh Harun Nasution di UIN Jakarta.

Di sinilah konsep Harun Nasution menuai relevansinya kembali untuk diimplementasikan ulang. kita tidak ingin kultur akademis yang dibangun oleh Harun Nasution harus melebur dalam dinamika politis yang berkepanjangan. Saat ini meja perkopian dipenuhi dengan taruhan dan konsolidasi, dan sudah jauh dari pergumulan diskusi.

Baca Juga  Posisi Akal dan Wahyu: antara Imam Al-Ghazali & Harun Nasution

Editor: Yahya

A. Fahrur Rozi
2 posts

About author
Mahasiswa Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds