Perspektif

Berakhirnya Kompetisi: Refleksi Milad 58 IPM “Kolaborasi untuk Negeri”

4 Mins read

Oleh: Nashir Efendi

Milad ke-58 milad Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) mengusung tema “Kolaborasi untuk Negeri”. Tema ini nampaknya ingin menggeser paradigma kompetisi menjadi kolaborasi.  Bicara tentang kompetisi, siapa yang tidak kenal dengan Charles Darwin ? Sosok yang selalu diajarkan di pelajaran sejarah semasa sekolah. Agaknya tidak ada teori yang lebih kontroversial dari Teori Evolusi yang mengklaim ide ‘evolusi kompetitif’. Kalau kalua mau tetap hidup kamu harus menang.

Keniscayaan Kolaborasi

Jika Evolusi Darwin mengusung tema ‘pertarungan’ organisme dalam bertahan melewati seleksi alam, sebaliknya evolusi Lamarck menganggap bahwa ‘kerja sama antar organisme’-lah yang membuat sekelompok spesies bisa bertahan dan berevolusi. Jika Darwinian berprinsip ‘struggle for life’, maka Lamarckian berasas ‘collaboration for life’. Saya tidak akan melanjutkan ulasan soal evolusi, tapi mari kira beralih soal ‘dampak’ perbedaan dua pandangan evolusi itu.

Prinsip bekerja sama, berjejaring, berkoneksi dan berkolaborasi dewasa ini semakin menguat dalam wacana kelompok masyarakat khususnya IPM. Secara sosiologis, koneksi kuat jejaring kehidupan sosial juga diuraikan dengan sangat apik oleh Christakis & Flower dalam bukunya Connected.Sederhananya, bisa dikatakan bahwa semua manusia, makhluk hidup, makhluk tak hidup, dan bahkan makhluk non benda terhubung satu sama lain. Dan untuk menjaga keseimbangan itu, semua harus bekerja sama, bukan berkompetisi.

Kebutuhan etos kolaboratif semakin mencuat setelah muncul revolusi industri 4.0 yang disokong oleh internet dan kata kuncinya adalah koneksi. Revolusi Industri 4.0 yang membuahkan fenomena disrupsi, akan menjadi apa yang dikatakan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Consequences of Modernityyaitu ‘juggernaut’ atau dalam pengertiannya dunia yang sulit dikontrol dan penuh dengan ketidakpastian yang mampu menggilas siapa saja yang tidak terkoneksi dan tidak mampu berkolaborasi.

Baca Juga  Krisis Kepercayaan, Turbulensi Politik dan Demokrasi Predator

Sayangnya, kita kadung tergila-gila oleh kompetisi. Semua ingin jadi pemenang, misalnya masyarakat memperebutkan sekolah favorit. Tapi bagaimanakah sekolah favorit itu ? Tentu sekolah yang banyak mengantar pelajarnya menjadi juara kompetisi. Sekolah favorit adalah sekolah yang banyak muridnya menjadi juara olimpiade, juara lomba, meraih nilai ujian terbaik, dan juara-juara lainnya. Orang tua berlomba menjadi terbaik dengan definisi terbaik itu adalah yang bisa menyingkirkan saingan-saingan yang lain.

Jarang sekali untuk tidak mengatakan tidak ada sekolah yang mendidik pelajarnya menjadi terbaik dalam perspektif ‘kolaborasi’ bukan kompetisi. Sekolah perlu menetapkan kebijakan bahwa pelajar terbaik bukanlah mereka yang menang lomba atau rangking tertinggi, tapi mereka yang punya empati dan mampu bekerja sama merealisasikan proyek-proyeknya berdasarkan ilmu yang mereka pelajari. Inilah pendidikan yang nyata, bukan sekadar simulasi sebagaimana yang ada dalam kompetisi.

Ketangguhan

Benar, bahwa kompetisi itu masih fungsional, tapi dalam batasannya yang wajar. Kita masih perlu mengajari anak soal kompetisi, karena itu juga membentuk ketangguhan diri (daya tahan, kesabaran, keuletan, dan konsistensi). Tapi pikiran-pikiran kolaboratif perlu diajarkan lebih dominan. Ajak pelajar memahami persoalan lingkungan atau problem masyarakat, bimbing mereka menemukan ide penyelesaiannya, arahkan mereka untuk saling bekerja sama menyelesaikan masalah, dan dampingi mereka menggunakan pelbagai ilmu yang dipelajari untuk merealisasikan proyek-proyek tersebut.

Dengan begitu, maka generasi muda akan terhindar dari individualisme dan mulai membangun koneksi. Generasi kita akan terhindar dari kebiasaan ‘mengakumulasi kesejahteraan’ demi kepuasan pribadi, meminjam bahasa dalam bukunya Keith Ferrazzi: ‘Never Eat Alone’, jangan makan sendiri. Karena bahkan sebagai organisme, kita ini bukan sekedar ‘seorang’ manusia, tapi seperti ungkapan Bruce Lipton dalam ‘The Biology of Beliefe’-nya, ‘kumpulan 50 triliun sel individual yang bekerja sama’.

Baca Juga  Idulfitri Tak Harus Mudik

Menginjak usia IPM yang sudah berumur 58 tahun sudah bukan lagi saatnya IPM terus hidup dan hanyut dalam romantisme masa lalu Muhammadiyah. Sudah bukan lagi IPM terus memproklamirkan diri bak klub yang telah memiliki tujuh trofi prestasi dalam liga sepak bola. Format pertandingan dalam sepakbola pasti menghasilkan hasil menang-kalah, jika draw pasti ada pemain yang dirugikan entah itu mengalami cidera atau mendapatkan hukuman kartu yang bisa saja menodai reputasi seorang pemain. Pandangan kehidupan yang menghasilkan dikotomi menang-kalah dan kuat-lemah kini sudah tidak lagi relevan sebagai solusi untuk mengatasi kehidupan. Permasalahan tidak segera terselesaikan, justru terus bertambah.

Surat Ali Imron ayat 104, Al-Ashr dan Al-Qalam ayat 1 sebagai fondasi dibentangkan oleh Muhammadiyah dan IPM dalam ruang narasi dan karya nyata dalam rangka berkolaborasi membangun peradaban. Jika kita ingin menghasilkan sebuah kebaikan, maka harus dilakukan bersama-sama dengan kelompok masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal tentunya diiringi dengan spirit keilmuan, kreatifitas dan berkelanjutan sebagai jalan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Dengan seperti itu IPM harus menegaskan kembali bahwa tidak ada lagi kader IPM yang anti-gagasan hanya karena melihat dari siapa yang melemparkan ide tersebut, baik perbedaan agama, suku, warna kulit dan deferensiasi lainnya yang seakan-akan hal itu membuat kita alergi. Sekarang sudah bukan eranya perang gagasan, pemikiran, dan strategi. Akan tetapi berubah dari perang, adu, pertarungan menjadi dialog, saling tukar dan gotong-royong.Hal itulah yang membuat IPM stabil diterpa dinamika zaman yang berisi berbagai macam pelajar bagaikan hutan amazon yang diisi oleh berbagai macam makhluk hidup di muka bumi.

Kolaborasi untuk Negeri

Sungguh mulia kehadiran IPM yang sudah mengurangi beban yang seharusnya menajadi kewajiban pemerintah di bidang pendidikan, kepemudaan dan kepelajaran di Indonesia yang memiliki setumpuk permasalahan dan bertambah setiap saat. Di kala beberapa organisasi lain yang hanya memberikan kritik tanpa solusi, jika terdapat solusi tidaklah se-strategis yang diberikan oleh IPM. Itu karena organisasi lain menganggap hanya pemerintah yang berkewajiban menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan mereka sebagai social controlbelum sampai pada tahap problem solverbahkan ada yang menjadi problem maker.

IPM pernah menjadi organisasi seperti itu di kala system perkaderan berwarna hijau menjadi panduan dari setiap langkah yang dilakukan oleh kader IPM dalam berpikir dan bertindak. Namun sekarang IPM tidak hanya berani memberikan kritik dan menjaga jarak dengan pemerintah, tapi IPM harus berani memberikan solusi inovatif dan berkemajuan serta siap menggandeng pemerintah dalam menjalankan program kerja yang disinergikan sesuai dengan bidang-bidang yang ada di IPM tanpa mengindahkan IPM sebagai student/youth civil society yang memilki independensi dan idealisme.

Baca Juga  Will The Democrats Be Able To Reverse The Online Gambling Ban

Pada Milad 58 kali ini betapa IPM menegaskan dirinya sebagai kelompok sosial penting yang harus berkolaborasi dengan negara. Sebaliknya negara jika ingin maju, tidak bisa megabaikan kekuatan masyarakat sipil, dalam hal ini IPM.

*Penulis adalah Ketua Bidang Perkaderan Pimpinan Wilayah IPM Jawa Timur

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *