Miyamoto Musashi adalah salah satu samurai terhebat dalam sejarah Jepang pramodern. Kehebatannya dalam seni bela diri pedang membuat kisah hidupnya dipenuhi mitos dan legenda.
Keberhasilannya dalam menyelamatkan diri dalam perang puputan antara Kekaisaran Jepang Timur (Tokugawa Ieyasu) versus Kekaisaran Jepang Barat (Toyotomi Hideyori) pada 1600 membuat namanya semakin diakui di kalangan para samurai. Apalagi, keputusannya untuk menjadi shugyosha, samurai pengembara untuk mengasah keterampilan seni bela diri pedang dan terlibat dalam duel-duel mematikan membuat sosoknya seperti kelebatan bayangan dewa.Â
Seperti pengakuannya sendiri, mungkin dia memang memiliki bakat alami untuk menjadi seorang samurai. Tidak ada satu pun pedang samurai lain yang bisa mengambil nyawanya. Pertarungan pertamanya terjadi saat dia baru berusia 13 tahun dengan hasil tewasnya seorang samurai senior yang menjadi lawannya. Duel terakhir dan terpentingnya adalah melawan Sasaki Kojiro.
Saat itu, Kojiro adalah samurai terbesar di Jepang. Dia dikenal dengan teknik pedang tsubame gaeshi, yang bisa diartikan “memutar pedang dengan kecepatan burung melayang-layang”.
Pertarungan antara Musashi melawan Kojiro terjadi pada hari Jumat, 13 April 1612, sekitar pukul 10 pagi, di sebuah pulau kecil nan sepi yang bernama Funajima. Dalam pertarungan itu, pedang Musashi berhasil meremukkan rusuk kiri Kojiro. Kojiro tersungkur dengan darah yang keluar dari hidung dan mulutnya. Kojiro tewas.
Ketika semua samurai telah dikalahkan, inilah saatnya Musashi melambungkan namanya ke puncak ketenaran. Ketika samurai terbesar telah disingkirkan, inilah momentum untuknya meneguhkan kekuasaan. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Ada kesadaran yang tiba-tiba hadir. Ketika kekuatan di luar dirinya telah ditundukkan, dia menyadari ada kekuatan lebih besar yang selama ini terbiarkan, yaitu diri sendiri.
Dua tahun menjelang kematiannya pada 19 Mei 1645, dia menulis otobiografinya. Di dalamnya banyak ajaran berharga. Salah satu kuotnya yang sangat terkenal adalah, “Tidak ada apa pun di luar dirimu yang bisa membuatmu lebih baik, lebih kuat, lebih kaya, lebih cepat, atau lebih pintar. Semuanya ada di dalam. Jangan mencari apa pun di luar dirimu.”
Membaca Musashi memberi kesempatan bagi kita untuk merenungkan diri sendiri. Merenungkan tentang apa yang pada akhirnya kita cari. Jika yang kita kejar adalah kekayaan, sebanyak apa kekayaan akan membahagiakan kita? Jika yang kita cari adalah pangkat-kekuasaan, sebesar apa kekuasaan akan menenangkan kita? Mari kita teruskan pertanyaan ini untuk berbagai hal yang sedang kita kejar.
Pada akhirnya kita akan menemukan bahwa segala hal yang kita kejar untuk “memuasi” diri akan bermuara di dalam diri kita. Bukan kekayaan itu sendiri yang membahagiakan, tapi bagaimana kita memaknai dan menggunakannya. Kebaikan tidak berada pada kekuasaan itu sendiri, tapi pada cara kita memanfaatkannya.
Harta dan pangkat bisa menjadi malapetaka jika dipenuhi dengan kerakusan, muslihat, dan egoisme. Bahkan, hampir seluruh perang yang memusnahkan dalam sejarah peradaban manusia bermula dari kerakusan akan harta dan kekuasaan. Tapi, di tangan manusia yang telah menemukan dirinya, harta dan kekuasaan bisa menjadi sarana untuk mencapai kebaikan dan kemuliaan.
Syams Tabrizi, seorang sufi pengembara dari Iran, guru spiritual Jalaluddin al-Rumi, suatu kali pernah menyatakan, “Ketika seorang sufi masuk ke kedai minuman, kedai minuman itu ruang ibadahnya. Tapi ketika seorang pemabuk masuk ke ruang ibadahnya, ruang itu menjadi kedai minumannya.”
Pada akhirnya, semuanya memusat pada diri. Kesejatian tidak berada di luar sana, tapi di dalam sini. Sang Sufi al-Rumi suatu kali menulis, “Jangan melihat ke luar. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan carilah itu.”
Semua yang ada di luar diri kita adalah ketidaksempurnaan. Sebanyak apapun kita menumpuknya, yang kita punyai hanyalah ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Sementara, seluruh pencarian sesungguhnya adalah perwujudan kodrat manusia pada kesempurnaan, pendakian pada sang Maha Sempurna.
Kita diperkenankan memiliki apapun yang diciptakan Allah. Bahkan kita ditantang-Nya untuk menembus angkasa. Tapi semua itu hanya akan membawa kebaikan jika kita telah menemukan diri sendiri. Mengapa? Karena “man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu” (Siapa yang menemukan dirinya, sungguh dia menemukan Tuhannya).
Editor: Soleh