Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read

Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka yang dalam di kalangan masyarakat dan memunculkan sentimen ego-sentris yang berkepanjangan. Pada dasarnya, masalah ini dapat diatasi sejak awal dengan tindakan yang sangat sederhana, yaitu dengan memberikan salam.

Bayangkan jika setiap individu dengan tulus mengucapkan salam kepada siapa pun, tanpa memandang agama, suku, atau ras. Dengan demikian, pertikaian di tengah masyarakat yang beragam bisa dicegah, dan harmoni dalam hubungan antar umat beragama dapat terwujud dan terjaga melalui komunikasi yang baik. Oleh karena itu, menyebarkan salam merupakan langkah awal yang sederhana untuk memulai komunikasi yang baik antar umat beragama.

Namun, ironisnya, sebagai mayoritas, masih ada sebagian umat Muslim yang enggan untuk mengucapkan salam kepada non-Muslim, bahkan menolak untuk menjawab salam mereka. Dari perspektif sosiologis, tindakan seperti ini dapat merusak pola interaksi sosial antar umat beragama. Hal ini disebabkan karena umat non-Muslim merasa tidak dihormati, dibedakan, atau bahkan didiskriminasi. Akibatnya, perilaku semacam ini dapat memicu konflik atau setidaknya merenggangkan hubungan antar umat beragama.

Kesalahpahaman dalam Membaca Hadits

Sikap seperti ini tidak muncul begitu saja, melainkan berasal dari interpretasi yang sempit terhadap sebuah hadits yang menyatakan, “Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan apabila kalian bertemu dengan mereka di jalan, maka doronglah mereka ke jalan yang paling sempit.” Selain itu, terdapat redaksi hadits lain yang memiliki nada serupa tentang cara menjawab salam dari non-Muslim yang terkesan diskriminatif, “Amr ibn Marzūq telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah mengabarkan kepada kami, dari Qatādah, dari Anas, sesungguhnya para sahabat bertanya kepada Nabi SAW: “Sesungguhnya ahli kitab memberi salam kepada kami, maka bagaimana kami harus menjawabnya? Nabi bersabda: jawablah wa ‘alaikum.”

Baca Juga  Fikih Unsuriyyah: Bagaimana Rasisme dalam Islam?

Dari pemahaman yang terbatas terhadap dua redaksi hadits di atas, kita bisa melihat tindakan yang cenderung diskriminatif yang diterapkan oleh beberapa Muslim terhadap non-Muslim pada masa itu. Pemahaman yang terbatas terhadap hadits ini adalah akar dari sikap intoleransi yang masih bertahan hingga hari ini.

Agar Kamu Tidak Salah Paham

Dalam memahami sebuah hadits, diperlukan tinjauan yang komprehensif untuk menghasilkan kesimpulan yang holistik. Hadits tidak dapat dianggap sebagai teks yang hampa, melainkan sebagai entitas historis. Untuk memahaminya dengan baik, pembaca harus memperoleh pemahaman terhadap konteks historisnya. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis berusaha memberikan tafsiran yang lebih toleran, dengan tidak hanya berfokus pada makna kebahasaan, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosio-historis yang melingkupi hadits tersebut.

Dalam beberapa jalur periwayatan, redaksi larangan memulai salam ditujukan kepada orang Yahudi dan Nasrani, sementara pada redaksi lainnya, ditujukan kepada orang-orang musyrik. Baik redaksi yang menggunakan istilah “al-yahūd wa al-naṣārā” maupun “al-musyrikīn,” keduanya menggunakan kata sandang “al” yang dalam kaidah linguistik Arab mengindikasikan “bagi golongan tertentu.” Hal ini menyiratkan bahwa kata-kata “al-yahūd wa al-naṣārā” atau “al-musyrikīn” dalam konteks kalimat hadis tersebut seharusnya tidak diartikan sebagai seluruh umat Yahudi-Nasrani atau musyrik secara menyeluruh, melainkan hanya mengacu pada individu-individu tertentu yang mengucapkan “al-sām ‘alaikum” (celakalah kalian) kepada umat Islam pada masa Nabi SAW.

Dalam upaya memahami asbāb al-wurūd atau konteks historis mikro dari hadis ini, penulis tidak menemukan informasi yang spesifik. Namun, mengingat hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah, kita dapat memperkirakan bahwa hadits ini muncul dalam rentang tahun 7-11 Hijriyah. Oleh karena itu, secara umum, hadis mengenai larangan mengucapkan salam kepada non-Muslim ini dapat diatribusikan kepada Nabi Muhammad SAW pada periode Madinah.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (1): Hukum Menadahkan Tangan dan Mengusap Wajah Ketika Berdoa

***

Ketika berada di Madinah, Nabi Muhammad SAW membuat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi, yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Dokumen ini mencakup beberapa pasal tentang hak asasi manusia, termasuk prinsip kebebasan beragama dan prinsip hubungan antarumat beragama. Keharmonisan awal ini mulai pudar ketika orang-orang Yahudi menyadari bahwa tujuan dan kepentingan Nabi Muhammad SAW berbeda dengan ekspektasi mereka yang mengharapkan kedatangan seorang Nabi di Madinah. Akibatnya, orang-orang Yahudi mulai mengambil sikap yang berujung pada pembatalan perjanjian damai yang telah mereka sepakati.

Gerak-gerik kaum Yahudi yang mulai mengkhianati perjanjian dan lebih memilih bersekutu dengan orang-orang Mekkah, tidak luput dari perhatian Nabi Muhammad SAW. Tak lama setelah perang Badar, Nabi pun mengambil tindakan dengan mengusir orang-orang Yahudi Bani Qainuqa‘ dari Madinah.

Pola hubungan komplementer yang dilakukan Nabi dengan “oknum” Yahudi dan Nasrani, sebagaimana tertera dalam hadis, dengan tidak memulai salam atau menjawab salam dengan sederhana, bukanlah didasari oleh rasa superioritas. Melainkan, hal tersebut merupakan respons terhadap tindakan negatif yang dilakukan oleh sebagian Yahudi dan Nasrani terhadap umat Muslim, seperti pengucapan “al-sām ‘alaikum” (kecelakaan atasmu). Jika tindakan Nabi didasari oleh niatan diskriminatif, itu akan bertentangan dengan perintah Allah SWT dalam ayat 86 surat an-Nisa dan hadits yang memerintahkan untuk menyebarkan salam baik kepada orang yang dikenal maupun yang tidak.

Dalam konteks bangsa Indonesia, mengucapkan salam kepada non-Muslim sangat dianjurkan, bahkan dianggap sebagai sebuah kewajiban, dengan tujuan menjaga keharmonisan antar umat beragama. Perbedaan agama seharusnya tidak menjadi penghalang bagi kita untuk saling mengucapkan salam, bahkan lebih-lebih jika perbedaan tersebut hanya berkaitan dengan pilihan politik. Dengan cara ini, kita dapat mewujudkan visi Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Baca Juga  Peran Strategis Non-Muslim dalam Sejarah Islam

Editor: Soleh

Ali Muthahari
5 posts

About author
Alumni Pondok Pesantren Darussalam, Garut Mahasiswa di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Mahasiswa Pendidikan Agama Islam yang memiliki antusias dan bermotivasi tinggi dengan kemampuan berbahasa Arab, inisiatif, dan keinginan mencari tantangan baru. Berpengalaman dalam berbagai perlombaan di bidang bahasa Arab baik tingkat nasional maupun internasional
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds