Perspektif

Demokrasi, Politik, dan Tanggungjawab Kaum Cendekia

4 Mins read

Salah satu faktor rusaknya pondasi bernegara kita adalah rapuhnya integritas kaum cendekia. Padahal, semestinya, kaum cendekia memikul tanggungjawab social control terhadap politik dan demokrasi kita. Ia merupakan garda terdepan dalam memberikan pendidikan politik (political education) yang semestinya diemban oleh partai politik. Sungguhpun demikian, partai politik sepertinya tak cukup mampu pendidikan politik kepada rakyat Indonesia karena tersandera oleh kepentingan pragmatis-oportunis oligarki yang membekingi di belakangnya. Di sinilah tanggung jawab kaum cendekia kita.

Saat ini, bangsa kita menghadapi berbagai persoalan yang pelik dan membutuhkan berbagai gagasan, ide kreatif dan solutif. Kaum cendekia diharapkan mampu memberikan berbagai pandangan yang jernih, objektif serta berbasis data guna memberikan pengayaan perspektif atau alternatif jawaban terhadap persoalan bangsa kita. Tetapi kita juga harus tahu, dari tahun ke tahun, masa ke masa, dalam amatan Nadirsyah Hosen, selalu akan ada kaum cendekia yang menggadaikan nilai-nilai kebenaran ilmiah. Dan tentu saja, selalu ada kaum cendekia yang gagal menjaga integritas akademiknya maupun keilmuannya.

Jika kondisi ini dibiarkan bukan tidak mungkin berpotensi memicu pembusukan akademik (academic decay). Karena itu, para akademisi didorong untuk berani menyuarakan dan mengkritisi setiap kebijakan penguasa jika melenceng dari nilai demokrasi itu sendiri.

Etikabilitas sebagai Prioritas

Selama ini kriteria memilih seorang pemimpin (baca: calon presiden) selalu mengacu pada elektoral. Padahal melampaui elektoral, semestinya ia harus diuji dulu dengan seberapa tangguh ia dalam menjaga dan merawat integritasnya. Di sinilah prinsip etikabilitas memainkan peranan penting dalam demokrasi. Melampaui demokrasi, sebaik dan sebagus apapun sistemnya, jika orang yang menjalankannya tidak berintegritas, rusaklah sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa kita.

Untuk itu, kaum cendekia harus mengutamakan prinsip etikabilitas, terutama menyangkut memilih seorang pemimpin. Konstelasi politik tanah air kita, tampaknya, dalam beberapa aspek terjebak pada politik prosedural cum politik pencitraan yang penting “asal rakyat senang”. Politik pencitraan inilah yang terkadang cukup berhasil mengaburkan pandangan rakyat atas rekam jejak (track record) seorang pemimpin.

Baca Juga  Kalau Anda Mau Sehat, Mulailah Menulis

Sebagai misal, kita beberapa kali ditipu atas gaya sebagian politisi yang mencoba berbaur dengan rakyat, seperti blusukan di pasar, bertani di sawah, nyeker (baca: tidak memakai sandal), berpenampilan seperti wong cilik, dan berbagai intrik dan kamuflase lainnya demi mendulang suara elektoral. Setelah berhasil merebut tampuk kekuasaan, ia menampilkan watak aslinya sebagai seorang diktator, misalnya, dan melanggar etika berdemokrasi.

Anehnya, perilaku semacam itu juga menjangkiti sebagian kaum cendekia kita. Perilaku ini sudah merebak dalam berbagai hal, baik menyangkut karir akademik maupun personal. Persis yang dituturkan Walter Lippman bahwa citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang (pictures in our heads) dan tidak selamanya sesuai dengan realita sesungguhnya (objective reality). Semakin bertambah kompleks pula jika politik pencitraan ini melibatkan peran media dalam pusaran kekuasaan, maka tidak bisa tidak isi media menjadi bagian dari konstruksi untuk mengokupasi pola pikir masyarakat kita dan tujuan akhirnya, mendulang suara elektoral.

Persoalan Masyarakat sebagai Komoditas Politik

Dalam konteks ini, persoalan yang tengah mendera masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, stunting, dan sebagainya, seakan dijadikan komoditas politik dalam pemilu lima tahunan guna melanggengkan kekuasaan. Padahal, jika mereka mau berkontemplasi dan berefleksi lebih jauh akan nilai Pancasila, semestinya mawas diri bahwa Pancasila tidak berhenti pada sila ketuhanan, tetapi ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan bukan soal sama rata sama rasa, melainkan keadilan bagi semua kalangan, keadilan akan hak, harkat dan martabat rakyat dan keadilan terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini, rakyat tidak dizalimi atau diperlakukan sebagai tumbal pembangunan.

Acap kali kita dipertontonkan perilaku sebagian – untuk tidak mengatakan mayoritas – elit politik menjadikan rakyat sebagai komoditas politik. Parahnya lagi, mereka meracik, membumbui dan memasukkan unsur agama di dalamnya sehingga rakyat terpesona seakan pemilu sudah menjadi persoalan teologis ketimbang sosiologis. Juga, lengkaplah sudah pengetahuan kita bahwa isu politik dinasti atau dinasti politik yang akhir-akhir ini berkembang semakin kabur.

Baca Juga  Hati-hati dengan Propaganda Terorisme di Media Sosial

Demikian pula, partai politik tak cukup meruangkan rasionalitas terhadap kadernya dalam berpolitik praktis. Kita cukup memahami realitas parpol kita tidak lebih hanya sekadar tukar-tambah (barter) kekuasaan. Ada adagium terkenal di kalangan politisi “yang abadi hanyalah kepentingan”, asal kepentingan bertemu, lawan pun dapat menjadi kawan. Sebaliknya, jika kepentingan berbeda, tekan-menekan dan menyadera kasus hukum adalah keniscayaan.

Memang, dalam praktiknya, partai politik cenderung melahirkan dan melanggengkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan terjadinya politik status quo. Tetapi secara substansial, wajah demokrasi kita tercermin dalam parpol kita yang tetap bertumpu pada prinsip “keutamaan warga negara”, meskipun terkadang hanya sebagai gincu pemanis belaka. Tidak bisa tidak, keperluan untuk meradikalisasi demokrasi sungguh diperlukan karena pelembagaan politik kita belum menghasilkan etika toleransi. Demokrasi kita (juga parpol) tidak cukup menghasilkan distribusi keadilan sosial dan ekonomi karena electoral politics mengungguli citizenship politics. Peran ini, paling tidak, dapat dijalankan oleh kaum cendekia.

Tanggungjawab Kaum Cendekia

Kritik Nadirsyah Hosen terhadap kaum cendekia kita patut menjadi refleksi kita bersama. Ia mengatakan, “di masa-masa silam, sayup-sayup kita mendengar bagaimana kaum cendekia alih-alih memberikan solusi yang objektif, justru mereka terjebak pada kehidupan partisan sehingga apa yang mereka sampaikan bukan lagi objektif berbasis data, dan berbasis kepentingan bangsa dan negara, melainkan semata-mata kepentingan kelompok atau pihak-pihak tertentu”.

Ambil contoh, lanjut Hosen, menjelang tahun politik ini, kita dipusingkan dengan berbagai macam survei, muncul berbagai lembaga yang tidak pernah kita dengar sebelumnya, dengan angka-angka survei yang terdengar ajaib. Tentu saja, ini menjadi salah satu contoh bagaimana kaum cendekia harus selalu berpijak pada kebenaran objektif dan berbasiskan data ilmiah, bukan data pesanan. Kenapa? Kalau ini dibiarkan, maka dampaknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah dahsyat. Marilah kita tetap menjaga kontribusi positif kita sesuai dengan kebenaran ilmiah, bukan kebenaran pesanan”.

Baca Juga  Iri? Bilang, Bro Giring!

Kritik, saran dan masukan Nadirsyah Hosen patut kita dengar dan renungi sebagai “vitamin” bagi kaum cendekia terutama menyangkut bagaimana menjaga demokrasi kita tetap on the track sehingga meminimalisir kesenjangan antara demokrasi elektoral dan dimensi teleologis demokrasi itu sendiri. Dalam konteks inilah, peran kaum cendekia sangatlah penting dan menentukan.

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Menata Ulang Perangai Ilmiah Masyarakat Indonesia

4 Mins read
Kendati telah menginjak usia tua, Indonesia tampak masih mengalami hambatan serius dalam proses memajukan ilmu pengetahuan. Merandeknya budaya ilmu pengetahuan itu berjalan…
Perspektif

Membandingkan Ushul Fiqh, Mencari Titik Temu antar Mazhab

6 Mins read
Abad kedua Hijriah adalah era kelahiran mazhab-mazhab hukum. Dua abad kemudian, mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan…
Perspektif

Mendorong Kembali Keterwakilan Perempuan dalam Institusi-Institusi Publik

3 Mins read
“Perempuan harus kerja lebih keras 2 kali, lebih baik 2 kali untuk mencapai level yang dianggap setara dengan laki-laki di dunia kerja….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *