IBTimes.ID – Dewasa ini, hubungan integrasi-interkoneksi antara sains dan agama menjadi kebutuhan yang urgen, tidak terkecuali pada ranah studi hadis.
Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua. Hadis adalah pemegang otoritas kedua setelah al-Qur’an dalam bangunan syariat Islam.
Walaupun beberapa ulama-ulama sebelumnya, hakikatnya sudah pernah melakukan kajian hadis yang bersifat interkonektif pada hadis-hadis yang terkesan saling bertentangan, baik dari internal maupun eksternal. Namun, kajian mereka masih pada sebatas membenturkan pendapat-pendapat fikih antar mazhab yang juga berdasarkan literatur klasik dan tidak ada yang mau mencoba menelaah dengan data-data keilmuan lain.
Sehingga tak heran jika sampai sekarang, kita tidak menemukan karya yang berkaitan dengan studi hadis dengan pendekatan interkoneksi yang berpijak pada teori dan cara operasional yang sistematis.
Di abad ke-21, muncul salah seorang seorang ulama dari Indonesia, Syamsul Anwar yang menghadirkan kajian interkoneksi hadis dengan paparan akademis yang berpijak pada bangunan epistemologi yang kuat.
Dalam jurnal Tarjih Vol. 13, No. 2, 2016 yang berjudul “Wacana Studi Interkoneksi Hadis Telaah Ringkas Pemikiran Hadis Syamsul Anwar”, penulis, Qaem Aulassyahied menyebut, pendekatan interkonektif lebih tepat dipergunakan untuk kajian hadis kontemporer saat ini, dimana ia akan menghasilkan empat fungsi; komplementasi, konfirmasi, kontribusi, dan komparasi.
Integrasi-Interkoneksi Menurut Syamsul Anwar
Menurut Syamsul Anwar, konsep integrasi-interkoneksi hingga sekarang berkembang tidak satu macam. Sebut saja konsep integrasi dan interkoneksi yang ditawarkan oleh Naquib al-Attas dalam membangun keilmuan Islam, atau yang ia sebut sebagai Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Asumsi al-Attas, bahwa di antara masalah ilmu adalah westernisasi. Dimana perkembangan ilmu tidak berjalan secara objektif, terdapat “susupan” ideologi sekular yang hingga dewasa ini dianggap sebagai ilmu. Oleh karena itu, sebelum melakukan integrasi ilmu kepada nilai prinsip Islam, maka ilmu itu harus melalui proses “dewesternisasi”.
Dewesternisasi yang dimaksud bukanlah arabisasi atau anti barat. Melainkan dewesternisasi di sini adalah mengeluarkan paradigma barat yang tidak sesuai dengan nilai Islam.
Menurut Syamsul Anwar, sebagaimana yang ditulis Qaem, islamisasi pengetahuan termasuk dalam kelompok aliran integratif. Dirinya menganggap bahwa aliran ini sesungguhnya tidak segarang dalam persepsi sebagian orang.
Abdullah Ahmad Abu Sulaiman, salah satu eksponen gerakan ini menyatakan, hakikat ilmu Islam adalah ilmu yang mem-fungsi-kan secara sekaligus sumber-sumber pengetahuan rasional-empiris-induktif dan sumber-sumber universal-deduktif yang diturunkan dari wahyu ilahi.
Menurut Syamsul Anwar, sebagaimana dijelaskan oleh Qaem, konsep integrasi ilmu dari aliran Islamisasi Ilmu Pengetahuan itu adalah upaya mengembangkan suatu titik tolak metafisik baru bagi kegiatan keilmuan dan kedalaman refleksi moral dan agama yang membawa konsekuensi jauh dalam pengembangan program dan pelaksanaan dan penelitian ilmiah.
Qaem menjelaskan, perlu dibangun suatu ilmu yang mengkombinasikan antara prinsip-prinsip ajaran metafisik dan moral Islam dengan ilmu modern yang berorientasi ada pengalaman empiris.
***
Menurut Syamsul Anwar sebagaimana dikutip Qaem, integrasi ilmu dapat diterapkan dalam dua gerak. Pertama, mengintegrasikan wahyu ke dalam aktivitas keilmuan. Kedua, mengintegrasikan dimensi empiris ke dalam ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman.
Pengetahuan modern menganggap wahyu sebagai kepercayaan metafisik yang tidak berdasar, sementara di sisi lain ilmu modern harus didasarkan pada kenyataan empiris dimana memang nalar manusia tidak mampu menjelaskan secara pasti realitas yang tidak empiris atau yang berdimensi transendental.
Di samping itu juga, perlu ada upaya memadukan hubungan dialektis antara teks-teks syariah dengan pengalaman eksistensial manusia. Dimana teks-teks itu menjadi sumber yang memberikan pengarahan tingkah laku kehidupan. Sedangkan pengalaman esksistensial dalam waktu yang sama memberi wawasan bagaimana teks-teks syariah itu harus dipahami dan ditasirkan.
Dua dalil di atas, sebut Qaem, adalah pembacaan terhadap hadis. Sehingga tentu sebagai upaya memahami hadis dengan sains modern, Syamsul Anwar juga menggunakan kerangka epistemologi integratif dan interkonektif.
Integrasi dan Interkoneksi Hadis Syamsul Anwar
Beranjak lebih jauh, Syamsul Anwar kemudian memisahkan pendekatan integrasi dan interkoneksi sebagai dua sisi yang berbeda dan terpisah.
Dalam integrasi, akan terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu tertentu. Restrukturisasi itu dilakukan dengan mengadakan perubahan menyangkut paradigma, teori, metode, dan prosedur-prosedur teknis dalam ilmu bersangkutan. Sedangkan dalam interkoneksi tidak terjadi restrukturisasi semacam itu, melainkan yang terjadi adalah perluasan perspektif dengan menyerap informasi pelengkap dari ilmu lain.
“Atas dasar itu pendekatan interkoneksi dapat dirumuskan sebagai sebuah proses pengkajian dalam suatu bidang ilmu dengan memanfaatkan data dan analisis dalam ilmu lain terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu bersangkutan sendiri dalam rangka komplementasi, konfirmasi, kontribusi, dan komparasi,” tulis Qaem.
Menurut Qaem, pembedaan cara kerja antara integrasi dan interkoneksi versi Syamsul Anwar ini sekaligus menjadi alasan mengapa interkoneksi yang sampai saat ini, digunakan oleh Syamsul Anwar sebagai pendekatan telaah hadis, dengan tidak mengikutkan integrasi.
Sebab jika integrasi hendak dijadikan paradigma, maka perlu ada restrukturisasi ilmu hadis baik yang menyangkut dengan teori, metode, dan prosedur-prosedur teknis ilmu hadis tersebut.
***
Bagi Qaem, selain masalah yang di atas, membutuhkan waktu yang relatif lama dan kerja yang sangat hati-hati, juga ditambah dengan beberapa masalah. Misalnya, pada penentuan shahih atau tidak shahihnya sebuah hadis yang di dalam ilmu hadis menyandarkan pada teori sanad.
“Jika pendekatan integrasi digunakan maka besar kemungkinan akan timbul pertanyaan, apakah dengan menggunakan integrasi maka beberapa keilmuan lain bisa menjadi indikator penentu shahih tidak shahihnya sebuah hadis? dan sederet pertanyaan yang mendalam akan bermunculan. Persoalan ini tentu tidak akan menjadi polemik namun bukan berarti tidak dimungkinkan,” tulis Qaem.
Sebab itulah, untuk menemukan relevansi pendekatan interkoneksi dalam telaah hadis oleh Syamsul Anwar, secara spesifik fungsi pendekatan interkoneksi bisa diterapkan dalam empat bentuk:
Pertama, komplementasi: yaitu data dan temuan sains dapat melengkapi data dan analisis ilmu hadis sehingga dimungkinkan menarik kesimpulan yang valid. Kedua, konfirmasi: yaitu data dan temuan astronomi mengkonfirmasi hasil analisis dalam ilmu hadis. Ketiga, kontribusi: yaitu suatu sains dapat menyumbangkan temuan-temuan sehingga dapat mempertajam temuan ilmu hadis. Keempat, komparasi: yaitu hasil-hasil sains dapat menjadi bahan banding dalam analisis ilmu tertentu dalam rangka perluasan cakrawala.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hakikat pijakan awal dari pendekatan interkoneksi pada studi hadis berada pada penelitian matan hadis.
***
Mula-mula Syamsul Anwar, tulis Qaem, menjelaskan kedudukan kritik sanad sebagai langkah awal memulai penelitian hadis.
Bagi Qaem, ini menunjukkan bahwa hadis-hadis yang akan diteliti terlebih dahulu telah melalui kritik sanad.
Kemudian, Syamsul Anwar fokus pada pembahasan kritik matan. Menurutnya, penelitian di lingkungan ahli hadis menyangkut kritik matan sesungguhnya terfokus pada kritik format matan dengan melihat apakah matan terbalik, terkontaminasi dengan unsur sisipan, mendapat tambahan, mengalami perubahan dan seterusnya.
Syamsul Anwar sebagaimana dijelaskan Qaem, mengkombinasikan dua metode ini dengan membagi kritik matan menjadi dua bagian. Pertama, kritik format otentisitas matan yang meliput bebas dari syuzuz dan bebas dari ilat. Kedua, kritik substansial matan yang melihat koherensi matan dengan sejumlah prinsip-prinsip. Adapun pintu masuk yang dilalui oleh pendekatan interkoneksi dalam studi hadis adalah melalui kritik substansial matan. Hakikatnya kritik substansial matan terderivasi dari kriteria bebas dari ilat dengan indikator bebas dari inkoherensi.
Menurut Syamsul Anwar, bebas dari koherensi adalah terciptanya harmoni makna hadis itu, dan bebasnya substansi makan dari inkoherensi, dengan sejumlah makna yang sudah diterima dan diakui.
Sehingga Syamsul Anwar, tulis Qaem, mengakui bahwa belum adanya indikator bebas dari inkoherensi yang disepakati oleh seluruh ulama. Oleh karenanya ia mengutip beberapa indikator matan hadis yang dirumuskan oleh ulama.
Sebagaimana menurut ad-Dumaini yang dikutip Syamsul Anwar yang menyatakan hadis bisa dikatakan dhaif bila bertentangan dengan; (a) al-Qur’an, (b) hadis yang terbukti otentik, (c) sunnah yang telah mapan, (d) bahasa arab yang benar, (e) fakta sejarah, (f) prinsip dan kaidah syariah yang sudah tetap, (g) akal sehat.
Dari beberapa indikator kritik matan yang dikutip Syamsul Anwar sebagai pijakan teori studi interkoneksi hadis, jelas Qaem, ini memperlihatkan bahwa dalam ilmu hadis sendiri, telah terbuka peluang yang lebar untuk melakukan interkoneksi antara keilmuan hadis dengan sains bahkan dari keilmuan umum. Dengan demikian, interkoneksi sangat dimungkinkan untuk menjadi pendekatan operasional dalam studi ilmu hadis.
Reporter: Soleh