Islam, acapkali menjadi “sasaran tembak” dari gerakan puritanisme. Sebagai sebuah agama yang lahir belakangan, Islam tidak dapat menghindarkan diri dari ideologi puritan terlebih ketika bersinggungan dengan lokalitas budaya. Islam harus diuji – sebagaimana agama sebelumnya – kesintasannya dalam menghadapi gerakan tersebut sekaligus daya resiliensinya. Jika kita tilik secara mendalam, puritanisme tidak hanya menggejala pada Islam. Jauh sebelum itu, puritanisme di ranah teologi merupakan sebuah fenomena yang lazim dalam sejarah keagamaan.
Fenomena tersebut selalu menyeruak ke permukaan dalam formulasi yang beragam. Dalam konteks ini, tidak jarang puritanisme berkelindan dengan pembaharuan (tajdīd) dan purifikasi. Begitupun sebaliknya, term ini acapkali diidentikkan dengan kejumudan dan kekakuan dalam beragama.
Di dunia Islam, realitas semacam ini dapat kita jumpai dari perseteruan Aḥmad Ibn Ḥanbal (w. 241 H/856 M) dengan kelompok rasionalis (Mu’tazilah) pada abad ke-3 Hijriah, Ibn Taymīyah (w. 728 H/1327 M) dengan Ash‘arīyah, fuqahā’, dan Sufi, hingga Muḥammad Ibn ‘Abd al Wahhāb (w. 1206 H/1791 M) dalam skala luas dengan para teolog, ahli fiqh, bahkan penguasa politik.
Puritanisme dan Genealoginya
Sejauh ini, penyebutan kelompok puritan acapkali menggunakan term yang berbeda-beda. Di antaranya ada yang menyebut mereka sebagai kelompok fundamentalis, ekstremis, jihadis, ortodoks, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetapi sangat disayangkan penamaan tersebut lebih sering berkonotasi negatif, kecuali beberapa term lain seperti modernis atau reformis.
Pemaknaan terhadap term “puritan” diungkapkan dengan baik oleh Joel R. Breeke dan Randall J. Pederson. Dua tokoh ini – menurut Arrazy Hasyim – mengembalikan makna akar kata puritan (pure) dari bahasa Yunani, yaitu katharos. Dalam bahasa Latin “orang yang puritan” disebut dengan catharus atau cathari. Dalam hal ini, istilah puritan diidentikkan oleh dua tokoh ini kepada sesuatu yang berkonotasi negatif. Ini adalah sebutan yang biasa dialamatkan kepada pelaku penyimpangan agama pada abad pertengahan Masehi di Eropa.
Jika kita telisik lebih jauh, sebenarnya gerakan puritan hampir pasti menggejala di setiap agama, tak terkecuali Islam. Kurzman dan Browers, misalnya, menilai bahwa gerakan purifikasi yang dilakukan di Protestan memang sangat identik dengan gerakan Wahabi. Dalam menolak sesuatu yang dianggap menyimpang, seperti anti menghias masjid dan bangunan di atas kubur, baik Protestan maupun Wahabi pada dasarnya mempunyai kecenderungan yang sama. Oleh karena itu, Kurzman dan Browers tidak keberatan jika persamaan antara dua gerakan tersebut disebut sebagai puritan. Tetapi, perbedaan keduanya adalah dalam merealisasikan pembaharuan tersebut.
Dengan demikian, puritan demikian kata Arrazy Hasyim, memang lebih tepat digunakan karena sering diidentikkan dengan semangat purifikasi, tekstualitas, dan romantisisme ke masa awal dari kemunculan suatu ajaran. Ungkapan ini juga tidak selalu berkonotasi negatif, karena Salafi—sebagai kelompok puritan—di beberapa sisi mempunyai hal-hal yang bersifat positif. Dalam kajian ini, indikator-indikator tersebut sangat sesuai dengan realita Salafi, baik di ranah teologis maupun hukum.
Genealogi puritanisme dalam Islam sebenarnya bisa kita lihat pada penolakan Aḥmad Ibn Ḥanbal terhadap segala bentuk argumentasi berdasarkan ra’y (rasio). Pendiriannya ini berimbas kepada “serangannya” terhadap sesama ahli Hadis yang cenderung kepada ra’y sebagaimana tampak dari perselisihannya dengan al-Ḥusayn al-Karābīsī (w. 248 H/863 M). Perselisihan ini disebabkan tema khalqīyah (penciptaan) pembacaan (talaffuẓ) terhadap al-Qur’an. Tokoh ini merupakan rekan Aḥmad Ibn Ḥanbal saat belajar kepada Muḥammad Ibn Idrīs al-Shāfi‘ī (w. 204 H/820 M).
Resistensi Ibn Hanbal terhadap mazhab resmi pemerintahan kala itu (Mu’tazilah) membuat dirinya dan kelompoknya harus menerima tekanan dan intimidasi dari rezim al-Ma’mun kala itu. Kebijakan mihnah yang diarusutamakan al-Ma’mun setidak-tidaknya membuat Hanabilah harus survive demi mempertahankan ortodoksi yang diembannya.
Lebih dari itu, dalam sejarah kekhalifahan ditemukan fakta bahwa satu-satunya kelompok yang menyintaskan tradisi teks dan berdikari secara independen dalam kasus mihnah adalah Ahl al-Hadith (Ahmad bin Hanbal), meski dirinya diserang berbagai tindakan represif dari penguasa, bahkan dikriminalisasi.
Secara micro history sebagaimana diistilahkan Nimrod Hurvitz yang disebut zooming in motion of a camera, dapat dikatakan bahwa Ahmad bin Hanbal sepanjang kehidupan intelektualnya paling tidak kewafatan Al-Shafi’i (w. 204 H) merupakan figur yang paling konsisten dalam menjaga ortodoksi.
Tindakan oposisionalnya terhadap kebijakan mihnah al-Ma’mun-al-Wathiq berimplikasi terhadap perkembangan paham keagamaan Sunnisme, bahkan tidak heran apabila ada pendapat yang mengatakan, Hurvitz misalnya, bahwa keberhasilan Ahmad bin Hanbal dalam menjaga Islam melalui resistensi ortodoksinya terhadap mihnah pada masa Kekhalifahan Abbasiyah disepadankan dengan Khalifah Abu Bakar dalam menumpas kaum murtad sehingga melahirkan kebijakan Perang Riddah.
Pasang Surut Gerakan Puritanisme
Puritanisme di kalangan Muslim pasca Ibn Taimiyah, menurut Arrazy Hasyim, mengalami pasang surut dan kemunduran sampai datang Muḥammad Ibn ‘Abd al-Wahhāb pada abad ke-13 H. Dalam hal ini, pasang surut ajaran dan pergerakan puritan dalam mengembangkan teologi tidak hanya terjadi di kalangan Muslim, akan tetapi di kalangan Kristiani, gejala serupa terjadi di Eropa, khususnya. Lebih tepatnya, pergolakan puritan terjadi sebelum mendapat tempat terhormat di kerajaan Inggris.
Dalam konteks ini, Thomas Cranmer (w. 1556 M) dan 269 aktivis puritan yang sepaham dengannya – sebagaimana dikutip Arrazy Hasyim – menjadi korban dari ketidakberpihakan penguasa. Peristiwa ini terjadi ketika Ratu Mary Tudor (1553-1558 M) mengembalikan pengaruh kepausan Katolik Roma dengan mengorbankan nyawa para penentang, terutama kelompok puritan. Meskipun Thomas Cranmer belum tentu dapat disejajarkan dengan Ibn Taymīyah, tetapi kreativitasnya dalam menulis, mengembangkan semangat teologi Luther dan Calvin, dan pengorbanan nyawanya hampir sama dengan Ibn Taimiyah di Damaskus.
Oleh karena itu, dalam pandangan Mohammed Ali Adraoui seorang penulis Prancis menyebut kebangkitan Salafi setelahnya sebagai les Salafis Post Chrétiens (Salafi Post-Kristen). Roman Loimeier menilai pergerakan Salafi dengan Kristen-Muslim (Muslim Christian) karena sikap mereka yang “menyerang” sesama Muslim.
Dalam menanggapi realita tersebut, Graham E. Fuller – seperti yang dijelaskan Arrazy Hasyim – melihat sikap puritan Calvin paralel dengan pandangan Wahabiyah di Saudi Arabia pada abad ketujuh belas Masehi. Graham E. Fuller lebih yakin lagi ketika menyoroti kesamaan ide Calvin yang ingin membangun City of God atau Kingdom of God on Earth di Geneva. Tidak hanya itu, Calvin juga mengemukakan bahwa Bible adalah sebagai sumber ajaran dan hukum semua komunitas. Sikap ini dinilai oleh Graham E. Fuller serupa dengan ajaran Wahabiyah yang mendorong al-Qur’an sebagai sumber terhadap semua ajaran dan hukum yang diwujudkan dalam sebuah kota atau negara.
Dalam konteks ini, Wahabiyah menurut Arrazy Hasyim lebih berhasil merealisasikan sistem tersebut. Ini terbukti dari keberadaan polisi moral atau muṭawwa‘ yang terkadang disebut shurṭah shar‘īyah (polisi shari‘ah). Meskipun pandangan Graham E. Fuller ini tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks yang sebenarnya, fenomena puritan terbukti ada dalam agama lain selain Islam.
Pengaruh dari kebangkitan tersebut terlihat jelas dengan penyebaran karya-karya Ibn Taimiyah dan Muḥammad Ibn ‘Abd al-Wahhāb, sehingga dapat dibaca dan diserap secara terbuka di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Fakta lain dari perkembangan ini adalah kemunculan gerakan Salafi sebagai formulasi baru Wahābīyah.
Gerakan purifikasi tersebut bertahan dan dilanjutkan oleh tokoh tokoh yang belakangan disebut sebagai Ḥanabilah. Mereka tersebar kepada dua wilayah geografis, Baghdad dan Khurasan. Genealogi Ḥanābilah yang tersebar di dua wilayah tersebut dipertemukan kembali oleh Ibn al-Jawzī (508-597 H/1115/1201 M) di Baghdad, dan setelah itu oleh Ibn Qudāmah (541-620 H/1146-1223 M) di Damaskus. Genealogi Ibn al-Jawzī menandakan akhir dari kegemilangan Ḥanābilah di Baghdad dan Khurasan.
Adapun Ibn Qudamah sangat berjasa dalam mentransmisikan ajaran Ḥanābilah dari Baghdad ke Damaskus. Di tangan Ibn Qudāmah, ajaran Ḥanābilah menjadi mapan secara fiqh. Adapun dalam teologi, Madrasah Ḥanābilah baru berhasil memunculkan tokoh-tokoh intelektual yang berpengaruh setelah kematian Ibn Qudamah. Ini terlihat dari ketokohan Ibn Taimiyah (w. 728 H/1327 M) dan Ibn Qayyim al-Jawzīyah (w. 751 H/1350 M).
Ajaran Ḥanabilah menjadi sebuah aliran teologi yang mandiri dan mapan dengan teori dan rasionalisasi yang kuat setelah kemunculan dua tokoh ini. Lebih khusus, George Makdisi menyebut Ibn Taimiyah sebagai seorang yang unik karena selalu berada di luar pemahaman Islam mainstream. Namun sayang sekali, ia dan pengikutnya tidak mendapat dukungan secara politik sebagaimana Aḥmad Ibn Ḥanbal.
Salafi sebagai Puritan
Dalam buku Teologi Muslim Puritan, Salafi muncul disebabkan adanya romantisisme masa silam. Romantisisme yang dimaksud adalah semangat kembali kepada kejayaan masa lalu, terutama tiga abad di permulaan Islam. Tiga abad ini biasa disebut dengan thalāthah al-qurūn al-awā’il. Orang-orang yang hidup di zaman tersebut biasa disebut dengan al-salaf al-ṣāliḥ, terutama jika mereka dianggap sebagai imam panutan.
Di dalam buku ini juga, Arrazy Hasyim mengemukakan secara lugas bahwa koherensi salafi dengan Wahabi terletak pada semangat purifikasi yang sama. Menurutnya, kesamaan ini bukanlah sesuatu yang kebetulan, karena Salafi memang mempunyai kronologis sejarah yang berkaitan erat dengan Wahabi. Namun, tidak semua Salafi senang disebut sebagai Wahabi. Dalam realitas modern saat ini, tidak jauh berbeda dengan Wahabiyah yang dianggap meresahkan oleh sebagian besar kalangan Muslim Indonesia, Salafi pun demikian. Bahkan, dianggap mengancam keberlangsungan toleransi, baik sesama Muslim apalagi terhadap non-Muslim.
Secara umum, Salafi – dalam hemat Arrazy Hasyim – memiliki dua karakter. Pertama, kalangan yang cenderung puritan pada tataran pemikiran murni, dan kedua kalangan yang cenderung puritan secara pemikiran dan sekaligus tindakan. Kalangan pertama dalam realitasnya lebih banyak dari pada kedua. Kalangan pertama lebih agresif dalam menyebarkan pemahaman mereka melalui cara-cara positif, seperti penyebaran buku, artikel, dan media massa, sehingga mereka memiliki situs internet percetakan dan stasiun radio dan televisi yang mandiri. Sikap puritan mereka melahirkan militansi yang positif, sehingga memunculkan kreativitas yang luar biasa.
Namun kalangan kedua lebih progresif dengan membuat aksi-aksi teror di tengah masyarakat yang dianggap berbeda pemahaman dengan mereka. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa keberadaan mereka seakan menjadi benalu bagi Muslim mayoritas. Sikap militan mereka—terutama kelompok pertama— tidak terlepas dari pengaruh dan sokongan beberapa organisasi keagamaan, bahkan pemerintah Saudi Arabia.
Secara otomatis, kondisi ini sangat menguntungkan dalam penyebaran ajaran Salafi secara lebih terbuka. Hal tersebut disebabkan dua kota suci langsung diatur oleh ulama-ulama Salafi yang mendapat dukungan dari pemerintah. Oleh karena itu, pasca abad ke-20 tidak mengherankan apabila ajaran Ibn Taimiyah atau pun Salafi menyebar jauh lebih cepat daripada Ash‘arīyah dan Shī‘ah.
Pergerakan Salafi di berbagai belahan dunia, baik Barat maupun Timur, bukanlah tanpa agenda. Ia disokong oleh apa yang disebut mereka sebagai manhaj. Belakangan, istilah ini menjadi buah bibir yang sering didengar dari kajian-kajian Salafi ataupun kata utama yang paling banyak ditemukan dalam karya-karya mereka. Besar kemungkinan digunakan sebagai penghindar dari kata mazhab yang diidentikkan dengan taqlīd.
Dalam konteks ini, kata manhaj lebih identik dengan sistem berpikir atau kaidah yang digunakan oleh Salafi. Meskipun penyusunannya terlambat dibandingkan aliran teologi lain, seperti Mu‘tazilah, Ash‘arīyah, dan Shī‘ah, rumusan manhaj Salafi secara rapi, komprehensif, dan sistematis mulai diseriusi oleh tokoh-tokoh Salafi kontemporer. Selain itu, setiap penulis Salafi mempunyai rumusan yang secara ungkapan berbedadengan yang lain, tetapi memiliki kesamaan dalam banyak hal.
Adapun manhaj Salafi dalam persoalan akidah, sebagaimana dikemukakan Arrazy Hasyim, dirumuskan oleh ‘Abd al-Salām Ibn Sālim al-Suhaymī menjadi enam kaidah. Pertama, sumber akidah hanyalah Kitab dan Sunnah dengan pemahaman berdasarkan pandangan Salaf yang shalih. Kedua, berargumentasi dengan menggunakan Sunnah, baik mutawātir (diriwayatkan banyak rawi atau lebih dari sepuluh orang) maupun āḥād (diriwayatkan dengan satu sampai sembilan rawi). Ketiga, menerima apa pun yang telah diwahyukan, tidak menolaknya dengan rasio, dan tidak cenderung kepada pembahasan persoalan ghaib yang di luar wilayah kemampuan rasio. Keempat, tidak cenderung kepada pembahasan ahli kalam dan filsafat. Kelima, menolak ta’wīl yang batil. Keenam, mengompilasi atau mengompromikan antara teks-teks keagamaan dalam satu persoalan.
Catatan Kritis
Fokus buku ini adalah menelusuri genealogi teologi puritan. Penelusuran ini akan mengeksplorasi sisi historis perkembangan suatu doktrin teologi. Dengan itu akan disadari bahwa teologi puritan bukanlah fenomena baru dalam sejarah Islam. Selain itu, puritan dapat juga dilihat dari sisi lain yang membuat mereka eksis, yaitu politisasi isu-isu teologi untuk kepentingan kekuasaan dan popularitas. Aspek lain yang akan terungkap dari kajian ini adalah jalur penyebaran teologi puritan melalui pendidikan. Pendidikan ternyata menjadi mediator utama dalam membumikan teologi-teologi impor, termasuk puritanisme Salafi.
Sebagaimana pengantarnya, buku ini memperlihatkan kepada kita akan semangat romantisisme untuk mengembalikan kejayaan masa lampau. Inilah alasan mengapa sering terjadi “Arabisasi” ajaran keagamaan dalam tradisi lokal yang sudah mengakar. Aspek ini tumbuh dari pendekatan terhadap literatur yang dilakukan dengan cara tekstual.
Buku ini akan memaparkan tentang geneaologi Salafi dan ajaran teologis mereka, termasuk pelacakan genealogi Salafi yang telah berakar jauh sebelum Ibn Taimiyah. Penelusuran terhadap genealogi pra Ibn Taimiyah sangat penting dalam memahami sikap puritan Salafī pada masa kontemporer. Sedangkan, penelusuran genealogi Salafi akan terlihat dari Baghdad, dengan ketokohan Aḥmad Ibn Ḥanbal. Setelah itu, genealogi ini berlanjut ke Khurasan sampai akhirnya kembali menyatu di Damaskus. Jaringan ini berlanjut setelah meredup dengan kemunculan genealogi Saudi Arabia, lalu menyebar ke seluruh dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Semua itu ditelusuri dari abad ketiga Hijriah sebagai awal kemunculan Salafi, sampai masa kontemporer.
Yang menarik dari buku ini adalah bagaimana seorang Arrazy Hasyim berhasil menguak bagaimana genealogi ajaran Salafi, baik secara teologis, sosiologis maupun politis dengan mengajukan dua pertanyaan utama yang amat mengesankan, “Bagaimanakah ekspansi ajaran Salafi berdasarkan genealogi mereka yang terhubung kepada generasi Salaf? Dan “Apakah ajaran teologi yang menjadi dasar dari puritanisme Salafi”. Di lain itu, argumen yang hendak ia kembangkan adalah bahwa teologi puritan bukanlah fenomena baru dalam sejarah Islam sekaligus eksistensi gerakan puritanisme terlihat dari politisasi isu-isu teologi untuk kepentingan kekuasaan dan popularitas.
Kesimpulan dari buku ini adalah salafi sebagai aliran teologi yang puritan, terbukti memiliki geneologi yang terhubung kepada generasi Salaf, terutama kepada sosok Aḥmad bin Ḥanbal. Puritanisme Salafi bukanlah tanpa sebab dan latar belakang. Gerakan pemurnian mereka dilatarbelakangi penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa dengan mazhab “resmi” yang berseberangan.
Tanpa mengurangi keaktualitasan buku ini, buku ini, dalam batas tertentu, tidak mengulas lebih dalam mengenai peran ormas Islam mainstream Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, dalam mengkonter gerakan puritanisme hari ini.
Akan tetapi tidak mengherankan memang buku ini fokus untuk mengulas genealogi ajaran salafi baik dari sisi teologis maupun politis sehingga rekomendasi yang hendak dimunculkan oleh Arrazy Hasyim adalah sangat disarankan agar kelompok mainstream seperti Muhammadiyah dan NU membuat pergerakan yang mampu mengimbangi keagresifan persebaran Salafi. Apabila tidak dilakukan, maka besar kemungkinan peran mereka akan tergantikan di masa mendatang dengan gerakan Salafi yang massif. Tanggapan kelompok mayoritas perlu dilakukan dengan dukungan dari penguasa, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Daftar Buku
Judul Buku : Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi
Penulis : Dr. Arrazy Hasyim, MA.
Penerbit : Yayasan Wakaf Darus-Sunnah
Tahun Terbit : 2019
Tebal : 322 halaman
ISBN : 978-602-74547-4-3