Perspektif

Sejarah Panjang Islamisasi Nusantara

4 Mins read

Dinamika Islam Nusantara tak pernah lepas dari dinamika dan perkembangan Islam di kawasan-kawasan lain, khususnya wilayah yang kini disebut Timur Tengah. Sejak awal kedatangan Islam, Islamisasi awal, munculnya jaringan ulama dan bangkitnya modernisme Islam hingga tumbuh kembangnya nasionalisme Nusantara – sebagaimana tercermin dalam pengalaman Sarikat Islam – hubungan, koneksi dan jaringan global saling mengerangkai dan berjalin kelindan serta senantiasa bertahan meski pada saat yang sama juga muncul berbagai perubahan. Kerangka, koneksi dan dinamika sosial global tersebut, dalam amatan Azyumardi Azra, bisa dipastikan membentuk – atau setidak-tidaknya mempengaruhi – dinamika dan tradisi Islam lokal di Nusantara.

Islam Nusantara dalam Kajian Barat

Azyumardi Azra mengungkapkan, sejarah awal Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia dari dulu memang tampak sangat problematis dan rumit. Kerumitan ini semakin menjadi tatkala banyak muncul masalah terkait asal-usul dan perkembangan awal Islam di kawasan ini. Pada saat yang sama, masalah itu menjadi semakin pelik tatkala kerangka acuan tertentu digunakan secara sadar atau tidak sadar untuk memotret bagaimana sejarah Islam di negeri ini, terutama oleh para sarjana dan peneliti Barat terhadap kajian Islam di Nusantara.

Roff, seorang Profesor Emeritus Sejarah di Universitas Columbia, New York dan Anggota Kehormatan dalam Studi Islam dan Timur Tengah di Universitas Edinburgh, yang dikutip Azra menegaskan bahwa ada keinginan besar di kalangan pengkaji Barat semenjak masa penjajahan sampai detik ini untuk mengurangi (baca: mereduksi) secara konseptual tempat dan peran Islam – bersama-sama dengan manifestasi sosial-budayanya – di kalangan masyarakat Muslim Kepulauan Melayu-Indonesia. Akibatnya, mereka cenderung, lanjut Azra, memandang Islam hanya sebagai suatu fenomena yang periferal atau Islam yang tak mengakar secara sempurna di kawasan ini.

Baca Juga  Menumbuhkan Sikap Tolong Menolong dalam Menghadapi Wabah Covid-19

Islamisasi: Konversi atau Adhesi?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa secara geografis, kawasan Nusantara terletak di bagian ujung Dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah terjauh – dan cukup klenik cum mistis – dari pusat Islam di Timur Tengah. Fakta geografis ini sangat penting untuk dipertimbangkan tatkala orang mencoba, memahami dan menjelaskan Islamisasi di kawasan ini. Jauhnya Nusantara membuat Islamisasi ini sangat berbeda dengan Islamisasi yang terjadi di kawasan Muslim lainnya semisal Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.

Temuan para kesarjanaan menunjukkan bahwa proses kedatangan dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu bersepakat dengan fakta bahwa Islamisasi kawasan ini umumnya berlangsung damai dan dalam bingkai kebudayaan. Fakta ini, tentu saja, tidak menutup kemungkinan ada sedikit kasus terkait penggunaan (baca: pengerahan atau mobilisasi) kekuatan oleh penguasa Muslim Melayu-Indonesia untuk mengonversi rakyat atau masyarakat di sekitarnya menjadi Islam. Akan tetapi secara umum pengislaman di kawasan ini berlangsung melalui cara-cara damai. Bahkan, Azyumardi Azra mengatakan proses Islamisasi Melayu-Indonesia tidak lepas dari aspek sufisme yang dibawa oleh penyebar Islam di negeri ini.

Mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan Azyumardi Azra di atas, orang segera memahami beberapa masalah yang dihadapi tatkala mencoba, memahami dan menjelaskan bagaimana proses Islamisasi awal di Nusantara. Satu hal yang paling logis – sebagaimana tesis Azra – pengislaman seluruh kawasan tidaklah seragam, tak terkecuali Nusantara. Pun tingkat penerimaan Islam pada satu atau bagian lainnya juga berbeda-beda, bergantung pada watak lokalitas budaya vis-à-vis Islam.

***

Sebagai contoh, proses Islamisasi di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritim sangat terbuka dan cenderung kosmopolit, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah dan embedded daripada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih eksklusif. Jelas bahwa keragaman yang luar biasa di Kepulauan Melayu-Indonesia, tegas Azra, tidak hanya dalam hal distribusi geografis penduduknya, melainkan ekspresi sosio-kultural, ekonomi, dan politik yang tidak memungkinkan untuk merumuskan teori tunggal tentang konversi (atau Islamisasi) atau periodisasi umum untuk seluruh kawasan.

Baca Juga  Cara Menggairahkan Kembali Pengkajian Islam di Perguruan Tinggi Islam

Dalam hal ini, kategori “konversi” dan “adhesi” Nock, misalnya, menurut Azra, tidak cukup membantu (atau tidak dapat) menjelaskan secara memuaskan dan ekstensif proses konversi penduduk Kepulauan Melayu-Indonesia ke dalam Islam. Sejalan dengan definisi Nock, keberterimaan mereka terhadap Islam akan menjadi suatu ‘konversi’ karena Islam merupakan agama profetik yang menuntut komitmen penuh dan tidak memberikan kompromi bagi adanya jalan keselamatan yang lain.

Namun, sebagaimana yang bisa diamati, meminjam istilah Azra, konversi penduduk Nusantara ke dalam Islam tidaklah bersifat eksklusif sebagaimana dipersepsikan sebagian sarjana Barat. Sebagian besar Muslim Melayu-Indonesia yang baru memeluk Islam masih mempertahankan pelbagai komitmen mereka terhadap kepercayaan dan praktik lama (pra-Islam) yang dianutnya. Praktik lama ini, pada gilirannya memunculkan istilah yang oleh sebagian sarjana Barat dikenal kejawen.

***

Padahal, jika ditelusuri mendalam, kejawen – sebagaimana diadvokasikan Irfan Afifi – merupakan sebongkah usaha masyarakat Nusantara dalam menubuhkan Islam ke dalam dirinya. Praktik semacam ini sesungguhnya lekat dengan tasawuf Islam. Karena itu, jika kita mempercayai kerangka Nock tersebut, keberterimaan masyarakat Nusantara terhadap Islam lebih tepat disebut “adhesi”, yakni konversi ke dalam Islam tanpa menanggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama.

Sebagaimana diungkapkan dalam sebagian besar historiografi awal Islam Melayu-Indonesia, pada umumnya masyarakat setempat menerima Islam karena percaya bahwa Islam akan “memuaskan” kebutuhan teologis dan sosiologis mereka. Menurut Azra, di kalangan masyarakat Nusantara, Islam hanya memberikan satu bentuk tambahan kepercayaan (atau melengkapi pencarian mereka selama ini akan keberagamaan yang mantap) dan praktik yang dapat berubah sesuai dengan tujuan tertentu.

Dalam konteks ini, Wali Songo mengenalkan Islam kepada penduduk lokal bukan dalam bentuk eksklusivitas profetik, melainkan dalam bentuk kompromi, akulturasi, asimilasi dan akomodasi dengan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah dianutnya. Memang tidak dapat dipungkiri, sebagian kepercayaan lokal tersebut diwarnai fenomena TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Namun, sekali lagi, fenomena TBC perlu ditelusuri lebih dalam mengenai keberintian tujuan praktik tersebut. Dalam gradasi tertentu, praktik tersebut ternyata bermuatan teologis tingkat tinggi atau Islam menyebutnya tasawuf.

Baca Juga  Indonesia Perlu Smart Power

Islamisasi Nusantara: Proses yang Evolusioner

Berdasarkan bukti-bukti tersebut, Azyumardi Azra menyimpulkan, Islamisasi Nusantara merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner. Manakala Islam segera memperoleh konversi banyak penguasa rakyat setempat, Islam kemudian berkembang di tingkat grassroot (akar rumput). Islamisasi pelbagai kelompok etnis yang hidup di berbagai wilayah yang berbeda-beda benar-benar merupakan bentuk konversi yang tunggal dan seragam, melainkan suatu proses panjang menuju kompromi yang lebih besar terhadap eksklusivitas Islam. Proses ini, yang dapat diamati secara gamblang, masih terus berlanjut sampai saat ini.

Berbagai faktor memberikan sumbangsih terhadap proses menuju kompromi ini. Perkembangan keilmuan dan pembelajaran Islam secara lokal, kontak keagamaan, dan intelektual dengan episentrum Islam (baca: Timur Tengah atau Makkah-Madinah) serta perubahan eskalasi sosial-budaya, ekonomi dan politik, telah memberikan kontribusi yang berarti dalam pencapaian pemufakatan lebih besar dengan Islam.

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Secara Historis, Petani itu Orang Kaya: Membaca Ulang Zakat Pertanian

3 Mins read
Ketika membaca penjelasan Profesor Yusuf Al-Qaradawi (rahimahullah) tentang zakat profesi, saya menemukan satu hal menarik dari argumen beliau tentang wajibnya zakat profesi….
Perspektif

Apa Saja Tantangan Mengajarkan Studi Islam di Kampus?

4 Mins read
Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun…
Perspektif

Bank Syariah Tak Sama dengan Bank Konvensional

3 Mins read
Di masyarakat umum, masih banyak yang beranggapan bahwa Bank Syari’ah tidak memiliki perbedaan nyata dengan Bank Konvensional. Mereka percaya bahwa perbedaan hanya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *