Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read

“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”

Hari Kamis lalu, tanggal 25 April 2024 saya naik taksi ke Pameran Buku Internasional di Tunisia, tempatnya di Le Kram Exhibition and International Trade Center of Tunis. Sekitar 18 Km dari kontrakan kami di Montfleury, dekat Le Madinah kawasan Kota Tua Tunis.

Perjalanan 18 Km terasa dekat karena jalanan yang tidak terlalu macet. Membayangkan di Jakarta, 18 Km mana mungkin bisa ditempuh dalam waktu 15 sampai 20 menit.

Dalam perjalanan tersebut kami melewati Pelabuhan Tunis, nampak beberapa kapal fery dari Eropa sedang bersandar, dan beriringan dengan kami beberapa mobil orang Tunis berplat nomer Prancis dan Italia.

Dalam catatan ini, saya tidak ingin membahas tentang pameran buku Internasional tersebut, meskipun juga tidak kalah menarik, pameran buku yang dihadiri hampir oleh setiap perwakilan penerbit dari berbagai negara Arab, mulai dari Saudi sampai Maroko. Tak terkecuali nama-nama penerbit yang cukup kondang di Indonesia seperti Dar El Kutub Al Ilmiyah dari Lebanon ataupun Dar El Hadits Kairo.

Kedekatan Budaya Tunisia dan Indonesia

Menariknya, dari perjalanan saya ke Pameran Buku di Tunis adalah pernyataan dari supir Taksi yang membawa kami pergi. Sebut saja namanya Ami Faruq, di tengah perjalanan kita ngobrol panjang tentang Kebudayaan Indonesia dan Tunisia.

Singkat cerita, Ami Faruq memberikan satu “tesis” menarik, “Indonesia wa Tunisia ba’idun fi al-masahah, lākin Qaribun fi Al-Hadlarah”, Tunis dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan, tetapi sebaliknya “Tunis wa Urubba qaribun fi al-masahah lākin baīdun fi al-hadlarah” Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tetapi jauh secara Kebudayaan.

Baca Juga  Kiat Produktif Menulis di Tengah Kesibukan Menggunung

Benar apa yang dibilang Ami Faruq, Tunisia dan Indonesia meskipun terlampau jarak yang jauh tapi terasa dekat secara kebudayaan. Pandangan Ami Faruq tersebut bisa saja didasarkan pada kesamaan pandangan keagamaan antara orang Indonesia dan Tunisia yang mayoritas beragama Islam. Karena kesamaan agama membawa masyarakat kepada kesamaan budaya.

Meskipun berbada mazhab Fiqih antara orang Islam di Indonesia dan Tunisia. Dimana Indonesia dengan mayoritas mazhab Syafii dan Tunisia mayoritas mazhab Maliki. Tetapi Tunisia justru lebih memliki kultur keislaman yang sama dengan Indonesia dibanding dengan kultur keislaman yang ada di Arab Timur Tengah seperti Saudi Arabia misalnya.

Jika kita samakan dengan kultur Islam NU di Indonesia, Tunisia justru lebih sangat dekat jika dibandingan dengan tradisi keislaman di Arab Saudi atau beberapa negara teluk lainya. Misalnya seperti Tradisi ziarah kubur yang sangat kuat di Tunisia.

Kemiripan tersebut bisa jadi karena pengaruh gerakan sufi yang sangat kuat antara kedua negara. Di Indonesia misalnya, organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama secara gamblang menyebut dirinya beraliran sufi Qadiriyah dan Naqsabandiyah, sementara di Tunisia umumnya beraliran sufi Syadziliyah.

Di Tunisia kita akan terbiasa menjumpai imam masjid memimpin zikir dan shalawat bersama setelah sholat berjamaah. Dan kalau kita perhatikan peralatan yang digunakan oleh Khatib Jumat di Tunisa pun tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid NU di Pulau Jawa, Mimbar model tangga lengkap dengan tongkatnya.

Relasi Kuat Antara Islam Indonesia dan Tunisia

Tesis Ami Faruq dan Fakta kultur keislaman di Indonesia dan Tunisia mengingatkan saya pada ratusan manuskrip milik Pesantren Tegalsari Ponorogo yang pernah kami teliti. Manuskrip yang rata-rata ditulis pada Abad ke 18 Masehi dan telah di-pdf-kan oleh British Library tersebut banyak sekali dari salinan-salinan kitab Karangan Ulama Magrib Al-Arabi yang sekarang berada dalam kawasan sekitar Tunisia, Aljazair dan Maroko. 

Baca Juga  Syekh Al-Mustawi: Islam Agama Universal & Kontekstual

Dari beberapa manuskrip yang ada di Pesantren Tegalsari tersebut, kita bisa mengambil garis lurus bahwa relasi keilmuan antara ulama Nusantara dan Magrib Arab jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan yang ada di kawasan Jazirah Arab Timur Tengah. Dan bisa jadi, ajaran-ajaran keislaman yang masuk ke Indonesia dulunya banyak dari kawasan Magrib Arab seperti Tunisia sekarang ini.

Itu sebabnya penting dirasa membangun kembali relasi keilmuan dan bertukar pelajar dengan tiga negara tersebut; Tunisia, Aljazair dan Maroko. Ditambah tiga negara Arab tersebut termasuk dalam negara-negara Arab yang kondusif dan stabil secara politik. Setidaknya untuk membagi pandangan keislaman untuk Indonesia kedepan yang tidak dikuasai oleh pandangan keislaman dari Arab Timur Tengah seperti Saudi Arabia saja.

Editor: Soleh

Khoirul Bakhri Basyarudin
5 posts

About author
Mahasiswa PhD Zitouna University Tunisia Peneliti Centre for Arabic and Islamic Studies
Articles
Related posts
Perspektif

Secara Historis, Petani itu Orang Kaya: Membaca Ulang Zakat Pertanian

3 Mins read
Ketika membaca penjelasan Profesor Yusuf Al-Qaradawi (rahimahullah) tentang zakat profesi, saya menemukan satu hal menarik dari argumen beliau tentang wajibnya zakat profesi….
Perspektif

Apa Saja Tantangan Mengajarkan Studi Islam di Kampus?

4 Mins read
Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun…
Perspektif

Bank Syariah Tak Sama dengan Bank Konvensional

3 Mins read
Di masyarakat umum, masih banyak yang beranggapan bahwa Bank Syari’ah tidak memiliki perbedaan nyata dengan Bank Konvensional. Mereka percaya bahwa perbedaan hanya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *