Perspektif

Ritual Sa’i: Suatu Gerak Pencarian Hidup

5 Mins read

Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di lembah Bakkah pada millenium kedua Sebelum Masehi (SM) dengan bekal sedikit makan dan minum, maka jangan membayangkan di kawasan tersebut sudah bercokol toko-toko atau swalayan-swalayan yang sudah bertebaran di kawasan Makkah seperti saat ini. Tentu imajinasi historis semacam itu keliru. Sebab, Bakkah pada millenium kedua Sebelum Masehi hanyalah lembah sempit dengan kondisi yang panas dan tandus, tidak ada pemukiman penduduk.

Bahkan kawasan ini nyaris tidak dikenal karena tanda-tanda pendukung kehidupan hampir tidak ditemukan. Namun Allah SWT mengabulkan doa Nabi Ibrahim (QS Ibrahim: 37). Dan dari sinilah kisah Siti Hajar berjuang untuk hidup dan sekaligus menghidupi Ismail, putra pertama Nabi Ibrahim, yang baru lahir.

Doa Nabi Ibrahim

Ketika hendak meninggalkan Siti Hajar dan Ismail, Nabi Ibrahim dengan perasaan galau dan khawatir berdoa kepada Tuhannya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS Ibrahim: 37). 

Di lembah Bakkah—sebagian sejarawan Muslim berpendapat bahwa nama “Bakkah” menunjukkan suatu “kawasan yang sempit.” Sebagian sejarawan Muslim lain berpendapat bahwa nama “Bakkah” ditujukan untuk sebuah “tempat (lembah) yang hanya dapat ditumbuhi pohon balsam, selanjutnya baca Jerald F. Dirks, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, 2006, h. 128), Siti Hajar dan Ismail ditempatkan oleh Nabi Ibrahim atas petunjuk dari Allah SWT. Jika bukan karena petunjuk dari Allah SWT, sangat mustahil bagi kedua makhluk lemah ini bertahan hidup. Sebab, tanda-tanda penopang kehidupan di kawasan tersebut memang tidak atau belum ditemukan.

Sesungguhnya, lembah Bakkah pada millenium kedua Sebelum Masehi bukanlah sebuah kota, juga bukan sebuah perkampungan penduduk. Menurut Jerald F. Dirks, lembah ini lebih menyerupai kawasan transit yang biasa digunakan oleh para kafilah dari suku-suku Arab yang membawa dagangan “minyak wangi” untuk dijual di kawasan Laut Tengah. Sewaktu Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan Ismail, kawasan ini sama sekali tak berpenghuni.

Baca Juga  Amin Abdullah: Epistemologi sebagai Basis Dialog antar Agama

Lembah yang pada mulanya dikenal dengan nama Bakkah berupa kawasan bebatuan tandus dan gersang. Tak ada penghuni yang sanggup bertahan hidup di kawasan ini. Tetapi Nabi Ibrahim telah menyerahkan perlindungan istri dan anak pertamanya kepada Tuhannya. Rasa percaya Nabi Ibrahim atas perlindungan Tuhannya kepada istri dan anaknya menyebabkan dia tega meninggalkan mereka berdua di kawasan gersang dan tandus tak berpenghuni ini.     

Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya, dia hanya sedikit meninggalkan makanan dan air untuk untuk kemudian memutuskan kembali ke Hebron, menemui keluarganya di Palestina. Maka tinggallah Siti Hajar dan putranya yang masih kecil di kawasan tak berpenghuni tersebut. Karena udara panas menyengat di kawasan Hijaz menyebabkan mereka berdua merasa kehausan. Sampai pada suatu ketika, persediaan air habis. Dan Siti Hajar sendiri kehausan, sementara dia juga harus berjuang bertahan hidup agar dapat menyusui Ismail yang terus merengek.

Kisah Ritual Sa’i

Terdorong oleh naluri keibuannya, Siti Hajar dengan susah-payah mencari pertolongan untuk mengidupi putranya yang baru lahir itu. Dia berusaha berjalan ke arah bukti dengan harapan dapat melihat serombongan kafilah dagang yang melewati kawasan tersebut. Sesampai di kaki bukit Shafa, dia memaksakan diri naik ke atas bukit. Sebuah perjuangan berat bagi seorang ibu yang baru saja melahirkan anaknya. Akan tetapi, hasilnya justru nihil. Karena dia hanya melihat hamparan pasir dan bebatuan tandus dengan udara kering yang menyengat.

Tubuh Siti Hajar mulai lemas. Kerongkongannya pun terasa panas kering. Karena terdorong oleh naluri keibuannya yang melihat putranya terus merengek kehausan, dia terus berjuang mencari bantuan dari kafilah dagang yang melintas di kawasan tersebut. Mendengar suara tangisan Ismail, dia tergerak menuruni bukit dengan langkah terhuyung-huyung bermaksud mendekati anaknya. Setelah menuruni tebing, perasaan Siti Hajar terus bergolak. Bathinnya semakin dikuatkan oleh jeritan tangis putranya yang makin lama semakin melemah. Ismail di ambang sekarat. Hajar terus berjuang mencari bantuan untuk dapat menyelamatkan putranya. Dalam kondisi dehidrasi yang parah, kaki Hajar seakan-akan digerakkan oleh “kekuatan” yang memaksanya menuju ke kaki bukit Marwa (Ali Syari’ati, Haji, 1983: 46).

Baca Juga  Jemaah Haji Lansia Perlu Waspada Cedera Terjatuh Saat Beribadah

Tubuhnya yang makin lemah menyebabkan jalannya terhuyung-huyung. Sesampainya di lembah Marwa, Siti Hajar memaksakan diri naik ke puncak bukit. Dia pun berharap dapat menemukan sekelompok kafilah dagang yang melintasi kawasan tersebut. Tetapi setelah dia mencapai puncak Marwa, pandangannya hanya tertuju kepada hamparan padang tandus dan gersang. Tak ada kafilah dagang yang lewat. 

Siti Hajar turun dari puncak bukit tersebut dan bermaksud mendekati putranya. Tetapi, suara tangis putranya makin lemah. Ismail benar-benar diambang sekarat. Siti Hajar menangis dan hampir putus asa. Namun naluri keibuannya terus memaksa dirinya berusaha dengan berharap bantuan dari kafilah dagang yang lewat. Mungkin karena kondisi bathin yang tertekan, atau karena rasa frustasi yang terus membayangi dirinya, Hajar kembali lagi ke puncak bukit Shafa. Kejadian tersebut berulang-ulang sampai tujuh kali.

Pada akhirnya, Siti Hajar mendengar suara di sekeliling putranya yang sudah sekarat. Mungkin karena dihantui oleh penglihatan fatamorgana atau karena perasaan batin yang tersiksa, Siti Hajar seakan-akan tidak percaya mendengar suara tersebut. Lantas dia menahan nafas dalam-dalam untuk memastikan suara tersebut.

Dan ternyata benar, Siti Hajar melihat seseorang yang tampak aneh berdiri di dekat Ismail. Hajar pun segera berlari menuju tempat Ismail dibaringkan di bawah sebuah pohon. Tampaknya, dia adalah malaikat. Ciri-cirinya, sekalipun persis seperti orang Arab, tetapi tidak menunjukkan bahwa dia seorang musafir. Dialah Malaikat Jibril (Jerald F. Dirks, 2006: 133).

Jibril tampak menyepakkan kakinya. Dari bekas sepakan kakinya keluarlah air mengucur deras. Siti Hajar begitu gembira melihat mata air yang tiba-tiba mengucur deras ke segala arah itu. Lantas, dia segera minum untuk menghilangkan rasa haus yang sangat. Setelah kondisi pulih dan rasa haus telah hilang, Siti Hajar segera menyusui putranya, Ismail.

Mata air yang terus memancar ke segala arah itu kemudian dikumpulkan oleh Siti Hajar. Konon, dia bergegas membuat cekungan dan mengumpulkan bebatuan untuk menampung air yang terus melimpah itu. Pada waktu itulah, Siti Hajar berucap, Kumpul! Kumpul! (Ibrani: Zam! Zam!). Hingga kemudian mata air yang merupakan anugerah dari tuhan itu dinamakan dengan Sumur Zam-zam (baca Muslim Nasution, Tapak Sejarah: Seputar Makkah-Madinah, 1999: 39-46).

Baca Juga  Mereka Kecewa Ternyata Muhammadiyah Moderat

Pencarian Hidup

Kisah Siti Hajar berlari-lari kecil (sa’i) dari pegunungan Shafa dan Marwa kemudian diabadikan dalam ritual Ibadah Haji dalam Syariat Islam. Ritual sa’i bukan sekedar gerak mondar-mandir tanpa arah dan tujuan, seperti ketika Siti Hajar kebingungan bagaimana ia bertahan hidup untuk dapat menghidupi anaknya. Gerak mondar-mandir, lari-lari kecil dari bukit Shafa dan Marwa, sampai terjadi tujuh kali adalah dalam rangka mencari kehidupan. Inilah yang oleh Ali Syari’ati (1983: 46) disebut sebagai sebuah pencarian hidup. Bagaikan gerakan berlari-lari yang memiliki tujuan.

Ikhtiar atau perjuangan hidup itu melelahkan. Lelah dan rasa putus asa adalah sifat yang manusiawi, tetapi dorongan dalam diri untuk bertahan hidup dan tanggung jawab untuk menghidupi sang anak menjadi spirit yang menguatkan tekad dan menggerakkan kaki untuk melangkah lebih jauh. Melangkah jauh terseok-seok, kadang jatuh atau gagal meraih suatu capaian adalah suatu keniscayaan.

Dan seperti doa Nabi Ibrahim yang telah dikabulkan, maka ikhtiar hidup yang melelahkan bukan menjadi jaminan keberhasilan dalam pencapaian. Maka jangan pernah mengira bahwa keberhasilan hidup manusia murni karena usahanya sendiri! Sebab, ada “kekuatan lain” yang turut andil dalam suatu pencapaian. Ketika Siti Sarah nyaris gagal dan putus asa, kedatangan Malaikat Jibril yang memberi petunjuk dan arahan telah membuka lembaran baru bagi kehidupan dan masa depan Siti Hajar dan anaknya. Suku Jurhum yang datang dan bermukim di Bakkah sambil membangun dan mengembangkan perekonomian yang terus tumbuh hingga sekarang (kota Makkah), maka sebenarnya itulah jawaban dari Allah SWT atas doa Nabi Ibrahim.     

Menurut Muslim Nasution (1999), penemuan sumur Zam-zam adalah anugrah dan sekaligus mukjizat dari Allah SWT. Sumur Zam-zam yang terletak 20,60 meter dari Hajar Aswad menjadi anugrah dan sekaligus mukjizat yang paling nyata bagi penduduk di sekitar Bakkah karena sumbernya yang tidak pernah kering sekalipun berada di kawasan bebatuan tandus dan panas.

Editor: Yusuf

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *