Perspektif

Beda Wahabi, Ini Makna “Purifikasi” Muhammadiyah

4 Mins read

Sejak kelahirannya pada tahun 1912 M, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharuan Islam atau tajdid. Gerakan ini, merujuk pada peristiwa global yang terjadi di dunia Arab dengan beberapa tokohnya. Seperti Muhammad Abduh di Mesir, Jamaluddin Al-Afghani di Afghanistan, Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi.

Gerakan pembaharuan Islam global pada umumnya, menyentuh persoalan akidah yang dianggap oleh kalangan pembaharu sebagai penyebab kemunduran umat Islam. Mereka menganggap, penyebab utama umat Islam termaginalkan dari peradaban global, karena jauh dari nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

Dalam melakukan pembaharuan, Muhammadiyah tak hanya menyentuh persoalan akidah. Ruang garapan dakwah Muhammadiyah sejak awal kelahirannya berkutat pada persoalan sosial keagamaan meliputi pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial. Ruang garapan itu meluas seiring berjalannya waktu. Terbaru adalah gerakan penanggulangan bencana dalam wadah MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center).

Namun, gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah kerap kali tertutupi dengan identitas lainnya, yaitu sebagai gerakan pemurnian atau purifikasi dengan slogannya yang khas, ar-ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah). Identitas ini semakin kental ketika menjamurnya gerakan Islam Transnasional, Salafisme, Wahabisme di Indonesia, yang dalam segi-segi tertentu, mirip dengan keyakinan Muhammadiyah. Akibatnya, Muhammadiyah sering kali diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok pembaharuan Islam beraliran Wahabi yang cukup keras dengan tradisi, budaya lokal, maupun adat istiadat masyarakat sekitar.

Purifikasi Menurut Muhammadiyah

Muncul pertanyaannya, bagaimana sebetulnya Muhammadiyah memaknai purifikasi itu sendiri? Apakah purifikasi itu juga menafikan tradisi dan kearifan lokal masyarakat sekitar? Pertanyaan ini, menurut penulis penting untuk dijelaskan, mengingat persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa Muhammadiyah adalah representasi dari Wahabisme di Indonesia.

Menurut Haedar Nashir, menyematkan Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi agama adalah bagian dari penyempitan sejarah. Dengan kata lain, kelahiran Muhammadiyah bukanlah bagian dari respon reaktif Kyai Dahlan terhadap kondisi umat Islam saat itu. Apalagi dikaitkan dengan kelahiran Wahabisme di Arab Saudi. Melainkan, lahir dari proses perenungan mendalam (sufistik) Ahmad Dahlan dari sejarah peradaban Islam hingga masa keruntuhannya (muhammadiyah.or.id).

Baca Juga  Arab Saudi Makin Modern: Bagaimana Nasib Wahabi?

Pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu sangat tepat. Jika melacak sejarah Muhammadiyah awal, kita tidak akan menemukan sikap-sikap Kyai Dahlan yang mengajak untuk memberangus praktik sinkretisme atau TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat) masyarakat Jawa secara konfrontatif. Ciri khas dakwah Ahmad Dahlan adalah mengajak dengan keterbukaan, kesadaran, rasional, dan penuh toleransi.

Hal ini selaras dengan bunyi al-Quran Surat an-Nahl ayat 125 yang artinya: “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Sikap keterbukaan Kyai Dahlan tampak ketika dirinya banyak berdialog dengan para pemuka agama lain seperti Pastur van Lith, Pastur van Driesse dan Domine Bekker. Bahkan, saking terbukanya, Dahlan pernah menantang lawan diskusinya untuk keluar dari agama masing-masing jika terbukti salah. “Mari kita sama-sama keluar dari agama yang selama ini kita yakini guna mencari dan menyelidiki agama mana yang lebih benar. Jika nantinya agama yang tuan yakini selama ini yang lebih benar, saya sanggup menjadi pemeluk agama yang selama ini tuan peluk. Sebaliknya, jika nanti ternyata Islamlah yang lebih benar, maka tuan harus juga bersedia memeluk Islam,” kata sang Kyai.

Begitu pula ketika mengambil sikap terhadap kebudayaan Jawa yang dinilai banyak mengandung TBC. James L. Peacock, antropolog asal Amerika, menggambarkan Kyai Dahlan sebagai sosok yang tetap santun dan rendah hati terhadap pihak Istana Yogyakarta. Setidaknya, menurut Ahmad Najib Burhani, apresiasi Muhammadiyah terhadap budaya Jawa ditunjukkan dalam beberapa hal; perilaku, busana, keanggotaan, dan nama. Yang paling jelas adalah sikap Kyai Ahmad Dahlan yang turut serta ikut dalam kegiatan tiga acara Grebeg Kesultanan Yogyakarta, yaitu Grebeg Maulud, Grebeg Besar, dan Grebeg Pasa (Burhani: 2010).

Baca Juga  Beberapa Penyebab Muhammadiyah Dianggap Anti Budaya

Reinterpretasi

Dalam menginterpretasikan pembaharuan Islam atau tajdid, Muhammadiyah selalu memaknainya dalam dua arti; purifikasi dan dinamisasi. Yang pertama, menitik beratkan pada pemurnian akidah, yang sumbernya dari ajaran al-Quran dan as-Sunnah, sedangkan yang kedua, bermakna pengembangan kehidupan masyarakat yang adaptif, inovatif, kreatif, sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, dua pengertian tersebut tidak bisa dilepaskan dari makna pembaharuan Muhammadiyah. Keduanya satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Namun, dalam aktualisasinya, makna purifikasi Muhammadiyah selalu menjadi hambatan besar bagi dakwah kultural Muhammadiyah. Bak tembok besar yang sukar ditembus. Misalnya, masih banyak orang-orang Muhammadiyah yang mencampuradukkan kehidupan seni dengan persoalan akidah. Seperti lukisan, musik, dan lain-lain. Padahal, fatwa tarjih Muhammadiyah tentang melukis dan lukisan misalnya, jelas tidak dikategorikan sebagai sesuatu yang dilarang, apalagi lukisan tersebut dapat menggugah rasa keyakinan dan kekuasaan kepada Allah Swt, begitupun dengan musik (Tanya Jawab Agama: 2003). Hal ini boleh jadi karena purifikasi atau pemurnian sering dimaknai orang-orang Muhammadiyah sama dengan “tekstualisasi”.

Dalam masalah inilah purifikasi perlu dibaca secara lebih luas. KH. Tafsir, Ulama Muhammadiyah asal Yogyakarta, dalam karyanya Dilema Purifikasi Muhammadiyah menilai purifikasi baiknya dimaknai sebagai “otentikasi” daripada “tekstualisasi”. Dalam KBBI, kata autentik (otentik) memiliki arti dapat dipercaya, asli, sah. Dengan kata lain, kembali ke akar sejarah Islam yang lahir dan bergumul dengan masyarakat sekitar. Dengan pembacaan yang lebih luas, makna purifikasi akan lebih hidup dan sesuai dengan tuntutan zaman.

Oleh karena itu, diperlukan penafsiran baru atau upaya reinterpretasi pemurnian yang lebih kontekstual dan operasional. Sehingga, maksud dan tujuan dari pemurnian Muhammadiyah itu sesuai dengan tujuan awal berdirinya Muhammadiyah yaitu “memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Agama Islam” (Statuten Muhammadiyah).

Baca Juga  Menyoal Kegiatan Sekolah: Catatan Seorang Juru Among

Dakwah Kultural

Pada Muktamar yang ke-48 di Solo, Muhammadiyah memformulasikan konsep dan pemikiran “Risalah Islam Berkemajuan”. Islam Berkemajuan yang saat ini menjadi slogan Muhammadiyah adalah manifestasi dari pemikiran Kyai Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh Muhammadiyah awal yang bergumul dengan masyarakat sekitar. Kata “kemajuan”, “memajukan”, dan “berkemajuan” sudah ada lebih dahulu sebelum risalah ini terbit.

Untuk mewujudkan masyarakat yang berkemajuan, Muhammadiyah tak pernah mencita-citakan untuk memberangus tradisi, budaya, dan kearifan lokal. Hal ini tentu jelas berbeda dengan ajaran Wahabisme. Pemurnian Muhammadiyah tak dimaksudkan untuk mengancam keberadaan budaya lokal.

Salah satu jalan dakwah yang ditempuh Muhammadiyah adalah dakwah berbasis kebudayaan. Dakwah melalui cara ini memungkinkan ajaran Islam diterima dengan baik. Bagi Muhammadiyah, agama dan kebudayaan tak pernah berbenturan, keduanya memiliki hubungan yang “dialogis”, sehingga melahirkan perubahan sosial tanpa mengancam keyakinan orang lain.

Dakwah kultural Muhammadiyah ini perlu terus diaktualisasikan dan diperluas cakupannya, terutama di tengah-tengah perubahan zaman yang semakin cepat. Jika pun terjadi benturan, perlu dicarikan jalan tengah untuk memecah persoalan.

Dakwah kultural juga harus menjadi dakwah pencerahan yang membebaskan (liberasi), memanusiakan (humanisasi), dan penuh dengan nilai-nilai kenabian (transendensi), sesuai dengan spirit ayat al-Quran Surat Ali Imran ayat 104 dan 110 yang menjadi inspirasi berdirinya Muhammadiyah.

Editor: Soleh

Baiturrahman
5 posts

About author
Alumni Universitas Muhammadiyah Malang, Pemerhati Isu-isu Keagamaan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds