Inspiring

Cak Nun: Guru Bangsa yang Mengingatkan Bangsanya

4 Mins read

Salah seorang budayawan sekaligus tokoh agama terkemuka di Indonesia, Emha Ainun Nadjib, atau sering disapa Cak Nun, menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Pengasuh pengajian Maiyahan tersebut mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyebut bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi adalah sosok Fir’aun, disusul oleh Luhut Binsar Panjaitan sebagai Haman, dan Anthony Salim sebagai sosok Qorunnya. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Cak Nun ketika menyampaikan ceramah pada forum Macapat Syafaat dan Tawashulan di Tamantirto, Kasihan, Kabupaten Bantul, Selasa (17/1) silam.

Sontak pernyataan yang menyebut Jokowi Fir’aun tersebut membuat dirinya “dirujak” habis-habis-an oleh netizen Indonesia. Banyak orang mengecam beliau karena pernyataan tersebut pasti membuat kegaduhan, dan dapat menimbulkan efek negatif bagi penceramah yang tidak seharusnya melontarkan ujaran kebencian di muka publik. Sepuluh hari kemudian, atau tepatnya pada 17 Januari 2023, melalui Channel Youtube CakNun.com, budayawan asli Jombang tersebut menyampaikan klarifikasi dan permohonan maafnya kepada seluruh pihak yang telah dirugikan atas apa yang beliau sampaikan. Ia menyampaikan jika sudah disidang oleh keluarganya. Cak Nun mengaku ‘kesambet’ telah melontarkan ucapan tersebut dan merasa khilaf atas ucapannya.

Peristiwa Cak Nun tersebut mengingatkan saya pada kisah seorang cendekiawan muslim dan revolusioner Iran, Ali Shariati. Ia adalah salah satu tokoh intelektual Islam yang bercorak pemikiran-kiri progresif dan revolusioner. Ali adalah seorang penganut Muslim Mazhab Syi’ah yang taat. Banyak sekali artikelnya yang mengajak orang-orang untuk senantiasa menjadi pemantik kesadaran kritis dan semangat solidaritas antar sesama manusia.

***

Dalam Jurnal yang berjudul Pengaruh Pemikiran Islam Revolusioner Ali Syari’ati Terhadap Revolusi Iran yang ditulis oleh Anjar Nugroho (2014), menyebutkan bila Syari’at tumbuh dewasa dan mengenal pemikiran terhadap wacana revolusioner Iran sejak ia lulus studi doktoralnya di Paris, dan kembali ke Iran pada tahun 1967. Sebagai dosen di universitas, ia banyak berinteraksi dengan banyak mahasiswa dan kalangan intelektual. Ia bergumul dengan kaum intelek untuk mengkampanyekan ide dan gagasannya tentang Islam Progresif, pandangan Dunia Ketiga, dan kritismenya terhadap rezim Syah. Berbagai ceramah akademiknya menarik banyak minat mahasiswa untuk menyimak isi materi yang ia sampaikan. Tak butuh lama Syari’ati menjadi dosen idola mahasiswa. Ali pun juga berhasil membantu para intelektual pada masa itu untuk menemukan waeisan Islam yang dikemas menjadi ideologi melawan kediktatoran.

Baca Juga  Mohammad Roem (4): Mas Ranuwihardjo, Pegawai yang Memilih Aktif di PSII

Dalam beberapa waktu Ali Syari’ati semakin dikenal oleh masyarakat luas. Ia semakin dikenal oleh masyarakat sebagai figur oposisi. Syari’ati menduduki posisi yang lebih sentral sebagai pemimpin yang paling radikal, namun tetap shalih dalam kontelasi sosial-politik Iran pada saat itu dibandingkan Mosadeq dan Khomeini.

Syari’ati yang sudah terlanjut digandrungi oleh banyak orang, terutama para kaum muda dan mahasiswa, menjadikan banyak pidato, khutbah, kuliah umum diikuti oleh ribuan pendukungnya, ditranskip, lalu difoto copy, maupun dicetak dalam bentuk pamflet dan bulletin untuk disebar. Hal tersebut ditujukan agar pesan perlawannnya dibaca oleh ratusan ribu, bahkan jutaan orang di seluruh Iran sebagai lapisan dan status sosial.

Gagasan Dunia Ketiga yang menjadi ide revolusionernya sekaligus pembeda dengan tokoh revolusioner Iran lainnya. Gagasan tersebut mengusahakan adanya pemulihan warisan budaya, termasuk warisan keagamaan sebelum memerangi imperalisme dan mengatasi alienasi sosial. Menuruti Syari’ati dengan memulihkan warisan kebudayaan. Maka, masyarakat Dunia Ketiga hanya akan terwujud bilamana sudah mencapai “kedewasaan-nya”. Maksud Syari’ati kedewasaan tersebut tercermin ketika masyarakat dapat meminjam teknologi dari Barat tanpa kemudian kehilangan kehormatan diri (self esteem).

***

Ali mengartikulasikan makna Dunia Ketiga dalam konteks kondisi negara Iran pra-Revolusi seperti halnya negara yang terjangkit penyangkit semacam imperalisme internasional. Bentuk pengejawantahannya melalui korporasi multinasional, rasisme, penindasan kelas, ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Gharbzadegi/Westoxiation). Ia sangat mengecam adanya imperalisme Barat dan kepincangan sosial yang telah menjadi musuh bersama masyarakat. Hal tersebut mendorongnya untuk segera memberangus virus tersebut dalam jangka panjang. Namun, Syari’ati juga memiliki gagasan untuk jangka pendek. Menurunya ada dua musuh yang harus segera diberantas dalam jangka pendek, yaitu “Marxisme Vulgar”, yang menjelma dalam bentuk Stalinisme yang digemari oleh banyak intelektual. Serta Islam Konservatif yang sebagaimana dipahami dan diilhami oleh kaum ulama.

Baca Juga  Musyawarah Para Kiai: 67 Tahun Cak Nun

Selain ia membawakan gagasan Dunia Ketiga yang telah viral di kalangan masyarakat Iran, bahkan juga di berbagai belahan Dunia. Syari’ati juga termasuk tokoh yang menjembatani kebuntuan ideologi gerakan oposisi antara nasionalis-sekluer, Marxis-Komunis dan Fundamentalisme Islam. Syari’ati berhasil mempersatukan semua ideologi dan gerakan tersebut dalam satu nafas ideologi Islam Revolusioner.

Syari’ati lalu tampil sebagai sosok intelektual tercerahkan pada era rezim Syah Pahlevie yang otoriter dan menindas. Ia benar-benar tampil sebagai tokoh dengan gagasan radikal tentang Islam dan revolusi yang bersumber dari ajaran Syiah yang dicangkokkan dengan Dunia Ketiga dan Marxisme nya. Akibatnya ia dibenci oleh berbagai kalangan, mulai dari rezim saat itu karena dia dianggap menentang rezim syah, lalu dibenci kalangan ulama karena banyak mengkritik ulama menara gading, termasuk ia dibenci oleh intelektual sejawatnya karena beberapa intelektual tidak mampu mengikuti alam pikir Syari’ati.

***

Dalam konteks kasus Cak Nun tadi, ada sedikit kemiripan dengan apa yang dialami oleh Ali Syari’ati. Keduanya menurut penulis sama-sama seorang cendekiawan muslim. Kendati Cak Nun bukan seorang doktor, namun ia diundang di berbagai kuliah umum yang isinya para akademisi dan guru besar. Artinya secara keilmuan, antara Cak Nun dan Ali Syari’ati sama-sama memiliki kapabilitasnya dalam hal kajian keagamaan.

Keduanya juga sama-sama tokoh yang digandrungi oleh rakyat. Melalui pengajian Maiyah-nya Cak Nun, beliau menyampaikan banyak pesan kehidupan melalui bahasa-bahasa sederhana didalam setiap baitnya. Maiyah pun tumbuh menjadi komunitas sosial (social community) yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dari mulai pejabat, akademisi, aktivis, budayawan, mahasiswa, hingga masyarakat awam biasa. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh Ali Syari’ati yang mejembatani lintas ideologi dan pemikiran tadi. Tujuan Cak Nun dan Ali Syari’ati sama, yakni sama-sama menyelamatkan masyarakat dari kejumudan atas realitas dunia yang terombang-ambing oleh pengaruh negatif dari budaya luar.

Baca Juga  Zaid bin Ali, Penggagas Sistem Kredit dalam Islam

Cak Nun sebagai seorang budayawan dan intelektual muslim pun berperan sebagai guru bangsa. Murid-muridnya ya seluruh lapisan bangsa, termasuk para pejabatnya. Artinya ketika Guru melihat muridnya menyeleweng, ya pasti diingatkan oleh gurunya. Walaupun penulis menganggap bahwa perkataan Cak Nun yang menyebut Jokowi Fir’aun kurang pas jika dikaitkan dengan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran. Namun, dibalik itu beliau menyimpan pesan yang mendalam lagi penuh hikmah. Percayalah, beliau ini sedang memainkan perannya sebagai social control bagi pemerintah. Jadi, tidak perlu terlalu diributkan terlalu dalam dan jauh. Toh, udah sama-sama menyampaikan permohonan dan menerima maaf kan.

Editor: Yahya FR

Faiz Arwi Assalimi
15 posts

About author
Anggota Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fisipol UGM
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds