Fikih

Ihram Isytirath: Niat Bersyarat untuk Jemaah Haji Lansia Resiko Tinggi

2 Mins read

Dalam konteks haji dan umrah, ihram adalah niat mulai mengerjakan ibadah haji atau umrah yang sekaligus mengharamkan hal-hal yang dilarang selama beriḥrām. Dengan mengucapkan niat ihram haji atau umrah, seseorang berarti telah mulai melaksanakan haji atau umrah.

Ihram isytirath adalah ihram yang disertai dengan persyaratan. Hal ini dilakukan bila seseorang khawatir dia bakal terhalang oleh suatu masyaqqah (kesulitan) seperti sakit atau halangan lain saat melaksanakan ibadah haji atau umrah. Hal ini berdasar hadist dari riwayat Aisyah ra:

Artinya: Dari Aisyah ra. berkata, “Diba’ah binti Zubeir masuk ke tempat Rasulullah SAW. Dan berkata, “Ya Rasulullah saya ingin melaksanakan haji akan tetapi saya sakit-sakitan.” Rasulullah bersabda: “Laksanakanlah haji dengan bersyarat (yaitu diucapkan sesudah niat) bahwa tempat taḥallul-ku dimana aku terhalang.” (HR. Muslim).

Karena itu, seyogyanya seorang jemaah haji lansia risti (resiko tinggi) dan sakit melakukan ihram isytirat. Terlebih-lebih bagi jamaah lansia sakit yang akan dievakuasi masuk ke Mekkah dan jemaah haji peserta safari wukuf saat ia berniat ihram sebelum menuju Arafah.

Niat isytirat ini dilakukan dengan menambahkan kalimat isytirat setelah ia melafalkan niat ihram, sebagai berikut:

فَإِنْ حَسَى حَاسَ اللهُم فَمَحلّى حيث حسنى

Artinya: “Jika aku terhalang oleh sesuatu, ya Allah, maka aku akan bertahallul di tempat aku terhalang itu.”

Untuk antisipasi kemungkinan terjadinya halangan dalam  perjalanan ibadah haji, terutama bagi jamaah lansia, resiko tinggi dan jamaah yang fisiknya lemah maka dianjurkan ketika niat ihram dengan bersyarat. Hal ini sebagaimana penjelasan berikut :

يستحب للحاج آوالمعتمر ان خشي شيئا يعوقه عن اتمام نسكه آن يشترط عند الاحرام فيقول عند عقده : ان حبسني حابس فمحلي حيث حبستني . لما روته عائشة رضي الله عنها قالت : دخل النبي صلعم على ضباعة بنت الزبير فقالت : يارسول الله , اني آريد الحج وآنا شاكية. فقال النبي صلعم : حجي واشترطي ان محلي حيث حبستني (متفق عليه ) .

Baca Juga  AADC Adam-Hawa: Doa Penuh Kasih dari Jabal Rahmah

“Disunahkan bagi jamaah haji atau umrah jika khawatir akan terjadi halangan dalam perjalanannya dianjurkan ketika berniat ihram  di miqat disertai dengan isytirath (niat ihram dengan syarat), sebagaimana perintah Nabi Saw kepada Dhuba’ah binti Zubair  ketika dia menyampaikan kepada Nabi “wahai Rasulullah, saya hendak melaksaakan  haji tapi saya sakit” lalu Nabi Saw  menjawab: Berniat  hajilah  dengan syarat seperti berikut : sesungguhnya  akau akan tahallul ketika sesuatu menghalangiku”.

Dalam kaitan ini, para ulama (fuqaha) berbeda pendapat tentang hukum ihram isythirat. (1) Mazhab Syafi’i menyatakan jawaz (diperbolehkan). (2) Mazhab Hambali menyatakan mustahab. (3) Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan makruh. (4) Ibnu Hazm menyatakan wajib (Lihat al-Mughni fi Fiqh al-Haj wal Umrah, h. 88). 

Dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah fi al-Masalah al-Mufidah, (h. 511), dijelaskan tahallul bagi Jemaah haji sakit sebagai berikut :

   حكم تحلل المريض : لا يتحلل المحرم بمجرد مرضه, فعليه أن يستمر الى أن يبرأ ,  فان فاته الووقوف فعليه دم الفوات وتحلل بعمل عمرة , الا اذا اشترط المريض عند الاحرام, فهنا يجوز له التحلل. ويتحلل المريض وغيره على ما اشترطه (التقريرالسد يدة فى المسائل المفيدة, صحيفة 511).

Maksudnya, seorang Jemaah haji yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh tahallul karena sakit, dia wajib meneruskan ihramnya sampai selesai. Jika orang yang sedang sakit  terlambat tidak mendapatkan waktu wukuf, maka dia wajib membayar dam dan dapat bertahallul dengan mengerjakan amalan umrah, kecuali  orang sakit yang ketika berniat ihram dengan bersyarat (isytirath), maka ketika dia sakit boleh bertahallul di tempat di mana dia sakit.

Bagi jamaah haji yang berihram dengan isytirath dan tidak dapat menyelesaikan manasik haji, maka menurut madzhab Syafi’i, Hanbali, Ibnu Hazm, Ibnu al-Qayyim, ia tidak wajib membayar hadyu (hewan dam) dan tidak wajib qadha. Hal ini terdapat penjelasan dalam (1) Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 8, h. 311; (2) al-Ramli, Nihayah al-Minhaj ‘ala Syarh al-Minhaj, juz 3, h. 364; (3) Al-Mardawi, Al-Inshaf, juz 3, h. 307; (4) Al-Hajjawi, Al-Iqna’, juz 1, h. 401; (5) Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz 7, h. 99; dan (6) Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, juz 3, h. 426).

Baca Juga  Hukum Menaikan Harga Masker Saat Wabah Corona

Niat isytirat dilakukan dengan menambah kalimat isytirath setelah ia melafalkan niat ihram. Adapun niat ihram bersyarat dicontohkan sebagai berikut:

             اللهم اني أريد الحج , أو العمرة , أوالحج والعمرة معا , ومحلي حيث تحبسني

“Ya Alloh, sesungguhnya aku hendak melaksanakan haji, atau umrah, atau  melaksanakan haji dan umrah sekaligus, dan aku akan bertahallul sekiranya sesuatu menghalangiku”.   

Editor: Azaki KH

Avatar
1343 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *