Perspektif

Beda Antara Islamisasi Ilmu dan Humanisasi Ilmu Keislaman

4 Mins read

Kemunculan Dilema Peradaban Ilmu

Periode era ledakan renaisans di Barat membuat sebuah revolusi bagi peradaban ilmu pengetahuan. Dimana dalam histori Barat yang sebelumnya telah terjadi dominasi gereja hampir dalam segala aspek masyarakat termasuk dalam ilmu pengetahuan. Sehingga pandangan, pernyataan, atau tesis apapun yang bertentangan dengan  sabda gereja adalah bid’ah (heresy) dan harus ditolak. Bahkan tidak jarang berujung pada sebuah peristiwa inkuisisi, bullying, penyiksaan kepada sang penentang tafsir gereja.

Kemudian mulai dikenalkan – atau lebih tepatnya membangkitkan dan sistematisasi – fundamen trilogi filsafat dalam ilmu yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Berfikir secara filsafati yang mulai dihidupkan kembali telah mendobrak  tembok-tembok pandangan tradisional. Kemudian dunia Barat mengenalkan dua cara dalam mendekati kebenaran, yakni metode empiris (pengalaman indra) dan metode logis (akal-rasional). Keduanya saling mengunggulkan satu sama lain, hingga munculah sintesis yang dipopulerkan oleh Imanuel Kant dengan kritisismenya. Rentang abad 18-19 M kebudayaan dalam artian produk renaisans Barat mulai menyebar keseluruh dunia, tak terkecuali Islam.

Era itu (modern) sekaligus menandai kekalahan sejumlah dunia Islam oleh Barat. Penetrasi kolonialisme mulai  berkecambah di negara yang didominasi masyarakat muslim. Dominasi penjajahan Barat bukan hanya berdampak secara fisik namun juga secara budaya dan intelektual. Mungkin tidak semuanya secara langsung namun bentuk penjajahan tersebut bisa berupa menguatnya pandangan sekularisme, seperti di Turki.

Sampailah pada titik bahwa peradaban pengetahuan Islam kemudian merasa perlu untuk mengevaluasi ilmu pengetahuan yang dianggap datang dari Barat. Baik itu pada tataran ontologi, epistemologi hingga aksiologi. Kecurigaan dunia Islam tidaklah lahir dari ruang hampa. Pasalnya banyak persoalan dalam ilmu produk Barat disinyalir bukan hanya mendegradasi aspek keimanan semata, tapi juga aspek kemanusiaan yang bersifat universal.

Meski diakui secara materialistik Barat dianggap lebih maju dengan cara menyudutkan peran agama. Mafhum bahwa pemicu tradisi modern dalam makna Barat adalah adanya unsur penentangan terhadap otoritas agama (gereja). Artinya, ada dikotomi antara ilmu dan agama yang keduanya tidak merasa perlu mencampuri urusan masing-masing. Dimana dikemudian hari dari sejumlah sarjana Islam berpandangan merasa perlu menduplikasi hal itu. Mereka berkaca pada Barat sekaligus bermuhasabah, mengapa dunia Islam mundur dan mengapa Barat maju. Sejumlah respon dan tawaran pun bermunculan.

Baca Juga  Mungkinkah Islam Kembali Jadi Pusat Peradaban?

Klasifikasi Pandangan Islam

Setidaknya menurut Bollouta, ada tiga kelompok bagaimana respon tradisi dan budaya Arab Islam menghadapi modernitas. Pertama, kelompok transformatif yang menginginkan bahwa dunia Arab harus terlepas sama sekali dengan tradisi masa lalunya. Karena tradisi yang lalu sudah tidak relevan dalam iklim kontemporer saat ini. Kedua, kelompok reformatif yang cenderung bersikap akomodatif serta mereformasi tradisi yang ada dalam konteks agar sesuai dengan dunia modern. Ketiga, kelompok idealis-totalistik yang menginginkan agar dunia Arab Islam kembali kepada tradisi murni masa lalu seutuhnya, yakni generasi salaf.

Sedang dalam konteks yang lain, setidaknya terdapat dua kelompok yang mencoba mendialogkan antara pandangan Islam dan disiplin ilmu pengetahuan secara umum. Pertama, pengusung Islamisasi Ilmu yang mengharuskan proses perlunya fundamen ilmu pengetahuan “diislamkan”. Yaitu usaha untuk menjadikan prinsip, nilai, etika, norma atau pandangan Islam (worldview) sebagai kesatuan (integrasi) di dalam setiap disiplin Ilmu. Para sarjana Islam seperti Ismail Rajih al-Faruqi, Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar menjadi pemegang panjinya. Meski Sardar mengkritisi al-Faruqi yang kemudian lebih menawarkan istilah Sains Islam.

Mengapa islamisasi Ilmu perlu dan apakah memang ilmu modern banyak menyimpang dari nilai agama (Islam)? Pertanyaan tersebut muncul memang karena pada kenyataannya terdapat sejumlah dimensi ilmu dalam perspektif Barat meniadakan peran Tuhan (wahyu). Selain itu ilmu dipahami tidak bebas nilai (not free from value) melainkan sebaliknya yakni penuh nilai dan kepentingan.

Konsekuensinya menurut Naquib al-Attas, diantaranya tentu saja terjadi desakralisasi ilmu pengetahuan dan hilangnya otoritas dimana dalam Islam sangat menempati posisi yang penting. Selain itu, hilangnya adab (etika) yang menjauhkan manusia dari sifat dasarnya dan menjadi brutal termasuk terhadap alam.

Baca Juga  Salat di Rumah Bukan Phobia Masjid!

Sementara sekelompok sarjana muslim lain, dengan basis pembacaan kontemporer terhadap turats, lebih mencoba menawarkan apa yang secara umum dikenal sebagai humanisasi ilmu-ilmu keislaman. Sejumlah ilmu Islam terlalu teosentris (seperti kalam) yang dianggap tidak menyentuh persoalan konkret yang dibutuhkan manusia saat ini. Menurut para pengusung gagasan ini, Islam sebagai “entitas langit” dirasa harus mentransformasikan menjadi agama yang lebih membumi.

Menjawab persoalan yang terjadi pada umat maka perlu dilakukan reinterpretasi terhadap sejumlah warisan para ulama dahulu (tradisionalis). Diperlukan pendekatan disiplin ilmu lain hasil akal manusia dalam menafsirkan kembali Islam. Amin Abdullah menggolongkan seperti Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlur Rahman dan al-Jabiri sebagai para pengusungnya. Di Indonesia sendiri tidak sedikit pengikut terhadap kedua kelompok tersebut, baik islamisasi ilmu maupun humanisasi ilmu keislaman.

Dalam konteks islamisasi ilmu timbul pertanyaan apakah memang sejatinya ilmu sejak dulu tidak Islami. Apakah ilmu modern yang dikembangkan mayoritas oleh dunia Barat memang menyingkirkan aspek ketuhanan. Bukankah munculnya abad renaisans di Barat tidak bisa dilepaskan dari peradaban Islam. Era Abbasiyah yang menandai lahirnya para ilmuwan besar seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, al-Khawarizmi, Ibnu Haitzam, Ibnu Rusyd dan banyak lainnya berjasa bagi perkembangan ilmu saat ini. Apakah pada saat itu memang semua filsuf dan ilmuwan Islam mendistorsi peran wahyu dalam penemuan atau pemikiran mereka.

Syahdan sesungguhnya tidak demikian, dalam artian para pemikir besar Islam tidak pernah mendegradasi dimensi ilahiah (tauhid) dalam setiap aktivitas intelektual. Dialektika dan perdebatan soal filsafat yang diwakili oleh al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tetaplah tidak menjadikan mereka menyudutkan atau bahkan menyingkirkan agama, apalagi saling mengkafirkan. Persoalan kalam dan filsafat yang sedemikian pelik hanyalah soal perbedaan penafsiran semata. Menurut al-Ghazali, kerancuan para filsuf (dalam artian muslim) pada aspek-aspek tertentu tidak membawa kepada kekufuran iman melainkan hanyalah bid’ah.

Humanisasi vis a vis Islamisasi

Sangat tidak mungkin ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam dapat diterima kecuali hal tersebut telah sesuai dengan ajaran pokok Islam. Karena saat itu masyarakat Islam telah mengembangkan sistem teologi sendiri yang menekankan keesaan Tuhan serta konsep syariah. Oleh karenanya ketika tradisi helenistik datang ke dunia Islam, para filosof muslim telah melakukan penyaringan dan memperhatikan kecocokan terhadap bangunan fundamental Islam.

Baca Juga  Adakah Keterkaitan Antara Hadis dan Ilmu Pengetahuan?

Sehingga disadari ataupun tidak, menurut Mulyadhi Kartanegara, sejatinya telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof muslim. Seseorang berhak mengadopsi sebagian ide dan pemikiran orang lain namun itu bukan berarti ia tidak dapat menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Maka dari peradaban tersebut sangat mustahil jika dalam Islam terjadi dikotomi antara ilmu umum dan agama.

Rentang abad pertengahan 13-19 M merupakan periode kemunduran Islam. Dunia Islam lebih banyak disibukkan urusan politik (perebutan kekuasaan dan perang antar wilayah) serta lalai bahwa peradaban mereka telah dicuri dan dikembangkan di Barat. Pada masa itulah sejumlah disiplin ilmu yang sudah diformulakan oleh ilmuwan muslim mulai “terkontaminasi” pada proses perkembangannya. Dimana dunia Barat, yang sudah memiliki pandangan menihilkan peran agama, menjadikan sejumlah disiplin ilmu seakan tersekulerkan.

Paradigma tersebut lahir diawali dari penyingkiran aspek agama (wahyu) pada filsafat ilmu sebagai fundamen dalam pengembangan sejumlah disiplin ilmu modern. Yang pada gilirannya rentang abad 20 M pola pikir dan produk ilmu itu ditemukan kembali dan dikonsumsi oleh dunia Islam dalam kondisi yang sudah berbeda sebagaimana warisan peradaban yang lalu.

Maka tidak ada salahnya jika ada asumsi pada rentang abad pertengahan terjadi hilangnya peradaban (ilmu) dalam Islam (lost of knowledge civilisation). Sehingga perbedaan yang menonjol dari kedua kelompok para sarjana tersebut berada pada titik pijaknya. Jika Islamisasi Ilmu cenderung bermula dari ilmu-ilmu umum produk Barat murni yang menihilkan aroma agama, maka humanisasi ilmu keislaman justru sebaliknya. Yakni berangkat dari pemahaman ilmu keislaman (tafsir) tradisional yang mendalam kemudian beranjak ke perlunya mengadopsi pendekatan ilmu-ilmu umum produk Barat (akal manusia). Wallahu’alam.

Editor: Ahmad

Aditya Budi S.
6 posts

About author
S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds