Perspektif

Cacat Tersembunyi dalam Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri

3 Mins read

Awal bulan September 2022 lalu momen yang cukup kontroversial bagi para pelajar di Indonesia. Terkhusus bagi para pelajar SMA semester terakhir, perubahan seleksi masuk perguruan tinggi negeri menjadi tantangan, tetapi sekaligus menjadi a breath of fresh air bagi kebanyakan orang.

Sistem pemilihan calon mahasiswa dengan menggunakan tes skolastik membukakan peluang bagi para siswa kurang mampu, sekaligus siswa yang ingin melanjutkan studi di jurusan yang berbeda dari preferensinya di SMA. Tetapi di balik revolusi teknis ujian masuk kampus, ada cacat tersembunyi dalam sistem yang dari tahun ke tahun, satu periode kementerian ke periode selanjutnya, tetap dipertahankan.

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) semenjak didirikan pasca kasus instransparansi keuangan oleh SPMB pada tahun 2008 silam, telah menjadi salah satu bentuk seleksi utama yang digunakan oleh pelajar SMA tahun akhir. Konsep pendaftaran studi lanjut tanpa-tes dan menggunakan rapor sebenarnya sudah diberlakukan di beberapa negara Barat, tapi dengan diberlakukannya di Indonesia, yang terjadi adalah ketidakcocokan dengan model pendidikan yang ada.

Potensi Manipulasi

Akibat dari ketiadaan seleksi tertulis masuk perguruan tinggi pada SNMPTN, atau yang kini di update penamaannya menjadi Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP), para pelajar semester akhir sekolah kini hanya bergantung pada nilai yang tertera di dalam rapor selama 3 tahun mereka.

Akibat dari keterbatasan kursi mahasiswa di perguruan tinggi negeri, dibuatlah mekanisme seleksi yang terpusat di SMA masing-masing, yang pada 2021 resmi diterapkan menggunakan nama eligible. Daftar nama siswa eligible ini lah yang kemudian di seleksi lagi oleh lembaga pemilihan untuk dimasukkan ke kampus-kampus yang diinginkan.

Selain itu, ketiadaan tes ini pula yang akan sangat memudahkan siapapun untuk mendaftar, karena selama nilai di rapor memadai, maka tinggi kemungkinan akan masuk perguruan tinggi negeri favorit. Alhasil, yang terjadi di SMA di seluruh Indonesia dalam memaksimalkan cacat sistem ini adalah meng-katrol nilai-nilai siswa mereka, sehingga jumlah siwa yang diterima di kampus negeri semakin banyak, dan hal tersebut akan menjadi bahan marketing tersendiri disaat pembukaan pendaftaran siswa baru.

Baca Juga  Soedjatmoko dan Ramalan 2020

Penambahan nilai bagi siswa sekolah bukanlah hal yang baru, strategi ini bahkan sudah sejak lama diterapkan bagi sekolah yang ingin mempertahankan image mereka di hadapan khalayak. Apalagi ditambah dengan adanya sistem pendaftaran tanpa tes ini, justru memudahkan orang-orang yang ingin berbuat curang dalam mengeksploitasi sistem pendidikan kita.

Kasus yang sangat berbeda kita alami jika memperhatikan negara-negara lain dalam mengaplikasikan jalur tanpa-tes ini, sebut saja Australia. Pendidikan di Australia benar-benar sudah merata. Ada standar yang mereka terapkan di semua sekolah.

Hal ini pula yang membuat Australia berani memberlakukan zonasi bagi pendaftar baru. Pendidikan yang sudah merata berarti, tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan sekolah buangan. Seluruh institusi pendidikan di bawah negara senantiasa terkontrol kualitas mutunya, alhasil tidak ada kesenjangan nilai rapor antar sekolah. Kurangnya pemerataan pendidikan di Indonesia inilah yang membuat sistem seleksi tanpa-tes ini belum cocok diaplikasikan.

Seleksi Penuh Subjektivitas

Berangkat dari fakta bahwasanya pendidikan di Indonesia belum merata ini, menyebabkan kampus-kampus top di Indonesia untuk lebih pilih-pilih terhadap background sekolah calon mahasiswanya. Hal ini sebetulnya wajar dilakukan oleh kampus, karena mereka tentu menginginkan mahasiswa-mahasiswa yang unggul dan bukti keunggulannya dilihat melalui perolehan institusi pendidikan tersebut dalam pelaksanaan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), yang kini berubah nama menjadi Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT).

Memprioritaskan sekolah dengan kultur perolehan nilai yang tinggi dalam tes tertulis SBMPTN sebenarnya bukan langkah yang salah. Yang problematik pada hakikatnya adalah mengasumsikan bahwasanya rapot dari sekolah favorit lebih tinggi derajatnya dari sekolah-sekolah yang tidak menduduki peringkat atas.

Teknis pemilihan ini mungkin di permukaan terasa fair-fair­ saja, apalagi bagi siswa yang berasal dari almamater yang terkenal unggul. Namun jika memandang dari sudut pandang mereka yang tidak punya luxury pergi ke sekolah favorit, teknis pemilihan dengan memprioritaskan pemeringkatan sekolah justru menjadi metode yang amat sangat diskriminatif.

Baca Juga  Rekonstruksi Peradaban di Tengah Globalisasi

Siswa-siswa cemerlang di seluruh Indonesia, yang kebetulan tidak mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah unggul, akan dipandang sebelah mata oleh universitas. Sepintar-pintarnya seseorang, jika ia masih bersekolah di institusi pendidikan dibawah ranking 1000 besar, kemungkinannya diterima di perguruan tinggi negeri sangatlah minim.

***

Subjektivitas dalam penerapan sistem SNMPTN ini patutnya membuat kita menggeleng-gelengkan kepala. Apalagi di tengah masyarakat dengan pendapatan menengah kebawah di Indonesia, sistem yang awalnya digunakan untuk mempermudah prosedur siswa masuk ke perguruan tinggi, seketika menjadi prosedur yang mempersulit sebagian yang lain.

Dan tidak sampai disitu saja, siswa-siswa yang justru kurang unggul, akan tertutupi oleh ranking sekolah yang tinggi. Hal ini secara tidak langsung mencerminkan bahwasanya yang menjadi objek kompetisi bukanlah siswa, melainkan sekolah tempat ia belajar.

Efek domino pun dapat terjadi, disaat semua orang ingin masuk ke institusi yang cukup reputable, maka sistem zonasi di Indonesia tidak akan berfungsi baik lagi. Lama kelamaan muncullah budaya-budaya korup seperti pemalsuan domisili Kartu Keluarga (KK), demi mendapatkan zona sekolah yang ternama.

Inilah yang kemudian menyusahkan progres kemajuan pendidikan di Indonesia secara umum. Sekolah favorit akan selamanya menjadi sekolah favorit, sekolah buangan akan selalu menjadi sekolah buangan, begitu pula masyarakat yang akan semakin terkotak kotak. Yang pintar akan semakin pintar, yang bodoh akan semakin tersingkir, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, dan seterusnya.

Pembenahan

Kecacatan sistem merupakan hal yang tidak dapat dimaafkan sampai kapanpun. Peradaban yang baik, masyarakat yang baik, ekonomi yang baik, semuanya berakar dari sistem yang baik pula. Dari dua poin yang telah dipaparkan, ada urgensi baru untuk memperbaiki, dan membenahi sistem penerimaan mahasiswa baru untuk perguruan tinggi negeri, terkhusus sistem seleksi tanpa-tes.

Baca Juga  Perlukah Muhammadiyah Memiliki Rumah Sakit Jiwa?

Perlu di evaluasi kembali apakah memang Indonesia ini mampu untuk menerapkan sistem seleksi tanpa-tes, atau masih menjadi tujuan yang far-fetched. Hal ini bukan berarti Indonesia lebih baik menghapuskan seleksi tanpa-tes, namun juga bukan berarti seleksi tanpa-tes boleh dipertahankan tanpa sarana pendidikan pendukung yang memadai.

Editor: Yahya FR

Muhammad Faiz Shofyan Hanafi
1 posts

About author
Siswa kelas XII MIA 1 Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta | PC IPM Kasihan
Articles
Related posts
Perspektif

Benarkah Islam di Asia Tenggara Bukan Bagian dari Dunia Islam?

3 Mins read
Islam di wilayah Asia Tenggara memiliki karakteristik atau watak yang berbeda dengan wilayah lain, khususnya di Timur Tengah. Karakteristik Islam di wilayah…
Perspektif

Bayang-Bayang Seni Kiai Dahlan di Muhammadiyah

3 Mins read
Belum lama ini kita dihebohkan dengan perdebatan seputar hukum musik dalam Islam. Sebenarnya persoalan ini adalah khilafiyah. Karenanya tulisan sederhana ini tidak…
Perspektif

Kurikulum Merdeka adalah Kunci Kemajuan Pendidikan Masa Kini

4 Mins read
Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei (HARDIKNAS) merupakan momentum bagi setiap insan pendidikan untuk memperingati kelahiran pelopor Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *