Falsafah

Rasionalisasi Kosmologi: Filsuf Islam Klasik vs Sains Modern

3 Mins read

Konsep Penciptaan Alam Menurut Al-Kindi

Begitu banyak pendapat mengenai konsep penciptaan alam, sebagai contoh, menurut tokoh filsuf Islam paripatetik, yang dipelopori oleh al-Kindi, berpendapat bahwa dalam persoalan penciptaan alam semesta, alam ini diciptakan dari suatu yang sudah ada (al-ijad min al-syai’). Kemudian mereka menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan Allah dan materi asal (al-hayula al-ula) (Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) 2014, 76).

Konsep Penciptaan Alam Menurut Suhrawardi al-Maqtul

Pada masa selanjutnya, mucullah filsafat iluminasi yang digagas oleh Suhrawardi al-Maqtul (549 H/1155 M). Filsafat iluminasi memberikan warna baru dalam pemikiran filsafat di dunia Islam.

Filsafat Suhrawardi menyatakan bahwa alam semesta secara keseluruhan merupakan sebuah proses penyinaran raksasa. Semua wujud yang ada bermula dari prinsip utama yang tunggal yang ia namai dengan nur al-qadhir, nur-anwar (Muhardi 2019, 59).

Konsep Penciptaan Alam Menurut Al-Farabi

Selanjutnya, menurut al-Farabi, Allah SWT menciptakan alam semesta melalui emanasi (pelimpahan). Maksud al-Farabi mengemukakan teori pelimpahan ini adalah supaya menghindarkan multidefenisi terhadap Allah SWT atau di sisi lain. Al-Farabi melakukan tauhidisasi. Ia ingin menyampaikan bahwa Allah SWT tidak perlu menciptakan alam semesta yang banyak dan plural ini. Apabila Allah SWT secara langsung berhubungan (menciptakan) benda yang banyak unsur ini, maka akan merusak citra tauhid Allah SWT.

Menurut Al-Farabi juga, bahwa dalam penciptaan alam ini, diawali dengan asal wujud tunggal (wajib al-wujud) yaitu Tuhan, kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujud). Argumen lain yang dijadikan dasar oleh al-Farabi adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang sangat teratur seperti anatomi tubuh yang struktural-fungsional. Hal ini menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang tunggal dan melimpah menjadi seperti adanya sekarang (Wiyono 2016, 38-39).

Baca Juga  Ibn Haitsam, Filsuf Muslim yang Terlupakan

Perbedaan antara Qadim-nya Tuhan & Alam

Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim, karena ia diciptakan oleh Allah SWT sejak zaman azali. Terdapat perbedaan yang besar antara qadim-nya Tuhan dengan alam. Perbedaannya terletak pada sebab pembuatan alam terwujud. Keberadaan alam tidak diketahui oleh zaman, maka alam qadim dari segi zaman (taqaddum zamany). Adapun dari segi zat merupakan hasil pancaran dari Tuhan, maka alam ini baharu (hudud zaty). Sedangkan Tuhan adalah takaddum zaty (semua yang ada dan pencipta alam). Jadi, alam ini baru dan qadim, baru dari segi zatnya dan qadim dari segi zaman (Zar, Filsafat Islam I 1999, 75).

Hampir sama dengan al-Farabi, Ibnu Sina (980 M-1037 M), sebagian konsep kosmologi Ibnu Sina tidak berbeda jauh oleh konsep kosmologi al-Farabi. Mengenai pancaran atau sering disebut dengan emanasi sejalan dengan pendahulunya.

Oleh karena itu, Ibnu Sina juga terpengaruh para filsuf Yunani, terutama sekali pengaruh Plotinus dalam menjabarkan bagaimana dari yang satu muncullah keberagaman. Teori emanasi identik dengan al-Farabi dan Ibnu Sina saja. Karena kedua filsuf tersebut yang mampu mencapai kesempurnaan kolaborasi (mengislamkan teori Plotinus) dari Yunani kuno ke dalam Islam.

Sains Modern

Berbeda dengan pendapat filsuf Islam, sains dalam menjelaskan proses penciptaan alam memakai teori big bang (dentuman besar) yang muncul pada tahun 1930 oleh Georg Leimateri. Menurutnya, alam berasal dari ledakan dahsyat yang melempar jasad-jasad samawi ke segala arah dan lambat laun jasad itu membentuk galaksi.

Menurut teori ini, alam semesta terkemas dalam singularitas yang kemudian sekitar 15 milyar tahun lalu meledak pecah berkeping-keping dengan dahsyat. Pecahan inilah yang menjadi alam semesta dan galaksi-galaksi bergerak saling menjauh dan akan terus bergerak (Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam Sain dan al-Qur’an 1997, 147).

Baca Juga  Memahami Konsep Al-Jahl Al-Muqaddas Mohammed Arkoun

Secara sederhana, teori Big Bang menjelaskan bahwa alam semesta pernah sangat padat. Pendapat lain mengatakan bahwa alam semesta berawal pada waktu tertentu melalui ledakan “telur kosmik” yang disebut dentuman besar, yang kira-kira 10 miliar sampai 20 miliar tahun yang lalu dan mengembangnya alam semesta sekarang adalah kelanjutan dari dentuman besar (Malik 2016, 62).

Teori Big Bang, semakin kuat dengan gagasan George Gamov pada tahun 1948. Ia mengatakan bahwa setelah adanya ledakan dahsyat, pembentukan alam semesta berasal dari sisa radiasi yang ditinggalkan melalui ledakan alam.

Selain itu, radiasi ini tersebar ke segala penjuru alam semesta. Kemudian pada tahun 1965, penemuan baru oleh Arno Penziaz dan Robert Wilson yaitu temuan sisa radiasi peninggalan dari tahapan awal peristiwa Big Bang. Atas temuan penting ini, mereka dianugrahi Nobel pada masa itu.

***

Namun, beberapa ahli astronomi meragukan teori tersebut, seperti paham materialis (astronom) bernama Hoyle dan Eddington memberikan penolakan terhadap teori Big Bang itu. Karena para kaum astronom berpaham materialis tetap bersikukuh atas gagasan bahwa alam ini tidak terhingga dan kekal sepanjang masa. Sedangkan paham Big Bang memiliki permulaan. Namun pada akhirnya, pandangan kaum Hoyle dan kawan-kawan terbantahkan oleh penemuan observasi NASA pada tahun 1989 (Supriyadi 2010, 164).

Dengan demikian, melalui metode berfikir rasional,para ulama klasik mengembangkan pemikiran luas dengan sedikit dogma. Perlu dipahami kembali bahwa meskipun metode ini memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, akan tetapi ia tidak pernah menepiskan atau membelakangi wahyu.

Wahyu tetap dipakai dan akal tidak bisa menyalahi wahyu. Namun, jika akal bertentangan dengan teks Al-Qur’an, maka diambil arti metaforisnya, sehingga pendapat akal dan arti ayat menjadi sejalan sehingga tiada pelanggaran terhadap ayat serta sesuai dengan prinsip Al-Qur’an. Ini tentu berbeda dengan para filsuf sains modern yang lebih mengemukakan pemahaman kosmologi berdasarkan rasionalitas saja tanpa ada wahyu sama sekali. 

Baca Juga  Konsep al-Mutawahhid Ibn Bajjah: Signifikansi di Era Globalisasi

References

Malik, Adam. 2016. Penciptaan Alam Semesta Menurut al-Qur’an dan Teori Big Bang. Laporan Penelitian , Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.

Muhardi. 2019. Konsep Penciptaan Alam Menurut Al-Suhrawardi, . Skripsi, Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, Padang: UIN Imam Bonjol.

Supriyadi, Dedi. 2010. Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan Teori dan Praktek). Bandung: Pustaka Setia.

Wiyono, M. 2016. “Pemikiran Filsafat Al-Farabi.” Substantia 18 (1).

Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam (Filsuf dan Filsafatnya). Jakarta: Rajawali Pers.

—. 1999. Filsafat Islam I. Padang: IAIN IB Press.

—. 1997. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam Sain dan al-Qur’an. Jakarta: RajaGrapindo Persada.

Johan Septian Putra
41 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds