Fikih

Mengapa Miqat di Bandara Jeddah Diperbolehkan?

4 Mins read

Miqat makani adalah batas yang menunjukan tempat dimulainya seluruh rangkaian ibadah haji yang dimulai dengan memakai pakaian ihram. Dulu miqat jamaah haji Indonesia adalah di Ya Lamlam. Tetapi kini tidak lagi lagi berangkat menggunakan kapal laut, tetapi menggunakan pesawat yang terbang dari Jakarta ke King Abdul Aziz atau ke Madinah. Pertanyaannya di mana miqatnya? Bolehkah Bandara Jeddah sebagai miqat?

Dalam Tuntunan Manasik Haji (Pimpinan Pusat Muhammadiyah: 2015, 175-179) dijelaskan bahwa, batas-batas tempat miqat ditetapkan oleh Nabi saw hanya mewakili tiga arah. Yaitu: (a) batas utara untuk penduduk Madinah dan Syam dengan miqat Zulhulaifah dan Juhfah, (b) batas timur untuk penduduk Najed adalah Qarnul-Manazil, dan (c) batas selatan untuk penduduk Yaman adalah Yalamlam. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibn ‘Abbas r.a.

Dari Ibn ‘Abbas r.a. [diriwayatkan bahwa] ia berkata:

“Sesungguhnya Nabi saw telah menetapkan batas (miqat makani) untuk penduduk Madinah adalah Zulhulaifah, untuk penduduk Syam adalah Juhfah, untuk penduduk Najed adalah Qarnul Manazil, dan untuk penduduk Yaman adalah Yalamlam. Semua berlaku untuk penduduk tempat itu dan orang-orang yang melewatinya yang berniat melaksanakan haji dan umrah. Barangsiapa yang berada lebih dekat dari tempat-tempat itu, maka miqatnya adalah dari tempat darimana dia datang. Hingga penduduk Mekah (miqatnya) dari Mekah.” [H.R. al-Bukhari dan Muslim].

Bagi jemaah haji yang tidak melewati salah satunya, seperti pada zaman sekarang, harus memposisikan searah dan terdekat dari batas yang ada. Usaha penyejajaran ini adalah masalah ijtihad yang dilakukan oleh ‘Umar Ibn al-Khatab r.a. ketika menetapkan Zatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Irak yang menyearahjajarkan dengan Qarnul Manazil.

Begitu juga dilakukan oleh para ulama ketika menetapkan Juhfah untuk mereka yang datang dari arah barat (Afrika Utara setelah terambah dakwah Islam). Jika muncul kasus tentang dari mana para jamaah yang datang memulai miqatnya, tetapi tidak melewati salah satu dari miqat yang ada, para ulama seperti Abu Hanifah, berijtihad sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar Ibn al-Khatab r.a. Yaitu dengan memulai ihramnya kira-kira 2 marhalah (±90 km) dari Mekah. Jarak ini adalah jarak miqat terpendek (Qarnul Manazil) dari Mekah.

Baca Juga  Atikah Suranata Yalman, Jemaah Haji yang Pulang Usai Dirawat di RS Saudi

Riwayat yang mengisahkan ijtihad ‘Umar Ibn al-Khathab r.a. adalah berikut:

Dari Nafi‘, dari Ibn ‘Umar r.a. [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Ketika telah dibuka kedua kota ini (Basrah dan Kufah) mereka mendatangi ‘Umar dan berkata: Wahai Amirul Mukminin, Rasulullah Saw telah menetapkan miqat bagi penduduk Najed, yaitu Qarnul Manazil, padahal tempat itu sangat jauh dari jalan kami dan jika harus melewati Qarnul Manazil, kami merasa kesulitan. Dia (‘Umar) berkata: Telitilah tempat yang sejajar dengan Qarnul Manazil di jalan yang kamu lalui. Maka beliau menetapkan Zatu Irq [sebagai miqat] bagi mereka [H.R. al-Bukhari].

Pemahaman komprehensif hadis di atas dapat dikaitkan dengan maqashid asy-syari‘ah yang didasarkan pada dua asas yaitu: (a) Syariat Islam diturunkan dalam teks-bahasa dan kondisi sosio-geografis Arab; (b) Syariat Islam diturunkan (pertama kali) pada umat yang alam pikirannya ummi (tidak melek baca tulis). Implikasinya adalah bahwa pengetahuan dan pemahaman generasi pertama Islam mengenai suatu obyek masalah ketika syariat Islam diturunkan kepada mereka sangat terbatas. Utamanya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan saat itu (di luar Arab) dan sebelumnya. Maka penentuan waktu-waktu salat, ditentukan oleh Nabi saw melalui tanda-tanda alam yang mudah dikenali oleh panca indera.

Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah Swt akan menyesuaikan dengan kondisi demikian demi menjaga kemaslahatan manusia sebagai semangat dan tujuan utamanya.

Penjelasan Nabi saw tentang posisi miqat di atas, sangat tepat bagi umat yang masih dilingkupi alam pikiran ummi. Tidak terbayang di benak umat kala itu, miqat untuk jalur udara dan laut, atau ada upaya untuk menyearahjajarkan dengan miqat-miqat darat yang ada. Apa yang dilakukan oleh ‘Umar Ibn al-Khathb r.a. adalah ijtihad murni yang harus dipahami dengan tujuan seksama. Agar setiap jamaah yang hendak melakukan haji atau umrah, memulai dari tempat yang sama.

Baca Juga  Kemenag: Pelunasan Biaya Haji 1444 H Diperpanjang sampai 19 Mei 2023

Qiyas (analogi) Umar dalam hal ini sangat tepat karena ‘illat (alasan hukumnya) sama. Namun tidak boleh keluar dari obyek masalah. Yaitu daratan (al-barr) sebagai area geografis yang ditentukan Rasul dan menjadi jalur utama transportasi umat saat itu. Sesuai dengan penggalan hadis: “semua berlaku untuk penduduk tempat itu dan orang-orang yang melewatinya”. Tidak akan terpikir di benak Umar dan seorang pun saat itu ada yang melewati di atas miqat. Yaitu jalur udara melalui pesawat terbang.

Oleh karena itu, masalah jamaah haji yang datang menggunakan pesawat udara, tidak ada dan tidak diketemukan nas qat’i (pastinya). Sama seperti kasus tidak ditentukannya miqat bagi penduduk yang tinggal dan datang dari arah barat Mekah (laut), yang saat itu masih belum terambah dakwah Islam.

Bagi jamaah yang menggunakan pesawat terbang tidak wajib berihram, kecuali setelah mendarat di daratan yang akan ditempuh perjalanan selanjutnya. Jika pesawat mendarat di wilayah luar miqat yang ditentukan, miqatnya adalah miqat–miqat yang akan dilaluinya atau dari tempat yang sejajar dan sudah ditentukan sebagai miqat.

Jika pesawat mendarat di wilayah yang letaknya berada setelah melewati salah satu miqat yang ditentukan, atau daerah antara miqat dan al-Haram al-Makki, maka miqat makani untuk ihramnya adalah wilayah itu serta berlaku hukum seperti penduduk yang mendiami wilayah tersebut.

Tidak diperbolehkan mendatangi Mekah kecuali dalam keadaan ihram. Karena bandara internasional untuk kedatangan jamaah haji yang langsung ke Mekah berada di Jeddah, maka jamaah yang datang melalui jalur penerbangan miqat berihramnya adalah Bandara King Abdul Aziz di Jeddah.

Prof.  Syamsul Anwar, Ketua PP Muhammadiyah menjelaskan penetapan miqat di Bandara Jeddah itu tidaklah membuat sebuah ibadah baru. Melainkan hanya mengisi kekosongan agar ibadah haji yang mengharuskan memakai pakaian ihram dari miqat dapat dilaksanakan. Memulai ihram dari miqat itu sendiri sudah ada dan ditetapkan dalam sunnah Nabi saw. Hanya saja miqat dari Ya Lamlam yang dulu digunakan oleh jamaah haji Indonesia yang datang dari arah Yaman kini tidak lagi digunakan. Untuk itu perlu adanya miqat baru, yaitu Bandara King Abdul Aziz.

Baca Juga  Iktikaf di Rumah Selama Pandemi, Bolehkah?

Untuk ibadah haji beliau bersabda, Ambillah manasik ibadah hajimu dariku [HR aṭ-Ṭabarānī dan al-Baihaqī].  Jadi ibadah tidak boleh diada-adakan atau dibuat-buat, melainkan harus dipastikan ada dalil yang mendasarinya. Namun begitu, dalam sejumlah kasus terdapat kekosongan mengenai cara melaksanakan ibadah. Lalu para fukaha berijtihad untuk mengisi kekosongan tersebut. Maka hasil ijtihad guna mengisi kekosongan tersebut bukan mengada-adakan ibadah. Melainkan hanyalah ijtihad untuk dapat melaksanakan ibadah yang batang tubuhnya sudah ada.

Editor: Yusuf

Avatar
1446 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds