Feature

Lebaran Bersama Muhammadiyah dan NU

2 Mins read

Saya baru saja mendapat kiriman informasi bahwa Pesantren Miftahul Huda, Gading Pesantren, Malang, menetapkan 1 Syawal jatuh pada Jum’at, 21 April 2023. Berarti Pesantren Gading Malang (begitu biasa disebut) akan melaksanakan shalat Id bareng dengan kawan-kawan Muhammadiyah.

Apakah Pesantren Gading Muhammadiyah? Pesantren Gading adalah salah satu pesantren dengan ke-NU-an 24 karat.

Saat kuliah S1, saya nyantri di pondok ini. Memang, salah satu kekuatan pondok ini adalah dalam bidang falak. Sejak dulu hingga kini, pesantren ini menggunakan metode hisab untuk menentukan 1 Syawal.

Apakah hanya karena hisab kemudian pesantren ini dicoret dari daftat pesantren NU? Sekedar informasi, salah satu ustadh pesantren Gading yang jago di bidang falak adalah Ust. Ali Murtadho (Allah yarham). Ustadh Ali Murtadho adalah salah satu pendiri dan pengasuh Pesantren Sabilur Rosyad, bersama dengan KH. Marzuki Mustamar. KH Marzuki Mustamar adalah Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur masa khidmat 2018-2023.

Terjadi beberapa kali di mana Pesantren Gading merayakan Lebaran berbeda dengan yang diputuskan pemerintah. Apakah terjadi kegaduhan dengan masyarakat sekitar? Selama saya menjadi santri dulu sampai sekarang tidak pernah mendengar ada peristiwa kegaduhan apapun, baik dengan alasan sosial maupun agama. Semua berjalan baik-baik saja.

Biasanya yang ikut jamaah shalat Id di pesantren ini adalah para santri dan masyarakat sekitar yang mengakuinya. Hasil hisab hanya berlaku bagi internal pesantren. Sekalipun demikian, tak ada keharusan juga bagi setiap santri untuk mengikutinya. Sekalipun sebagian besar santri Gading akan mengikuti keputusan 1 Syawal pesantren daripada pihak lain, termasuk pemerintah.

Apakah mereka tidak tahu hadits Bukhari “shumu li ru’yatihi wa’fthiru li ru’yatihi” (berpuasalah [dengan patokan] melihat hilal dan akhirilah berpuasa [juga dengan patokan] melihat hilal? Mereka pasti tahu, bahkan hafal. Tapi sejauh yang saya tahu, hampir tidak ada perdebatan tentang hisab dan ru’yah di kalangan santri senior yang kalau musyawarah kitab sangat mendalam ilmunya. Bagi mereka, mengikuti pandangan kiai juga adalah jaminan kebenaran dalam beragama. Khas ketawadhu’an santri-santri NU kepada kiainya.

Baca Juga  Budaya Melayu (5): Bahasa, Kekerabatan, dan Sistem Pemerintahan Suku Minangkabau

Saya masih ingat sebuah peristiwa ketika NU memutuskan Idul Fitri berbeda dengan keputusan pemerintah (tahun tepatnya lupa, mungkin 1992 atau 1993). Kabar keputusan NU ini sangat telat tiba di desa saya. Pagi itu sekitar pukul 7 ayah memutuskan untuk shalat Id. Ayah saya adalah seorang kiai NU. Kecuali beberapa keluarga Muhammadiyah, semua orang di desa akhirnya membatalkan puasa dan melaksanakan shalat Idul Fitri saat itu juga, sekalipun sudah agak siang.

Rupanya keputusan ayah ini membuat tokoh Muhammadiyah di desa saya gusar. Dia mengirim anaknya yang seumuran saya untuk mencegah ayah menunaikan shalat Id hari itu. Sebagai kiai NU level kampung, ayah tetap mengikuti keputusan PBNU. Ayah hebat!

Entah mengapa, saat itu saya memutuskan ikut keputusan pemerintah. Saya tetap melanjutkan puasa dan rencananya besok mau shalat Id di masjid Muhammadiyah. Ayah dan ibu membiarkan saya tetap puasa. Tak sepatah kata pun keluar dari lisan ayah dan ibu untuk memengaruhi saya. Bahkan saat maghrib, ibu tetap menyiapkan kolak untuk buka saya, sebagaimana kebiasaannya setiap Ramadhan.

Malam harinya, ibu dengan suara lirih meminta saya untuk membatalkan rencana ikut shalat Id di masjid Muhammadiyah esok hari. Beliau tidak mengeluarkan dalil-dalil agama tentang hisab dan ru’yah. Beliau hanya menjelaskan bahwa saya harus menjaga perasaan ayah.

Oh ibu, betapa engkau jauh lebih mengerti makna Idul Fitri. Sejak peristiwa itu, saya memahami bahwa saat Lebaran adalah saat untuk saling memaafkan, bukan saling sindir dan mengumbar makian.

Bukankah kita sudah terbiasa dengan perbedaan. Mengapa kita tak pernah bisa mengambil pelajaran. Jika saudara-saudara Muhammadiyah telah memutuskan 1 Syawal jatuh di Jum’at, 21 April 2023, mari kita sepenuh hati menghargainya.

Baca Juga  Menangani Covid-19 dengan Nilai-nilai Pancasila

Untuk saudara-sadaraku Muhammadiyah, jika ada yang mengolok dan melarang-larangmu, hatiku juga terluka. Karena kita saudara. Aku mengikuti teladan Gusku, Gus Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qoumas, yang segera bersuara memberi pembelaan saat saudara-saudara Muhammadiyah dilarang menggunakan lapangan untuk shalat Id di Sukabumi dan Pekalongan.

Lebaran adalah saatnya berbagi, bukan memaki; Saatnya bersalaman, bukan bermusuhan; Saatnya saling memaafkan, bukan saling menghamburkan sindiran.

Editor: Soleh

Ahmad Zainul Hamdi
27 posts

About author
Pimpinan Umum Arrahim.id; Direktur Moderate Muslim Institute; Senior Advisor Jaringan GUSDURian Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds