Perspektif

Harun Nasution: Titik Temu antara Filsafat dan Tasawuf

3 Mins read

Harun Nasution I Wacana integrasi ilmu belakangan ini ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Integrasi ilmu sendiri muncul disebabkan adanya pemisahan antar disiplin ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum, ilmu syari’ah dan ilmu ghair syari’ah, ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah.

Adanya pemisahan masing-masing ilmu ternyata memunculkan permasalahan, salah satunya yaitu saling mempertentangkan antar keilmuan. Bahkan tak jarang saling menafikan dan menganggap keilmuan tertentu lah yang mengandung kebenaran sedangkan ilmu lain malah membawa kemunduran.

Fenomena para saintis modern sekuler yang menganggap rendah pengetahuan agama bahkan dirasa tidak perlu memasukan unsur agama dalam sains merupakan fenomena masalah yang bermula adanya pemisahan antar disiplin ilmu.

Upaya yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim ialah dengan mengadakan integrasi ilmu, maksudnya ialah upaya memadukan, menghubungkan, melengkapi, dan menyinergikan antar disiplin ilmu baik secara ontologi, epistemologi maupun aksiologi.

Salah satunya, Mulyadhi Kartanegara, Guru Besar Filsafat Islam dalam bukunya “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik” menganggap basis prinsip keilmuan Islam ialah tauhid sebagai pemersatu integrasi ilmu pengetahuan manusia (Kartanegara, 2005: 32).

Baik objek ilmu, sumber ilmu, metode ilmiah dan penjelasan ilmiah diarahkan kepada adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Adapun yang ditekankan Mulyadhi Kartanegara lebih kompleks, karena mencakup keseluruhan penyelidikan filsafat ilmu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Berbeda dengan Fazlur Rahman yang menekankan pada aspek aksiologis.

Lantas bagaimana kalau dalam pandangan Harun Nasution mengenai isu integrasi ilmu?

Sekilas Mengenal Harun Nasution

Lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada 23 September 1919. Perjalanan intelektualnya mulai dari pendidikan dasar Hollandsch-In-Landsche School kemudian lanjut pendidikan Islam modernis tingkat menengah Moderne Islamietische Kweekschool.

Desakan orang tua membuat ia meninggalkan sekolah tersebut dan pergi belajar ke Saudi Arabia kemudian Mesir yang dijajakinya. Di Mesir mengambil fakultas Ushuluddin Universtitas al-Azhar, karena tidak puas ia pindah ke Universitas Amerika (Kairo), menariknya di tempat belajar yang baru ini ia tidak mendalami Islam tapi ilmu-ilmu pendidikan dan sosial.

Baca Juga  Muhammadiyah dan NU Jangan Terpecah Gara-Gara "Salafi"

Sampai kemudian dia menjadi konsulat Indonesia Kairo dan ditarik ke Jakarta hingga ditempatkan sebagai sekretaris kedubes Indonesia di Brussel. Sekitar tahun 60-an dia mengundurkan diri dari karier diplomatiknya dan kembali ke Mesir. Kembalinya ke Mesir, ia semakin giat menggeluti studi Islam di bawah Abu Zahrah, ulama fikih Mesir terkemuka.

Bahkan ditawarkan untuk mengambil studi Islam di universitas McGill, Kanada. Gelar Doktor pun diraihnya dan akhirnya dia kembali ke Indonesia dengan membawa semangat pembaharuan Islam melalui IAIN pada saat itu. Jabatan rektor IAIN Jakarta ia dapatkan dan mempelopori sekolah pascasarjana studi Islam IAIN Jakarta dan menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Jakarta (Nasution, 1995: 5-6).

Momentum itulah dimana dia menggelorakan semangat pembaharuan Islam, khususnya di lingkungan IAIN Jakarta yang cenderung kepada ilmu syariat saja seperti fikih. Pengakuan Nucholish Madjid dengan adanya sosok Harun Nasution di IAIN menimbulkan gejala umum yakni keberanian orang berdiskusi secara terbuka dan berani mempertanyakan doktrin yang dianggap mapan.

Gagasan yang dibawanya ialah Islam Rasional yang tertuang dalam bukunya “Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution”. Salah satu pemikirannya, mengenai titik temu filsafat dan tasawuf yang akan dihubungkan dengan isu integrasi ilmu.

Integrasi Ilmu Filsafat dan Tasawuf

Harun sendiri tidak membahas Integrasi Ilmu secara khusus dalam bentuk sebuah buku, namun dalam buku Islam Rasional tertuang pemikirannya mengenai titik temu filsafat dan tasawuf. Perlu diketahui, upaya titik temu sendiri merupakan bagian dari integrasi ilmu, melihat adanya kesamaan antara disiplin ilmu yang berbeda.

Baginya, Islam mencakup seluruh keilmuan baik agama maupun umum, syariat dan ghair syariat, naqli dan aqli. Dalam bukunya ‘Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I dan II’, Harun memaparkan berbagai aspek dari Islam seperti aspek ibadat, latihan spiritual, ajaran moral, aspek sejarah dan kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisisme dan aspek pembaharuan dalam Islam.

Baca Juga  Setelah Dwiwindu Bom Bali (3): Partisipasi Kontraterorisme

Aspek pengetahuan sains dimasukkan kedalam aspek filsafat yang para tokohnya failasuf sekaligus ilmuwan. Cakupan yang luas mencerminkan Islam sebagai agama yang tidak kaku, tertutup, dan sempit.

***

Filsafat dan tasawuf dilihat sebagai dua disiplin ilmu yang berbeda, namun mengarah pada satu kebenaran yang sama, yaitu Tuhan. Hanya epistemik yang digunakan berbeda, filsafat dominan menggunakan akalnya dan tasawuf yang mengutamakan peran kalbu (hati).

Harun Nasution menekankan filsafat sebagai berpikir tentang wujud (realitas terdalam) secara intens dan radikal, bahkan melebihi dasarnya dengan lurus dan bebas. Sementara tasawuf lebih kepada mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan, bahkan lebih dekat dari itu sampai bisa mengalami persatuan dengan Tuhan (Nasution, 1995: 360).

Para sufi berusaha memusatkan kesadaran dirinya pada Tuhan sampai pada kehancuran kesadaran terhadap dirinya dan tinggal hanya kesadarannya pada Tuhan. Sehingga bisa kita dapatkan titik temu keduanya ialah sama-sama membahas dasar segala dasar.

Terlihat jika Harun menekankan pada aspek ontologi yang berbicara wujud terdalam.  Aspek tersebut merupakan dasar bangunan sebuah ilmu yang akan menentukan metodenya. Misalnya, sains modern yang kebanyakan orang menganggap hanya mengakui wujud fisik dan berimbas pada metode pengamatan indrawi.

Sedangkan sebuah ilmu mengakui wujud fisik maupun metafisik, maka metode yang digunakan lebih kompleks lagi seperti pengetahuan agama yang mengakui wujud dzahir dan gaib. Sehingga metode yang dianjurkan ialah pengamatan, penalaran, dan intuisi.

Filsafat tidak selamanya melulu dominan dengan akal, begitu pun tasawuf yang melulu menggunakan kalbunya. Baik filsafat maupun tasawuf sama-sama mendayagunakan akal dan hatinya apalagi indranya. Hal tersebut, membuat integrasi ilmu Harun tidak hanya menekankan aspek ontologi tetapi juga aspek epistemologinya dengan utuh. Seperti penjelasannya bahwa filsafat harus diartikan membahas dasar segala dasar, yakni Tuhan baik melalui akal maupun kalbu. Pengertian ini sudah mencakup filsafat dan tasawuf (Nasution, 1995: 362).

Baca Juga  Ada Apa Dengan "Radikalisme"?

Editor: Soleh

Akhmad Fawzi
11 posts

About author
UIN Jakarta/Fakultas Ushuluddin
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *