Perspektif

Ketika Orang Lain Berbuat Maksiat, Benci Perbuatan atau Pelakunya?

4 Mins read

Ketika ada orang lain melakukan maksiat, semisal mendengar kabar ada pencuri di desamu yang tertangkap basah. Apakah kamu senang? Apakah kamu akan membenci pencuri itu? ataukah kamu bahkan akan menyebarluaskan berita pencurian itu? Coba cek lagi, tanyakan pada hatimu, kamu itu sebenarnya jengkel pada pencurinya atau perbuatannya?

Sekarang coba bayangkan jika si pencuri itu adalah anak atau keluargamu sendiri. Dia tertangkap basah lalu diseret ke kantor polisi, bagaimana perasaanmu? Apakah kamu masih jengkel ataukah sebaliknya justru kamu malu dan kasihan karena itu anakmu atau keluargamu?

Dari sini kita belajar, ternyata hati kita didiskriminasi oleh keadaan sosial. Dimana seharusnya kita tidak benci perbuatan maksiat yang ia lakukan tapi malah benci pada pelakunya. Hal itu menyebabkan hilangnya sifat kasih sayang dalam hati kita pada sesama manusia, na’udzubillah min dzalik

Saya sendiri kagum dengan ajaran yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dalam surat As-Syu’ara ayat 216:

فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّى بَرِىٓءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ

Artinya:“Jika mereka mendurhakaimu (menentang perintahmu dan tidak mengikutimu) katakanlah,“Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan”.

Dari ayat itu Allah memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan maksiat yang manusia lakukan bukan meninggalkan manusianya. Tegasnya (إِنِّى بَرِىٓءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ) Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan, bukan memerintahkan (إِنِّى بَرِىٓءٌ مِنْكُمْ)  Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap kalian (Imam Ghazali, 2004: 2/187).

Benci Perbuatan Maksiatnya, Bukan Pelakunya

Yang perlu kita benci adalah perbuatan maksiat ia lakukan bukan orangnya, karena hakikatnya orang yang berbuat maksiat itu juga butuh untuk dikasihani. Sebab mereka juga membutuhkan pertolongan, sebagaimana Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam kitab Riyadlus Sholihin halaman 67:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” أُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أوْ مَظْلُوْمًا” فقال رجلٌ : يَا رسولَ الله أَنْصُرُهُ إِذاكَانَ مَظْلُوْمًا أرأيْتَ إِنْ كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ ؟ قال : تَحْجُزُهُ أوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَالكَ نَصْرُهُ. رواه البُخَارِيْ

Baca Juga  Kiai Jangan Dikultuskan, Mazhab Tak Perlu Dibela Mati-Matian

Artinya: “Dari Anas bin Malik berkata Rasulullah bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat aniaya dan yang teraniaya”, kemudian seorang lelaki bertanya: Ya Rasulullah aku bisa menolong jika orang tersebut teraniaya, lantas bagaimana aku harus menolong orang yang berbuat aniaya? Rasulullah menjawab: cegahlah dia dari perbuatan menganiaya, begitulah cara menolongnya”. (HR. Bukhari) (Zakaria al-Anshori, 2015: 68).

Dulu pernah ada seorang melakukan perbuatan maksiat (pencuri) kemudian dia diseret oleh masyarakat dan dibawa ke rumah Sayyidina Ali كرّم الله وجهه

Masyarakat     : “Dia telah mencuri Unta, wahai Amirul Mukminin”.

Sayyidina Ali  : “Apa benar dia mencuri?”

Pencuri            :“Iya”.
Sayyidina Ali  : “Mungkin ada orang mirip denganmu”

Pencuri            : “Benar, aku telah mencuri, wahai Amirul Mukminin”.

Sayyidina Ali  : “Bawa dia (pencuri) ke tempat eksekusi wahai Qanbar”

Sayyidina Ali menunggu di mimbar eksekusi, kemudian pencuri itu dibawa masuk untuk diikat tangannya, diberi tutup kepala, eksekutor potong tangan pun dipersiapkan. Ketika pencuri itu sudah datang, naik mimbar, Sayyidina Ali bertanya sekali lagi pada pencuri itu untuk memastikan.

Sayyidina Ali  : “Benar kamu mencuri ?”

Pencuri            : “Tidak, wahai Amirul Mukminin”.

Akhirnya Sayyidina Ali meninggalkan pencuri itu begitu saja.

Eksekutor          : “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau meninggalkannya, sungguh dia telah mengakui perbuatannya,”

Sayyidina Ali    : “Aku menghukumi karena pengakuannya dan aku meninggalkan juga karena pengakuannya. Dulu Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah menerima laporan seperti ini, Beliau pun memerintahkan untuk memotong tangan si pencuri itu, tapi setelah itu Beliau menangis”.

Sayyidina Ali  : “Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah?”

Rasulullah صلى الله عليه وسلم  : “Bagaimana aku tidak menangis, umatku dipotong tangannya di depan umum!”

Sayyidina Ali  : “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memaafkannya dan membebaskannya?”

Baca Juga  Muhammadiyah itu Ber-Ittiba', Bukan Ber-Taqlid!

Rasulullah صلى الله عليه وسلم : “Justru pemimpin buruk yang tidak menjalankan hukum syari’at, akan tetapi salinglah memaafkan antara kalian sebelum dilaporkan kepadaku” (Muhammad, 2017:439).

Dalam sebuah riwayat lain juga diceritakan bahwa sahabat Nabi bernama Abu Darda’ berjalan melewati perkampungan yang disitu ada seorang lelaki berbuat dosa yang dicaci maki di tengah kerumunan banyak orang. Abu Darda’ berkata: “bagaimana pendapat kalian ketika ada orang kecebur ke sumur, apakah kalian akan membantu mengeluarkan orang itu?” Mereka menjawab: Iya. Abu Darda’ berkata: “Janganlah mencaci maki saudara kalian, berterima kasihlah pada Allah yang telah menyelamatkan kalian dari perbuatan itu” (Muhammad, 2017:441).

Diceritakan oleh Ibnu Abi Hatim: “dulu ada seorang lelaki (preman) dari Syam yang membuat resah desanya akan mempunyai kekuatan dan pengaruh, kemudian penduduk desa mengadukan perbuatan lelaki tersebut kepada Sayyidina Umar bin Khattab.

Sayyidina Umar bertanya: “apa perbuatan lelaki itu?”

Penduduk desa                 : “Wahai Amirul Mukminin, dia seorang pemabuk yang meresahkan,”

Sayyidina Umar               : “Tulislah! dari Umar bin Khattab kepada Fulan;

(سلامٌ عَليْكَ, فَإِنِّيْ أَحْمَدُ اليكَ اللهَ الَّذِيْ لاإلهَ الّا هُوَ , غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيْدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ, لااله الاَّ هُوَ إلَيْهِ المَصِيْرُ)

Artinya : “Semoga keselamatan selalu menaungimu, aku memuji kepada Allah karena tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengampuni dosa, menerima taubat, yang keras hukuman-Nya; yang memiliki karunia. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Hanya kepada-Nya (semua makhluk) kembali”.

Setelah itu, Sayyidina Umar berkata pada para sahabatnya, “berdoalah kepada Allah untuk saudara kalian itu supaya bisa menerima nasehatku dengan hatinya dan Allah menerima taubatnya”.

Ketika surat Sayyidina Umar telah sampai pada lelaki (preman) itu, dia membacanya berulang-ulang ayat (غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيْدِ الْعِقَابِ) dan berkata: “yang mengampuni dosa, menerima taubat, yang keras hukuman-Nya; yang memiliki karunia. Sungguh Dia (Allah) telah memberi peringatan padaku dengan ancaman siksan-Nya dan Dia juga memberi janji padaku akan mengampuni dosaku jika aku mau bertaubat (kembali pada-Nya)”.

Baca Juga  Literasi Tak Hanya Tentang Aksara

Tidak tahu kenapa, lelaki (Preman) itu tak henti mengulang-ulang dalam hatinya. Seakan-akan ayat tersebut membuncah seluruh relung jiwanya hingga akhirnya dia pun tak kuat menahan tangis dan lelaki itu pun bertaubat.

Sampailah kabar tentang taubatnya preman itu pada Sayyidina Umar, Umar berkata: “begitulah yang seharusnya kalian lakukan ketika melihat saudaramu tergelincir dalam limbah dosa, peringatkan dan berilah semangat tentang kebaikan, terus doakan pada Allah agar diberikan petunjuk, janganlah kalian menjadi teman-temannya setan (yang melihat keburukan saudaranya,  bukan dinasehati dan didoakan tapi justru malah dicela, dicemooh dan dijauhi)” (Muhammad, 2017:707).

Abdullah bin Mutharrif berkata: “barang siapa yang tidak ada rasa kasihan terhadap orang yang bermaksiat maka hendaklah tetap mendoakan mereka supaya dibukakan hatinya untuk bertaubat dan memintakan ampunan untuknya, karena salah satu akhlak para Malaikat adalah (أنَّهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ) memintakan ampunan pada penduduk bumi (Abdul Wahhab, 2005: 49).

Alangkah indahnya hidup jika seseorang diberi karunia ilmu oleh Allah dan diberi taufiq bisa mengamalkannya. Mari kita amalkan pesan dari Syekh Abdul Qadir Jailany dalam Manaqib Nurul Burhan bab 5:

إِيَّاكُمْ أنْ تُحِبُّوْا أَحَدًا أَوْ تَكْرَهُوْهُ إِلَّا بَعْدَ عَرْضِ  أفْعَالِهِ عَلَى الْكِتَابِ والسُّنَّةِ كَيْلاَ تُحِبُّوْهُ بِالْهَوَى وَتَبْغَضُوْهُ بِالْهَوَى

Artinya: “Takutlah engkau jika mencintai seseorang atau membencinya kecuali setelah engkau cocokkan perbuatan itu pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi supaya engkau tidak mencintai dan membenci seseorang dengan hawa nafsumu”.

Editor: Soleh

Khusni Mubarok
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Salatiga
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds