“Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu.”
Ialah Bung Hatta, bapak proklamator Republik Indonesia yang diabadikan oleh musisi legendaris Iwan Fals dalam tembang kenangannya.
Siapa sangka, bahwa Bung Hatta dapat menengahi ketegangan yang terjadi pasca proklamasi yang menandai kemerdekaan bangsa ini.
Sore setelah proklamasi kemerdekaan, Bung Hatta mendengar kabar bahwa kawan-kawan pejuang kemerdekaan di Indonesia Timur, khususnya pemeluk Kristen dan Protestan keberatan dengan isi Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta sendiri adalah rancangan Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 22 Juni 1945 di Jakarta.
Sikap keberatan itu didasari pada tujuh kata yang dijadikan sebagai sila pertama dari Pancasila. Yaitu, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Setelah melakukan diskusi dengan tokoh pejuang Indonesia Timur dan beberapa tokoh Islam. Akhirnya, melalui rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dilaksanakan sehari setelah kemerdekaan, diubahlah sila pertama menjadi, “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Bung Hatta, Si Urang Siak dari Minangkabau
Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Aur Tajungkang, Kota Bukittinggi dari keluarga pedagang yang religius. Mohammad Djamil dan Saleha, orang tua Hatta memberi ia nama Muhammad Athar. Nama Athar berasal dari bahasa Arab yang berarti “harum”. Kelak, ia lebih dikenal dengan Mohammad Hatta.
Kakek Hatta dari pihak ayah, yaitu Abdurrahman adalah seorang ulama pendiri Surau di daerah Batu Hampar.
Namun, Hatta tidak pernah belajar langsung di Surau itu, akibat jarak dari rumahnya yang cukup jauh kesana. Akan tetapi, Hatta di masa kecilnya, belajar agama di Surau Syeikh Mohammad Djamil Djambek, Surau yang terletak di pertengahan sawah dekat rumahnya.
Selain belajar agama di Surau, Hatta juga belajar di Sekolah Melayu Paripat dan mengikuti les bahasa Belanda dengan Tuan Ledeboer. Hatta juga menempuh pendidikan dasarnya di Bukittinggi. Tepatnya di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar khusus untuk anak-anak Belanda di sana.
Pada tahun 1913, Hatta melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang. Kota yang berjarak sekitar 96 KM dari Kota Bukittinggi. Di Padang, Hatta juga belajar agama kepada Haji Abdullah Ahmad.
Pada masa remaja inilah, kesadaran Hatta dalam politik mulai tumbuh. Selama di Padang, ia terlibat aktif dalam pergerakan Jong Sumatranen Bond. Bahkan, Hatta menjabat sebagai bendahara pergerakan kaum muda itu. Ia rajin mendengarkan ceramah-ceramah tokoh politik yang bertandang ke Minangkabau, seperti Abdul Muis dari Sarekat Islam.
Masa-masa kecil Hatta di Sumatera Barat, adalah masa-masa pertumbuhan yang membentuk karakternya. Disana ia belajar agama dan ilmu-ilmu umum.
Meskipun ia berasal dari keluarga yang mampu secara finansial, tapi ia tetap tampil sebagai anak yang sederhana. Karenanya, Hatta dapat disebut sebagai Urang Siak, panggilan untuk anak-anak Minangkabau yang belajar agama.
Selain tumbuh sebagai anak yang dibekali ilmu agama dan pengetahuan umum. Hatta juga tumbuh dengan rasa cinta pada tanah airnya.
Diceritakan pada masa kecilnya, Hatta telah menyaksikan bagaimana pribumi dirampas hak-haknya oleh Belanda. Khususnya, pasca terjadinya pemberontakan anti belasting (pajak) di Kamang, sekitar 19 KM dari Bukittinggi.
Merantau ke Jakarta dan Belanda
Pada pertengahan Juni 1919, Hatta berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya. Ia melanjutkan sekolah di HBS (Hogere Burger School).
Selama di Jakarta, Hatta tinggal bersama pamannya, Ayub. Seorang saudagar Minang yang sukses di Jakarta. Pada masa ini, Hatta belajar prinsip-prinsip ekonomi perdagangan.
Ayub memiliki peran penting dalam kehidupan Hatta. Ia membiayai hidup dan pendidikan Hatta selama di Jakarta. Meskipun dibiayai, Hatta tidak suka berfoya-foya.
Hatta menabungkan uang hasil dagangnya dan uang jajan yang dikirimi orang tuanya dari kampung halaman. Karena itulah, Hatta sangat sering membeli buku. Minat bacanya mulai tumbuh pada saat itu, khususnya dalam bidang ekonomi.
Setelah lulus dari HBS, Hatta mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di Belanda tahun 1921. Ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di Rotterdam School of Commerce dengan dibiayai Mak Etek Ayub.
Disana, Hatta kuliah dengan jurusan ekonomi. Di Belanda pulalah, Hatta memulai perkembangan intelektualnya secara pesat. Ia belajar sosiologi, filsafat, dan juga ekonomi tentunya.
Selama di Belanda, Hatta aktif dalam dunia pergerakan. Pada tahun 1923, ia menjadi bendahara Hindia Poetra yang kelak kita kenal dengan Indische Vereeniging, Perhimpunan Indonesia.
Perhimpunan Indonesia adalah salah satu organisasi pergerakan kemerdekaan yang berani menggunakan kata Indonesia, bukan Hindia Belanda. Sebab, kehadiran organisasi ini memang untuk mengampanyekan kemerdekaan Indonesia di dunia. Selama menjadi pimpinan PI, Hatta bertemu dengan Semaoen, tokoh komunis.
Pergerakan Hatta di PI dan kedekatannya dengan Semaoen membuat Hatta dicurigai oleh pemerintah Belanda. Akhirnya, Hatta ditangkap atas tuduhan subversif. Hatta menolak tuduhan itu dengan pidatonya yang spektakuler dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).
Pidato itu disampaikan pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928. Pidato yang menekankan bahwa Indonesia harus dapat merdeka. Akibat itu juga, ia akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun di Rotterdam.
Pada 1931, Hatta pun mundur dari Perhimpunan Indonesia. Lantas ia mendirikan kelompok Gerakan Merdeka bersama Sutan Sjahrir. Kemudian, kelompok Gerakan Merdeka ini berubah nama menjadi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya.
Bung Hatta Kembali ke Indonesia untuk Menyambut Kemerdekaan
Saat kembali ke Indonesia, Hatta bertemu dengan Soekarno. Ia juga terlibat dalam berbagai aktifitas politik pra kemerdekaan. Bersama Sjahrir temannya sewaktu di Belanda, Hatta sering dipersekusi oleh pemerintah Belanda.
Mereka berdua, pernah diasingkan ke Boven Digul, Papua. Orang-orang menyebutnya sebagai ‘neraka dunia’. Setelah itu, Hatta dipindahkan ke Banda Neira. Pasca kemerdekaanpun, Hatta dan Soekarno juga dibawa oleh Belanda ke Bangka.
Satu hal menarik dari Hatta, bahwa setiap diasingkan ia selalu dekat dengan masyarakat lokal. Bahkan di Banda Neira, Hatta dan Sjahrir mempunyai lima anak angkat. Selain itu, Hatta juga tidak pernah lupa untuk membawa peti bukunya kemana saja. “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas,” begitu ungkap Hatta
Perjuangan Bung Hatta untuk merebut kemerdekaan memperkuat wawasan nasionalismenya. Pengalaman kuliah di luar negeri, diasingkan ke daerah-daerah timur, dan kedekatannya dengan masyarakat lokal membuat Hatta dapat melihat Indonesia dari beragam perspektif.
Hatta yakin bahwa, persatuan nasional dapat dibentuk dengan kerja sama lintas suku, ras, dan agama. Tidak ada satu golongan yang boleh mendominasi golongan lain. Hal ini pulalah yang membuat Hatta akhirnya bersebarangan dengan Soekarno.
Pecahnya Dwitunggal adalah karena Hatta tidak sepakat dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno yang dianggapnya akan melemahkan nasionalisme.
Hatta adalah bapak Bangsa, ia seorang ekonom, filsuf, nasionalis, dan religius. Kombinasi sikap-sikap demikianlah yang membuat Hatta jujur, lugu, dan bijaksana. Ia dikenang sepanjang masa (Wicaksana, 2022).
Rujukan
Wicaksana, A. W. (2022). Mohammad Hatta; Hidup Jujur dan Sederhana untuk Indonesia. Jakarta: C-Klik Media.
Editor: Soleh