Perspektif

Tapak Tilas Perjalanan Surat Kabar Harian Republika

2 Mins read

Telah lebih dari dua dasawarsa sejak tahun 1993, surat kabar Republika telah menemani pembaca Indonesia. Media dengan ceruk pembaca umat Islam tersebut secara total akan bermigrasi melalui kanal online dalam waktu terdekat.

Merujuk pemberitahuan resmi Republika tanggal 14 Desember 2022, pada 31 Desember 2022 menjadi hari terakhir bagi para pembaca untuk  dapat membaca harian Republika secara konvensional atau melalui surat kabar.

Bagi kalangan pembaca Republika versi surat kabar harian atau koran, hal tersebut menjadi kabar yang mengharukan. Walaupun mereka tetap dapat menikmati sajian dari Republika secara online, tetapi membaca Republika melalui koran adalah kenikmatan atau kemewahan tersendiri.

Republika merupakan salah satu surat kabar harian beridentitas Islam di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan lima prinsip dasar yang menjadi acuan karakter Republika, yaitu: modern, moderat, muslim, nasionalis dan kerakyatan.

Melekatnya identitas Islam pada Republika mempunyai riwayat sejarah, setidaknya dalam tiga arus sejarah yang telah dilewati: Pertama, masa di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Kedua, masa di mana Republika mempunyai afiliasi dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Ketiga, Periode bisnis di bawah kepemilikan Mahaka Media Group.

Arus Sejarah Surat Kabar Republika: Peran ICMI di Tengah Rezim

Konteks situasi perjalanan media massa di Indonesia kala itu berada di bawah bayang-bayang kepemimpinan otoritarian Presiden Soeharto. Pendek kata, Soeharto telah banyak membredel media massa yang selalu mengkritik pemerintah melalui pemberitaan.

Baginya, media massa yang bersikap kritis mengganggu berjalannya kepemimpinan pemerintahan. Pembredelan tersebut dilakukan dengan cara mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Tempo, Sinar Harapan, Harian Rakyat, Harian Indonesia Raya adalah deretan media yang pernah menerima imbasnya di masa itu.

Baca Juga  Soedjatmoko: Agama Punya Peran dalam Pembangunan Nasional

Kelahiran Republika tidak terlepas dari peran ICMI yang  pada tahun 1990 menggelar forum yang bertajuk “Sumbangan Cendekiawan Muslim di Era Tinggal Landas”. Forum tersebut telah mampu memantik kebutuhan ICMI untuk mendirikan media massa atau surat kabar harian yang dimaksudkan untuk mengakomodasi suara dan gagasan masyarakat muslim di Indonesia.

Rencana ICMI untuk mempunyai surat kabar harian bersambut gayung bersamaan dengan surat kabar Berita Buana yang telah ditutup sebelum tahun 1993 akibat takut akan pembredelan oleh rezim masa itu. Di sisi lain, Berita Buana kerap mengkritisi pemerintah melalui praktik jurnalistik yang anti monopoli wartawan dan hegemoni rezim.

Akhirnya ICMI mampu mempunyai lembaga pers dengan mengubah namanya menjadi Republika. ICMI tidak hanya mendapatkan bekas SIUPP Berita Buana, namun sekaligus dengan menggait aparatur media tersebut untuk bergabung dengan ICMI sekaligus berseragam Republika.

Republika dan Upaya untuk Terus Bangkit

Perjalanan Republika sebagai surat kabar harian terhitung seumur jagung. Di bawah ICMI, Republika terancam gulung tikar karena persoalan keuangan yang tidak mampu menopang biaya produksi pers. Persoalan tersebut dapat dipahami bahwa ICMI telah gagap menjalankan Republika dalam aspek manajemen kelembagaan pers.

Janet Steele (2018) melalui bukunya Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Negara Muslim Asia Tenggara, menerangkan alasan media Islam domestik gulung tikar adalah tidak membangun keseimbangan keuangan dengan baik.

Pada tahun 2000 Republika menjadi media massa yang berbasis komersial. ICMI melepas kepemilikan Republika kepada Mahaka Media Group, sosok pengusaha Erick Thohir menjadi pemimpin Republika. Di bawah Erick Thohir identitas Republika yang Islami sebagai surat kabar harian tetap berjalan, dengan manajemen keuangan yang lebih baik.

Perpindahan kepemilikan tersebut membuat Republika lebih seimbang menjalankan visi sebagai surat kabar harian Islami sekaligus memasuki industri pers. Hingga hari ini surat kabar Republika masih menjadi salah satu media yang berideologi atau beridentitaskan Islam. Dengan sejarah kepentingannya yaitu mengakomodasi suara masyarakat Muslim di Indonesia.

Baca Juga  Mengapa Jumlah Kyai di Muhammadiyah Semakin Menurun?

Atas dasar itu pula dapat dipastikan segmen atau ceruk pasar Republika adalah Islam. Dalam sejarahnya, banyak intelektual muslim yang tulisannya terpampang di dalam surat kabar tersebut, seperti Amien Rais, Haidar Bagir, Ahmad Syafii Maarif, Dawan Rahardjo, Nurcholis Madjid, dan kalangan cendekiawan muslim Indonesia  lainnya.

Editor: Faizin

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Magister Program Studi Ilmu Pemerintahan di Jusuf Kalla School of Government, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Secara Historis, Petani itu Orang Kaya: Membaca Ulang Zakat Pertanian

3 Mins read
Ketika membaca penjelasan Profesor Yusuf Al-Qaradawi (rahimahullah) tentang zakat profesi, saya menemukan satu hal menarik dari argumen beliau tentang wajibnya zakat profesi….
Perspektif

Apa Saja Tantangan Mengajarkan Studi Islam di Kampus?

4 Mins read
Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun…
Perspektif

Bank Syariah Tak Sama dengan Bank Konvensional

3 Mins read
Di masyarakat umum, masih banyak yang beranggapan bahwa Bank Syari’ah tidak memiliki perbedaan nyata dengan Bank Konvensional. Mereka percaya bahwa perbedaan hanya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *