Perspektif

Mengemis Online dan Problem Viralitas Kita

3 Mins read

Fenomena mengemis di Tiktok yang kemudian menuai banyak kecaman, dari pemerintah maupun masyarakat luas, sebenarnya bukanlah fenomena yang baru. Jauh sebelum viralnya fenomena ini di negeri kita tercinta, banyak pengungsi di wilayah Suriah dan Irak menggunakan Tiktok sebagai platform meminta-minta sumbangan. Cobalah anda membuka pemberitaan dari berbagai media internasional dalam kurun waktu tahun 2022 yang juga memberitakan Tiktok bahkan mengambil keuntungan dari aktivitas ini.

Dari sudut pandang pelaku, di samping adanya kemalasan, tentu ada pula faktor keterdesakan ekonomi dan kecerdasan dalam melihat peluang menjanjikan. Apalagi mengemis online selain menguntungkan secara finansial, secara praksis pula, jauh lebih nyaman bagi si empunya badan karena tidak perlu berpanas-panasan di lampu merah seperti manusia-manusia silver atau patung apalagi dapat memperkecil peluang terkena razia Satpol PP, tertabrak kendaraan bermotor, dipalak preman, bahkan dicacimaki oleh para pengguna jalan.

Selain itu, jangan lupakan pula, sifat dari netizen Indonesia yang selalu suka viralitas dalam berbagai ranah dari mulia urusan gaib seperti misteri kota Saranjana, fashion seperti Citayem, hingga permainan tradisional seperti lato-lato, semua dapat mencapai ketenarannya dalam satu malam berkat adanya netizen. Viralitas ini kemudian menciptakan ketenaran instan dan fenomena ikut-ikutan meskipun durasinya cuma sesaat.  

Jauh sebelum adanya kecaman, sebenarnya konten-konten mengemis online dianggap sebagai hiburan. Gift, share, dan like, jelas merupakan bukti netizen tidak abai pada si pembuat konten. Maka wajar saja jika si pembuat konten semakin menuju puncak ketenarannya. Setelah menuai kecaman pun banyak influencer yang mengambil peluang untuk bertemu dengan si pelaku tadi. Tujuan utamanya jelas bukan untuk memberikan pencerdasan tapi lebih kepersoalan uang, entertaining, rating. Jadi dalam melihat fenomena mengemis online ini, pelaku tidak sepenuhnya salah karena sebagian besar oknum netizen Indonesia masih menerapkan prinsip “Buatlah orang bodoh menjadi terkenal”.

Baca Juga  Fenomena Garam Ruqyah: Hati-hati dengan Penjual Agama di Media Sosial

Viralitas ala Kita

Perihal viralisme, saya rasa kita harus sepakat kita statement dari seorang penulis di situs Suara Muhammadiyah pada bulan Januari, yang menulis “Masyarakat kita seolah telah terjebak dalam tata nilai baru yang bernama viralisme. Menganggap sesuatu yang viral sebagai hal yang penting untuk diketahui. Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila kita juga menemukan banyak orang yang secara serampangan meneruskan informasi apapun yang dia dapatkan di seluruh platform media sosialnya”.

Viralitas dalam dunia permedsosan merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari. Dunia saat ini dan nanti akan semakin berisik, dari mulai bangun pagi sampai ke malam hari, rasa-rasanya kita tidak boleh terlepas dari yang namanya sosial media. Ketika anda melihat burung pagi yang berkicau saja, tidak cukup rasanya jika dinikmati sendiri berteman kopi dan nasi uduk tanpa membagikannya di sosial media.

Jadi aktif maupun tidaknya kita sebagai individu dalam meng-upload sesuatu di media sosial tadi, tetap tidak menutup fakta jika kita sudah tercandu-candu untuk melihat lagi dan lagi apa yang ada disosial media hari ini. Sunah manusia modern, kalau kata Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapines adalah rekam, unggah, dan sebarkan soal dampaknya akan jadi seperti apa maka pikirkanlah kemudian.

Penyebab utama sebuah konten dapat viral kalau dari sudut pandang akademik seperti dalam essay berjudul Anatomy of Viral Social Media Events (2016) terjadi karena interaksi berbagai aktor dari yang masih kroco sampai tingkatan bromocorah. Kalau menurut Emerson Spartz pendiri MuggleNet ada dua faktor penentu viralitas; pertama, adanya koefisien viralitas sejumlah orang yang berbagi konten yang sama; kedua, siklus waktu. Yaitu berapa lama konten itu dibagi-bagikan oleh banyak orang. Sementara kalau menurut Jonah Berger penulis buku Contagious: Why Things Catch On, viralitas itu dapat terjadi ketika dia mengejutkan, menarik, intens, positif, dan dapat ditindaklanjuti.

Baca Juga  Fenomena Cek Khodam di TikTok, Bagaimana Pandangan Islam?
***

Berbeda dari pandangan akademisi Barat yang seringkali yakin kalau yang viral selalu positif, dalam konteks NKRI, viralitas tidak semestinya positif. Malah banyak juga yang berujung negatif seperti pada fenomena menyetop truk di tepi jalan, telolet, sampai Citayem Fashion Week. Viralitas di Indonesia itu kuncinya dapat bermain rasa. Dalam istilah Jawa, netizen Indonesia itu suka konten yang rasanya nyeleneh, nyenengi, nyebelin, nyegerin, dan nyumurupi.

Viralitas yang terjadi di Indonesia memainkan lima rasa itu. Misalnya pada kasus pengemis online. Bagi netizen Indonesia, hal itu dipandang hiburan (nyenengi) sekaligus juga aneh (nyeleneh), dan nyebelin (mengesalkan).

Sementara, pada fenomena Mixue, ojo dibandingke, sampai siko bagi duo, dapat dipandang sebagai nyegerin (menyegarkan) sekaligus nyenengi (hiburan) dalam konteks ini juga dapat merujuk pada konten-konten yang sifatnya “mempersatukan bangsa”. Sementara yang berkaitan dengan gaib-gaib seperti KKN desa penari sampai ke kota Saranjana, sampailah pada kasus sambo memancing netizen untuk nyumurupi (mengetahui) meskipun acapkali bisa nyenengi (menghibur), dan nyebelin (mengesalkan).

Idealnya secara demografi, masyarakat kita dapat menggunakannya untuk kemajuan diri dan bangsanya. Tapi hal itu masih sangatlah jauh karena literasi digital masih kurang merata bahkan dianggap hanya pada persoalan ketik-mengetik bukan pada soal etika dan moral apalagi rasionalitas. Jadi, jauh panggang dari api rasanya jika mengharapkan sebagian besar oknum netizen yang seperti ini bisa berpikir secara rasional untuk tidak memberi ruang pada viralitas yang tidak berguna.

Editor: Yahya

Avatar
9 posts

About author
Mantan Pengurus Divisi Kajian dan Penelitian PPI Dunia dan RPK PC IMM Malaysia
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds