Perspektif

Fahruddin Faiz: Tiga Tingkatan Toleransi Manusia

3 Mins read

Fahruddin Faiz I Fitrah dari keberadaan manusia yang disebut Aristoteles dengan zoon politicon dan animal rationale, menunjukkan bahwa determinasi manusia adalah tidak lepas dari interaksinya dengan manusia lainnya, dan keunikannya dalam berpikir secara rasional. Setiap manusia akan bisa dianggap ada, jika ia berkomunikasi dengan sesamanya berdasarkan rasionalitasnya. Itulah mengapa sering kali ada anggapan bahwa manusia punya keunikannya masing-masing sehingga aktivitas komunikasi itu dimungkinkan.

Filsuf dari Jerman di abad ke-20, Jurgen Habermas memperjelas pemikiran Aristoteles lewat paradigma komunikasinya yang disebut “individu diskursif”, yaitu bahwa eksistensi manusia selain berkomunikasi, adalah selalu berupaya menuju kesepakatan.

Barangkali pemikiran Aristoteles dan Jurgen Habermas inilah yang akhirnya pembahasan tentang toleransi secara tidak langsung menjadi suatu keniscayaan atas problem peradaban manusia sejak era klasik hingga kontemporer: Hambatan kesepakatan antar manusia dalam berkomunikasi karena perbedaan dan keberagaman.

Tiga Tingkatan Menurut Toleransi Fahruddin Faiz

Mengenai toleransi, bebarapa hari yang lalu, saya dipertemukan dengan video dengan judul “Memaknai Kegelisahan Hidup Manusia” di kanal YouTube “Mizan Network”, yang di dalamnya ada sesi tanya jawab tentang toleransi (pembahasan dimulai menit 31:47).

Pembicara dalam video itu adalah salah satu ahli filsafat Islam yang sedang masyhur akhir-akhir ini dengan ciri khas pembawaannya yang sederhana dan adem tentang kajian filsafat. Seperti yang sudah diduga, beliau adalah Dr. Fahruddin Faiz M. Ag, seorang dosen dari UIN Sunan Kalijaga dan pengisi rutinan ngaji filsafat di Masjid Jendral Sudirman, Yogyakarta.

Penjelasan beliau tentang toleransi sangat menarik. Tidak hanya sekadar berorientasi pada definisi dan argumentasi, beliau juga menguraikan perihal tolerasi menjadi tiga tingkatan. Di tulisan ini saya tidak hanya menduplikasi apa yang beliau sampaikan, tetapi juga saya kembangkan untuk memberi tahu betapa indah dan pentingnya toleransi dalam berkehidupan. Tiga tingkatan itu diantaranya;

Baca Juga  Meningkatkan Membaca dan Menulis: Menuju Budaya Literasi Pemuda

Toleransi Pasif

Umumnya perihal toleransi kita mengenalnya sebagai suatu sikap menghormati dan menghargai perbedaan. Begitu pula secara etimologis pengertian itu tak jauh berbeda, yakni yang artinya “kelapangan dada”. Pemahaman toleransi seperti itu senada dengan yang dikatakan Fahruddin Faiz tentang jenis toleransi pasif.

Menurut beliau, toleransi yang pasif adalah ketika kita menerima suatu perbedaan dengan konstruksi makna yang berbeda. Jenis toleransi semacam itu sesederhana kita memahami pandangan seseorang dengan rasa kemanusiaan.

Misalnya saja ada kawan kita menganggap kalau bahagia adalah ketika meminum kopi. Sedangkan kita, mungkin harus membaca buku dulu untuk merasakan bahagia. Bagaimanapun keduanya memang berbeda. Namun kita harus menyadari bahwa antara meminum kopi dan membaca buku, adalah aktivitas kebahagiaan berdasarkan apa yang dibutuhkan sebagai manusia. Jadi, makna bahagia versi kita adalah ketika bertambahnya pengetahuan, sedangkan bersantai dan rileks dengan pahitnya rasa kopi adalah kebahagiaan versi kawan kita.

Toleransi Aktif

Sebagian dari kita pasti pernah sesekali menghargai perbedaan pandangan karena merasakan adanya persamaan di dalamnya. Hal semacam itu menurut Fahruddin Faiz adalah jenis toleransi aktif. Sebagaimana dalam istilah ilmu sosial, sikap menghargai pendapat seseorang dan berusaha memahami persamaan maknanya, itu disebut dengan “mutual understanding”.  Toleransi jenis ini sesederhana kita memahami signifikansi antara hakikat pandangan seseorang dengan hakikat pandangan kita, meskipun angle-nya berbeda.

Sebagai contoh dalam kasus perdebatan bubur diaduk dan tanpa diaduk, misalnya. Di antara keduanya jelas berbeda secara mekanisme penyajian. Tetapi kita harusnya paham, bahwa yang lebih signifikan daripada memakan bubur adalah untuk menghasilkan rasa kenyang. Perihal diaduk dan tanpa diaduk, itu hanyalah persoalan cita rasa subjektif di setiap penikmat bubur. Itulah yang disebut mutual understanding: Bukan perkara cara, tapi perkara bagaimana tujuan dari suatu hal mempunyai makna yang sama.

Baca Juga  Abid Al-Jabiri: Tiga Epistimologi Ini Bantu Kamu Memahami Islam Secara Utuh

Toleransi Kreatif

Tingkatan toleransi yang lebih tinggi lagi ini menurut Fahruddin Faiz juga berasal dari istilah ilmu sosial, yang disebut dengan “prokreasi”. Jadi, selain kita menghargai perbedaan pandangan karena memahami maknanya, kita juga berusaha mengkonstruksi perbedaan pandangan itu menjadi sesuatu yang baru. Toleransi jenis ini relatif sulit, karena membutuhkan kapasitas intelektual yang benar-benar mampu untuk mengkreasi kedua pandangan yang berbeda.

Sebagaimana dalam salah satu artikel saya tentang “Bagaimana Cara Menakar Kadar Intelektualitas Seseorang?, tepatnya di poin “respon ketika dikritik”, bahwa sesuatu menjadi ada, karena adanya perbedaan karakteristik antar objeknya. Menghormati dan menghargai perbedaan pendapat itu seharusnya sesuatu yang wajar. Sebab, jika tidak ada perbedaan, maka bagaimana kita mengetahui sesuatu itu ada, begitupun dengan menciptakan hal-hal baru untuk peradaban kita.

Kegiatan berdiskusi bisa menjadi contoh paling sederhana untuk toleransi berjenis prokreasi. Diskusi itu bukan sebatas membolehkan penyampaian pendapat, lalu diakui (tanpa mengambilnya sebagai modal kreasi). Tapi, diskusi yang autentik adalah ketika di satu sisi kita saling mengeluarkan pendapat satu sama lain, dan di sisi yang lain kita berupaya menemukan titik temu serta membangunnya menjadi suatu hal baru dari beragamnya pendapat yang ada.

Rasulullah Swt pernah berkata, “ihtilafu ummati rahmah”, yang artinya persilisihan antar pendapat adalah suatu belas kasih Allah Swt untuk makhluknya. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika semua manusia mempunyai pandangan yang sama terhadap dunia? Mungkinkah kita akan bertumbuh dan berkembang jika tanpa perbedaan? Terlebih lagi, mungkinkah salah satu kebutuhan dasar kita yang disebut komunikasi itu ada? Saya rasa, kita sama-sama sepakat kalau perbedaan dan keberagaman adalah unsur filosofis dalam keberadaan manusia.

Baca Juga  Islam itu Bukan Negara, Titik!

Editor: Saleh

Achmad Fauzan Syaikhoni
14 posts

About author
Mahasiswa IAIN Kediri jurusan komunikasi dan penyiaran islam, tapi sedang bercita-cita menjadi filsuf. Bisa ditemui lewat ig: zann_sy
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds