Perspektif

Bagaimana Seharusnya Sikap Seorang Muslim dalam Pemilu?

3 Mins read

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah berada diambang pintu. Pesta demokrasi sebentar lagi akan terlihat. Pemilu hakikatnya adalah pesta demokrasi, pestanya rakyat. Rakyat suka cita menyambut pemimpin baru dengan harapan melalui hak suaranya. Maka, sudah semestinya hak suara digunakan dengan sebaik-baiknya.

Di sisi lain, para calon legislatif maupun pasangan calon presiden dan calon wakil presiden telah berjibaku memenangkan hati rakyat. Mereka telah menyambangi tiap-tiap sudut nusantara demi berlaga merebut suara. Ide, gagasan, hingga janji telah diobral demi memuluskan langkah dan memenangkan hati pemilih. Semuanya berseru dengan keyakinan demi Indonesia yang lebih baik dengan berbagai cara.

Itu sebabnya, dalam kontes politik lima tahun sekali ini, partisipasi segenap warga negara menjadi sangat penting. Di tangan rakyatlah, yang nantinya ikut menentukan pemimpin yang akan menentukan nasib bangsa ke depan. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, warga negara punya tugas penting untuk ikut mengkontrol pemimpin dan pemerintahan kelak. Dan yang paling penting, warga negara selaku rakyat punya hak untuk memilih pemimpinnya.

Lantas, sebagai umat Islam, langkah apa yang diperlukan dalam ikut memeriahkan pesta demokrasi tahun ini? Partisipasi semacam apa yang kita bisa berikan pada pemilu kali ini? bagaimana sikap seorang muslim dalam pemilu?

Sikap Seorang Muslim dalam Pemilu

Pemilu di Indonesia merupakan arena pemilihan dan pengangkatan kepemimpinan nasional. Sebagai seorang muslim, terlibat dan berpartisipasi dalam kontestasi politik dengan menggunakan hak suara merupakan kewajiban mendasar. Pada dasarnya Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan berbagai aspek kehidupan umatnya, termasuk dalam hal ini adalah aspek politik.

Allah Swt tegas mengajak umat Islam untuk memilih pemimpin. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam firman-Nya yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….” (QS. An-Nisa’: 58).

Baca Juga  Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

Sasaran ayat tersebut ditujukan kepada setiap muslim agar menitipkan amanah ke pundak mereka yang sanggup menjalankannya. Dengan begitu, memilih pemimpin merupakan konsekuensi logis dalam beragama Islam secara kaffah. Sebab pemimpin, sebagaimana pendapat Al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam Sulthaniyah adalah orang-orang yang amanah yang diproyeksikan mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.

Tafsir lain dikatakan oleh Mahmud al-Nasafi dalam Tafsir al-Nasafi, bahwa perintah pada surah An-Nisa’ tersebut merupakan perintah wajib untuk menjalankan dan melaksanakan amanah Allah yang telah dibebankan kepada setiap muslim, dan termasuk hal tersebut adalah memilih pemimpin.

Maka, memilih pemimpin bagi umat muslim Indonsia bukan sekadar pemenuhan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik (being a good citizen), melainkan jauh lebih substantif daripada itu. Yakni upaya dan ikhtiar untuk menjadi manusia yang paripurna (being a good man). Manusia yang menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba sekaligus khalifah di muka bumi.

Menghindari Fanatisme dalam Memilih

Perhelatan pesta demokrasi seringkali tidak luput dari sikap cinta yang berlebih terhadap calon tertentu. Sikap fanatik pada ajang pemilu bisa jadi didorong oleh bermacam alasan. Namun, alasan apapun itu, fanatisme berlebihan jelas bukan pertanda baik bagi demokrasi di Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri, fanatisme buta dapat tumbuh subur di situasi politik yang demokratis seperti Indonesia. Hiruk pikuk demokrasi memberi celah terciptanya konflik dan fanatisme berlebihan. Siapa saja yang terjangkit fanatisme sangat rentan terhadap bias kognitif.

Mereka yang terlanjur fanatik terhadap sosok tertentu cenderung tidak lagi bisa menerima kebenaran dari kelompok lain. Kebenaran mutlak hanya milik kelompok sendiri, bukan yang lain. Seringkali akal sehat dan hati nurani tergadaikan hanya demi kemenangan calon yang didukung.

Baca Juga  Keraguan adalah Sebagian dari Iman

Tentu saja, fanatisme semacam ini sangat berbahaya dan sangat tidak sehat bagi iklim demokrasi di Indonesia. Islam pun sangat menentang sikap berlebih-lebihan terhadap sesuatu. Sikap semacam tidak akan mendatangkan kebaikan maupun hasil yang baik dalam urusan apapun.

Allah Swt berfirman: “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 77).

Pesan penting yang ingin disampaikan ayat tersebut adalah untuk tidak berlebihan dalam urusan apapun, termasuk dalam perkara politik dan memilih pemimpin. Sebagai seorang muslim, kita harus mengesampingkan, bahkan menghilangkan fanatisme buta yang hanya menganggap calon yang dipilih adalah yang paling benar dan terbaik.

Sebab fanatisme yang membabi buta sangat rentan dalam memproduksi tindakan-tindakan kriminal. Menghalalkan segala cara, melakukan tindakan apapun, mau benar ataupun salah, asal calon yang didukung bisa menang.

Jangan sampai terjebak dalam sikap-sikap fanatisme yang berbuah tindakan tercela. Sebagai seorang muslim kita perlu untuk menanamkan sikap welas asih dan lapang dada. Apabila calon yang didukung menang, maka cintailah dengan wajar. Sebaliknya, jika yang didukung kalah, maka sedih dan benci secukupnya.

Memilih dengan Nurani

Sebagai bagian dari instrumen demokrasi, pemilu memastikan kedaulatan rakyat dapat terwujud. Pemilu adalah sarana untuk memilih dan menentukan putra-putri terbaik bangsa untuk mewakili rakyat dan bekerja untuk dan atas nama rakyat.

Partisipasi terbaik yang dapat dilakukan oleh setiap muslim di Indonesia adalah hadir pada hari pencoblosan dan menggunakan hak suaranya secara sadar. Memilih bukan karena fomo apalagi fanatisme buta. Tetapi memilih dengan akal sehat dan hati nurani.

Baca Juga  Konsumsi Publik, Psikosomatik, dan Orang Baik di Tengah Pandemik

Jika benar-benar mendukung calon yang dipilih, maka pelajari visi misinya. Pahami rekam jejaknya selama ini. Lihat bagaimana kinerjanya selama memimpin. Dengan begitu, setidaknya akal dan nurani bisa melakukan kompromi atas rasa cinta yang terlanjur mendahului dalam mendukung calon tertentu.

Dan yang terpenting, dalam pesta demokrasi kali ini, menjaga dan menghadirkan suasana aman dan damai juga bagian dari tugas kita selaku umat Islam. Karena tujuan utamanya bukan sekadar pemimpin yang didukung meraih kemenangan elektoral, melainkan memastikan bahwa bangsa Indonesia memperoleh pemimpin yang amanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja dengan cara-cara yang adil dan bermartabat.

Editor: Ahmad

Avatar
1 posts

About author
Seorang pengajar di salah satu kampus di Kota Palu. Tertarik pada isu Politik, Pancasila, serta Filsafat
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds