Tasawuf

Seni Memaknai Patah Hati ala Rumi

4 Mins read

Maulana Jalaluddin Rumi, seorang seorang sufi besar abad ke-13 dan juga seorang darwis. Namanya sangat terkenal bukan hanya dikalangan umat muslim, namun juga karya-karyanya sepanjang zaman berpengaruh di dunia Barat. Hal itu disebabkan syair Rumi berisi pencerahan jiwa dan sangat relevan bagi kehidupan manusia modern yang kering akan nilai spiritual seperti sekarang ini.

Syair-syairnya diciptakan tidak hanya sekedar menyampaikan gagasan, ide, serta imajinasi, melainkan juga sebagai penjelasan dan penafsiran makna al-Quran yang dengannya dapat menginspirasi dan memantik karakter Islam sejati bagi para pembacanya. Dalam Matsnawinya, Rumi juga menyentuh urusan qalbu, seperti tentang patah hati. Rumi berkata, “Biarkan hatimu patah, agar ia terbuka.”

Spirit syair Rumi di atas terinspirasi dari ayat 156 surat al-Baqarah. Meskipun hanya segelintir bait, namun didalamnya mengandung makna yang dalam serta dapat mengajak tadabbur dan membangkitkan hati yang telah patah. Sebuah tawaran kepada mereka yang sedang gundah gulana ditinggalkan kekasihnya ataupun yang tengah dirundung kesedihan dalam menghadapi musibah.

Rumi: Biarkan Hatimu Patah, Agar Ia Terbuka

Dalam al-Quran Allah Swt mengingatkan kepada hambanya, “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan, Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“. (QS. al-Baqarah [2]: 156). Makna sesungguhnya ayat ini, tentang awal perjalanan hidup manusia sampai nanti kembali lagi kepada sumbernya atau Allah Swt, yang orang Jawa menyebutnya dengan ‘sangkan paraning dumadi’.

Haidar Bagir dalam kajian Tasawuf Nur al-Wala menjelaskan bahwa sejatinya perjalanan manusia adalah Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Ketika di alam dunia manusia dilepas, Allah Swt memberikan manusia karsa bebas, dengan karsa bebas ini ia dapat memilih: menempuh jalan yang benar menuju Sumbernya atau sebaliknya.

Baca Juga  Untuk Kaum Atheis, Inilah Dalil Rasional Adanya Tuhan!

Tetapi Allah dalam banyak kesempatan juga akan memberikan pengajaran kepada manusia agar selamat kembali kepada hakikat kesadarannya, seperti melalui musibah dan derita ini, namun bagi mereka yang abai dan hanya menuruti nafsunya akan jatuh terpeleset.

Jalaluddin Rumi dalam syairnya yang lain lebih lanjut menarasikan:

Engkau menginginkan air dalam kendi tanah liat,

tetapi ketika engkau memecahkannya,

air itu akan kembali bergabung dengan danau dari mana ia berasal.

Ego manusia mencoba untuk mencegah pertemuan itu,

dan selalu menolak saran apapun tentang perlunya pertemuan.

***

Rumi meminta kita biar saja hati kita patah. Fakhruddin Faiz dalam kajian Filsafat seri Patah Hati menjelaskan syair Rumi tersebut, ibarat seseorang memerlukan air agar bisa memuaskan dahaga.

Sebagaimana manusia seringkali hanya memperhatikan bagaimana ia harus terus bisa memenuhi hasrat, ambisi, dan nafsunya. Namun jika itu tidak terpenuhi, hatinya akan patah. Pecah itu seperti air dalam wadah kendi yang jatuh memancar dan lambat laun akan kembali ke sumber asalnya.

Ketika hati patah, saat itu sejatinya hati telah terbuka untuk menuju kepada yang hakiki. Sedangkan ego matian-matian berusaha tetap untuk menuruti sesuai keinginan manusia dan supaya hati tadi tidak berjalan menuju kepada sang Empunya. Misalnya, kala seorang patah hati berpisah dengan yang ia cintai, energi yang dilakukannya paling besar adalah untuk kembali kepada pasangannya, ia lupa sebenarnya ada proses yang lebih ideal, yaitu kembali kepada Allah.

Sayyid Quthb menambahkan bahwa yang terpenting dari pelajaran musibah, derita, atau luka hati adalah kembalinya kita mengingat Allah, ketika menghadapi segala keraguan dan kegoncangan, serta berusaha mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukkan semata kepada Allah.

Baca Juga  Baca Doa Ini Agar Harta Tidak Jadi Fitnah Dunia

Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah, tidak daya kecuali daya Allah, dan tidak keinginan kecuali keinginan mengabdi kepada Allah. Ketika itu, akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat yang menjadi landasan tegaknya pandangan (tashawwur) yang benar. (Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Juz I, h. 261)

Rumi Menjadi Seorang Sufi: Berawal dari Patah Hati dan Kerinduan

Pertemuan Maulana Jalaluddin Rumi dengan gurunya sekaligus sahabatnya, Syams at-Tabriz bermula ketika Rumi sedang asyik mengajar muridnya di pagi hari seperti biasanya. Kemudian datanglah Syams at-Tabrizi yang lantas bertanya pada Rumi tentang apa yang dimaksud dengan riyadah dan ilmu. Mendengar pertanyaan dari Tabriz yang sebelumnya tidak ia kenal malah membuat Rumi terkesima.

Pertemuan yang menggetarkan itu memicu banyak keingintahuan Rumi, sampai akhirnya ia memutuskan untuk berguru dengan Syams at-Tabrizi. Tabriz mengajar dan membimbing Rumi dengan ilmu yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Ia merasakan hakikat cinta dan ikatan yang kuat dengan gurunya.

Hanya saja, Syams at-Tabriz pernah pergi meninggalkan Rumi. Bak remaja yang ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar patah hati. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Alasan Tabrizi pergi demi kematangan spiritual Rumi yakni melalui perpisahan. Saat itu Rumi berusia 40 tahun dan dianggap sebagai simbol kematangan spiritual, sebab Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasulullah pada usia 40 tahun. Kematangan artinya persatuan dengan Sang Kekasih. (Diwan Syams Tabrizi, 2018).

Kepergian sahabat yang dicintainya ini juga memicu adanya majelis sema’, majelis yang berisi zikir dengan musik dan tarian. Rumi memakai pakaian berkabung dalam majelis ini sebagai simbol kesedihan. Namun dari kisah patah hatinya ini membawa kesadaran Rumi bahwa hanya Tuhan yang dapat memberinya pengetahuan dan persahabatan sejati, yang bisa mengembalikan kedamaian di dalam hatinya.

Baca Juga  Muhammad Ali: Mengapa Manusia Beragama?

Seni Mengatasi Patah Hati: dari Derita Menuju Cinta Ilahi

Seringkali ketika datangnya musibah atau kehilangan yang terkasih, seseorang mengajukan pertanyaan “mengapa?” secara berulang atas kejadian yang terjadi dan sayangnya tidak ada jawaban yang bisa mengembalikan apapun yang telah terjadi. Menjadi minfulness akan membawa pikiran kita benar-benar ada pada masa sekarang dan tidak melulu menoleh kebelakang apalagi mengingat sedihnya ditinggal orang tersayang.

Selain dengan berefleksi atau tadabbur, bahwa sebagai manusia perlu kita ubah persepsi dan tujuan kita untuk mencintai sesuatu hal yang ada di dunia fana. Kita pahami bahwa sesuatu hal yang bersifat duniawi bersifat tidak abadi, cinta yang berlebihan kepada sosok materi malah akan membuat kita lalai pada hidup, dan terjebak pada lingkaran palsu tentang kebahagiaan, serta luka hati yang berkepanjangan. Itulah mengapa mencintai duniawi akan berujung patah hati, karena memang tidak bersifat abadi.

Jika manusia menginginkan bentuk cinta abadi, mari mencoba untuk merubah pandangan dan tujuan tentang cinta. Mari menuju cinta yang murni tanpa patah hati dengan pendekatan personal dan spiritual.

Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa tujuan utama latihan spiritual adalah untuk memungkinkan kita mengatasi keberatan yang ditujukan oleh ego kita, sehingga dengan mudah kita dapat melanjutkan perjalanan kita ke Samudra Persatuan.

Editor: Soleh

Avatar
12 posts

About author
Khidmah di Yayasan Taftazaniyah
Articles
Related posts
Tasawuf

Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

4 Mins read
Membaca sejarah tasawuf awal akan membawa kita pada beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana sejarah tasawuf pada periode awal itu muncul, bagaimana corak dari…
Tasawuf

Rahasia Hidup Zuhud Imam Hasan Al-Bashri

2 Mins read
Salah satu kajian yang menarik dari sosok Hasan Al-Bashri adalah tentang “Zuhud”. Membahas zuhud adalah tentang bagaimana cara beberapa sufi hidup sederhana…
Tasawuf

Konsep Syukur Menurut Abu Hasan Asy-Syadzili

5 Mins read
Abu al-Hasan Asy-Syadzili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *