Tafsir

Tafsir Maqasidi: Antara Ulama Konservatif dan Progresif

4 Mins read

Tak bisa dipungkiri, bahwa hakikatnya, aksentuasi terhadap tafsir maqasidi bertujuan agar teks ilahi bisa dipahami dengan memaksimal tujuan Syari’ (ma’rifah maqasidi al-khiṭab aw ma’ani al-Syari’), dan menegasikan sebisa mungkin agar tidak terjadi pemahaman yang mafsadah.

Tentu saja, aktivitas yang dilakukan oleh orang seperti Jasser Auda tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, karena masih di dalam bingkai teoritis yang sama, yaitu mengenai teks. Ini mirip dengan ungkapan Andrew Rippin, yang mengomentari bahwa setiap tokoh memiliki kesamaan dalam kajian teks, yakni: “to explain the text and to explore its ramications as fully as possible, as well as to make the text understandble.”

Penggunaan tafsir maqasidi dikategorikan sebagai pendekatan baru dalam kajian Islam. Sebelumnya, kajian maqasidi sangat popular di dalam kajian yurisprudensi Islam terutama dalam bidang ushul fiqh. Tokoh-tokoh modern, memberikan spektrum baru yang sebelumnya rujukan sumber primer hanya dalam lingkungan fiqh, kemudian berubah menjadi kembali kepada spektrum al-Qur’an dan Hadits.

Pandangan Ulama Klasik dan Modern

Perubahan ini banyak ditemukan dalam tokoh-tokoh progresif (modern), seperti Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M), al-Tahir bin Asyur (w. 1325 H/1907 M), dan tokoh-tokoh lainnya.

Tentu saja juga, penggunaan pendekatan tersebut dimungkinkan untuk bisa memperoleh tujuan yang dikehendaki oleh Qasid (Syari’/Allah). Konsep ini kemudian dibawa oleh cendikiawan muslim untuk digunakan dalam wilayah al-Qur’an yang nantinya dikenal dengan istilah tafsir maqasidi.

Meskipun tokoh-tokoh ini memiliki kesamaan terhadap ekspresi untuk mewujudkan interpretasi yang berwawasan tujuan, namun langkah-langkah operasional yang digunakan cukup berbeda, seperti yang dilakukan oleh Jasser Auda yang mengaktualisasikan pisau analisis yang dipinjamkan dari ulama biologi, yang nantinya diterapkan dalam kajian maqasidi.

Kita tahu, bahwa pandangan Auda terhadap maqasidi, bisa disimplifikasikan dengan diilustrasikan setiap persoalan dengan awal pertanyaan “mengapa?” (why). Maksudnya, pertanyaan yang sering muncul dengan menggunakan perspektif maqasidi adalah mengapa, mengapa diwajibkan seperti dalam lima pondasi rukun Islam (syahadah, salat, zakat, puasa, dan haji), mengapa manusia dilarang berzina? Mengapa Allah menciptakan alam semesta?

Baca Juga  Hustle Culture, Bagaimana Al-Qur’an Memandangnya?

***

Hal itu dijelaskan di dalam al-Qur’an, hanya saja pemahaman itu perlu ada kerangka agar sampai kepada tujuan pemahaman yang Allah kehendaki. Sehingga mengaktualisasikan metodologi maqasid berarti mengungkapkan rahasia dalam konteks agama sesuai yang dikehendaki oleh Syari’ (Allah).

Syahdan, kajian maqasid lebih dikenal dengan istilah Maqasid al-Syari’ah yang merupakan ruang lingkup dari kajian ushul fiqh. Tokoh maqasid konservatif seperti al-Syatibi, ia dikenal sebagai tokoh yang telah mencapai kemapanan secara sistematis dan metodologis dalam memformulasikan maqasid dalam kajian ushul fiqih.

Berbeda dengan Abd al-Rahman al-Kaylani yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum al-Syatibi di bidang Maqasid al-syari’ah bernilai sama seperti sebuah pengantar (muqaddimah) jika dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam magnum opusnya al-Syatibi yang berjudul al-Muwafaqat.

Tokoh yang mewakili pada masa modern misalnya Ibn Asyur (w.1394 H) mengelaborasi konsep maqasid yang telah dibangun al-Syatibi, namun ia melakukan pengembangan dari yang sifatnya partikular (juz’iyyah) menuju universal (kulliyah). Ia berpandangan dalam mewujudkan konsep-konsep yang partikular untuk menyelesaikan kompleksitas pelbagai problematika sosial yang berkembang di masyarakat, maka yang diprioritaskan adalah kepentingan umum atau mayoritas atas individu.

Maqasid al-Syari’ah yang diformulasikan oleh al-Syatibi menurut Abid al-Jabiri sebagai i’adah ta’sil al-usul yaitu peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushul, yang kemudian diikuti oleh muridnya Abdul Majid Turkiye.

Itu sebabnya, usaha yang dilakukan oleh Ibn Asyur dilanjutkan oleh Jasser Auda sebagai pengembangan metodologi maqasid yang dilakukan oleh ulama konservatif. Jasser Auda memberikan jaminan bahwa, isu-isu tentang teori maqasid tradisional menurutnya tidak memiliki relevansi untuk penyelesaian masa kini. Tentunya teori-teori dan konsepsi-konsepsi maqasid masa kini lebih selaras dengan isu-isu masa kini. Maka, perlu ada pergeseran dari paradigma maqasid konservatif menuju kontemporer.

Baca Juga  Memurnikan Agama, Membangun Peradaban

Perbaikan pada Jangkauan Maqasid

Klasifikasi kontemporer membagi maqasid menjadi tiga tingkatan sebagai rangka perbaikan jangkauan hukum yang dicakup oleh maqasid. Pertama, maqasid umum (al- maqasid al-ammah/general maqasid), yaitu maqasid yang dapat diperhatikan pada hukum Islam secara keseluruhan. Seperti, keniscayaan dan kebutuhan yang dijelaskan di atas, dan nilai-nilai seperti keadilan (al-adl), universalitas (al-kulliyah), kemudahan (al-taisir), dan kebebasan (al-hurriyah).

Kedua, maqasid khusus (al-maqasid al-khassah/spesifik maqasid), maqasid yang dapat diperhatikan pada salah satu bab tertentu dari hukum Islami. Seperti, kesejahteraan anak pada bab hukum keluarga, mencegah kejahatan pada bab hukum pidana, dan mencegah monopoli.

Ketiga, maqasid parsial (al-maqasid al-juz’iyyah/parsial maqasid), maqasid ini adalah “maksud-maksud” di balik suatu teks atau hukum tertentu. Seperti maksud terungkapnya kebenaran pada penetapan jumlah saksi tertentu pada kasus-kasus hukum tertentu. Maksud menghilangkan kesukaran dalam memperbolehkan orang sakit untuk tidak puasa, dan maksud menjamin makanan para fakir miskin dalam melarang kaum Muslimin untuk menyimpan daging pada hari-hari lebaran haji, dan lain sebagainya.

Dengan klasifikasi dan perluasan cakupan ini dapat digunakan untuk menyusun sebuah sistem hukum yang lebih utuh. Karena boleh jadi, yang selama ini ia dianggap sebagai maqasid syariah yang harus diwujudkan, akan tetapi dengan klasifikasi ini, ternyata ada maqasid yang lebih fundamental yang harus diwujudkan lebih dahulu.

Begitu juga, dengan klasifikasi ini bisa menghindarkan adanya kemungkinan kontradiksi dan pertentangan antara beberapa maqasid seperti maqasid al-khas tidak boleh bertentangan dengan maqasid al-Am.

Perbaikan pada Jangkauan Orang yang Diliputi

Pengembangan selanjutnya adalah memperbaiki kekurangan teori maqasid klasik terkait coraknya hanya membahas jangkauan individual, maka para cendekiawan Muslim modern dan kontemporer memperluas jangkauan “manusia yang lebih luas”, yaitu: masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia.

Baca Juga  Tafsir Al-Mizan dalam Tafsir Al-Azhar

Seperti Ibn Asyur, memberikan prioritas pada maqasid yang berkaitan dengan kepentingan “bangsa” atau umat di atas maqasid seputar kepentingan individual; Rasyid Ridha, Memasukkan “reformasi” dan “hak-hak wanita” ke dalam teori maqasid; dan Yusuf al-Qaradhawi, menempatkan “martabat” dan “hak-hak manusia” pada teori maqasid-nya.

Perbaikan pada Sumber Induksi Maqasid dan Tingkatan Keumuman Maqasid

Para ahli maqasid kontemporer memperkenalkan teori maqasid umum baru yang secara langsung digali dari nash, bukan lagi dari literatur fikih dalam mazhab-mazhab fikih. Pendekatan ini, secara signifikan memungkinkan maqasid untuk melampaui historisitas keputusan fikih serta merepresentasikan nilai dan prinsip umum dari nash. Maka, hukum detail (ahkam tafsiliyah) dapat digali dari prinsip=prinsip menyeluruh (kulliyat).

Pergeseran Paradigma

Selain memetakan perkembangan maqasid dari tradisional menuju kontemporer, Jasser Auda juga melakukan pergeseran paradigma dari teori maqasid lama ke teori maqasid baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik tekan maqasid lama lebih pada protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan, pelestarian). Sedangkan teori maqasid baru lebih menekankan development (pembangunan, pengembangan) dan human right (hak-hak manusia). Dari pergeseran ini kemudian, cakupan dan sasaran maqasid menjadi lebih luas.

Berdasar landasan berpikir tersebut, Jasser Auda berkeyakinan bahwa tujuan dari hukum Islam (maqasid al-syari’ah al-Islamiyyah) menjadi prinsip fundamental yang sangat pokok dan sekaligus menjadi metodologi. Dengan jangkauan maqasid yang lebih luas, maka efektifitas dari sebuah sistem diukur berdasar pada terpenuhinya tujuan yang hendak dicapai. Efektifitas dari sistem hukum Islam juga diukur berdasarkan terpenuhinya tujuan-tujuan pokoknya.

Jelasnya, untuk merealisasikan itu, Jasser Auda, dalam Maqasid as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach, menawarkan Human Development Index (HDI) dan Human Development Targets, sebagai tujuan pokok dari kemaslahatan yang ingin dicapai. Human Development Index dan Human Development Targets bisa diuji, dikontrol, diukur, dan divalidasi dari waktu ke waktu. Wallahu a’lam bisshawab.

Editor: Soleh

Salman Akif Faylasuf
58 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds