Perspektif

Benarkah Islam di Asia Tenggara Bukan Bagian dari Dunia Islam?

3 Mins read

Islam di wilayah Asia Tenggara memiliki karakteristik atau watak yang berbeda dengan wilayah lain, khususnya di Timur Tengah. Karakteristik Islam di wilayah Asia Tenggara, seperti, watak yang lebih damai, ramah, dan toleran menjadi ciri khas atau karakteristik yang membedakan Islam di Asia Tenggara dengan Islam di kawasan lainnya.

Karakteristik Islam yang damai dan toleran di wilayah Asia Tenggara tersebut tidak luput dari konsekuensi penyebaran dan perkembangan historis Islam di Asia Tenggara. Thomas W. Arnold dalam bukunya “Preaching of Islam” menyimpulkan bahwa penyebaran dan perkembangan historis Islam berlangsung secara damai, dalam istilah Arnold disebut dengan penetration pacifigure (Arnold, 1913).

Proses Penyebaran Islam di Asia Tenggara

Proses penyebaran dan perkembangan Islam di wilayah Asia Tenggara berbeda dengan ekspansi Islam di wilayah Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika Utara yang oleh banyak sumber-sumber Islam disebut dengan fath atau futuh, yakni pembebasan, yang sering kali melibatkan kekuatan militer. Walaupun proses Islamisasi di wilayah ini tidak selamanya mengalami pemaksaan penduduk setempat untuk memeluk, namun pada akhirnya wilayah ini mengalami proses Arabisasi yang lebih intens.

Konsekuensi dari proses penyebaran Islam di Asia Tenggara secara damai menjadikan Islam di kawasan ini menjadi lebih lunak, lebih jinak, bahkan lebih akomodatif terhadap tradisi budaya setempat. Oleh karena itu, Islam di Asia Tenggara yang oleh sebagian pengamat Barat lebih bersifat “sinkretik”, yakni bercampur dengan kepercayan lokal, “tidak murni”, atau bahkan “tidak murni” jika dibandingkan Islam di wilayah Timur Tengah (Prof. DR. Azyumardi Azra, 1999).

Islam Periferal, Islam Pinggiran?

Asia Tenggara merupakan bagian dari salah satu wilayah dari kebudayaan atau peradaban Islam yang terdiri dari tujuh wilayah kebudayaan atau peradaban, yakni kebudayaan-kebudayaan Islam-Arab, Islam-persia, Islam-Turki, Islam-Afrika, Islam Anak Benua India, Islam Indo-Melayu, dan yang terakhir disebut dengan istilah “Western hemisphere”.

Kawasan Asia Tenggara dianggap secara geografi sebagai wilayah pinggiran atau periferi di Dunia Muslim. Sifatnya yang akomodatif terhadap budaya sehingga bercampur dengan budaya lokal dan tidak memiliki tradisi keilmuan yang mantap menjadikan kalangan sarjana dan peneliti cenderung tidak memasukkan Nusantara dalam pembaharuan tentang Islam. Bahkan, Islam di Nusantara dianggap bukan “Islam yang sebenarnya”, karena bercampur dengan budaya lokal.

Baca Juga  Islamic Moderation in Indonesia: Muhammadiyah’s Experience

Sebagian sarjana yang juga memberikan nada negatif tentang kajian Islam di Asia Tenggara, seperti Harry J Benda, Clifford Geertz, Wertheim, Robert Jay, Van Leur dan lain-lain (Amin, 2018). Terdapat anggapan dari sebagian sarjana yang mengkaji Islam bahwa Sejarah peradaban Islam hanya sejarah Islam Arab, sedangkan Islam di luar Timur Tengah dianggap tidak ada (Rabasa, 2004).

Islam di Indonesia atau Asia Tenggara juga dianggap oleh para ahli atau pengkaji Islam sebagai bukan bagian integral dari Islam dan Dunia Islam. Islam di Asia Tenggara dianggap sebagai wilayah periferal atau pinggiran secara geografis maupun secara doktrin dan praktek keislaman (Azra, 2012). Inti pandangan ini adalah “Islam yang sebenarnya” hanyalah terdapat di Timur Tengah, bukan Islam di Asia Tenggara, atau Islam di wilayah lain (Prof. DR. Azyumardi Azra, 1999).

***

Kenneth P. Landon merupakan orang pertama yang mengemukakan pandangan bahwa Islam di Asia Tenggara adalah lapisan tipis di atas kebudayaan lokal, yang mudah mengelupas dan tergerus oleh kepercayaan Hindu-Budha.

Van Leur menambahkan, bahwa Islam di Nusantara hanyalah lapisan tipis yang mudah mengelupas dalam timbunan budaya setempat, bahkan ia menambahkan bahwa Islam tidak membawa sepotong pun ke tingkat perkembangan yang lebih tinggi, baik secara sosial, ekonomi, maupun pada dataran negara dan perdagangan.

Sedangkan bagi Winstedt, Islam tidak mempunyai pengaruh apapun di dunia Melayu Nusantara dan walaupun berpengaruh itupun hanya terbatas pada masyarakat Islam setempat yang sudah berbaur dengan kepercayaan dan keyakinan Hindu-Budha yang telah lama dianut dan diyakini oleh masyarakat di Nusantara sebelumnya.

Bantahan atas Pandangan Negatif dari Sebagian Orientalis

Pendapat-pendapat yang kontroversial tersebut tentu mendapat bantahan keras dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Hussein al-Attas, dan Azyumardi Azra. Najib sepenuhnya menolak pendapat Van Leur dan Winstedt. Justru Islamlah yang memiliki pengaruh besar dalam mengubah kehidupan sosio-budaya serta tradisi keruhanian masyarakat Melayu-Indonesia. Tambahnya, Islamlah yang membawa pencerahan dan mendukung intelektualisme di kawasan Asia tenggara yang tidak terlihat di masa Hindu-Budha (Al-Attas, 1969).

Baca Juga  Islamofobia: Apakah Islam Agama yang Harus Ditakuti?

Hussein al-Attas juga sejalan dengan Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa pandangan Van Leur keliru, karena dibangun diatas logika sejarah yang keliru. Menurutnya, Van Leur telah salah memahami metodologi dan teori Max Weber yang diaplikasikannya dalam melihat Islam dalam perkembangan ekonomi di masa awal Islam di Nusantara. Akhirnya, Van Leur hanya menciptakan pandangan sejarah yang keliru, dangkal, dan kacau tentang Islam di Asia Tenggara.

Azyumardi Azra juga tak ikut ketinggalan dalam mengkritik pandangan-pandangan negatif terhadap Islam di Asia Tenggara. Azyumardi Azra mengatakan bahwa peradaban Islam di Indonesia merupakan bagian integrasi dari peradaban Islam secara keseluruhan. Integrasi ini bisa terlihat dengan jelas pada kesatuan akidah, ibadah, dan muamalah. pada level ini, kamu muslim di tempat lain, hal itu lebih pada ranting (furu’), sesuai dengan adanya mazhab dan aliran dalam pemikiran Islam. Tak berhenti sampai disitu, integrasi Muslim Melayu-Nusantara juga mencakup jaringan (Networks) seperti, bidang politik, keilmuan, keulamaan, ekonomi, perdagangan dan kebudayaan (Prof. DR. Azyumardi Azra, 1999).

Penutup

Bisa disimpulkan, bahwa pandangan Islam di dunia Melayu-Nusantara memiliki pengaruh yang kecil dan tidak membawa ke tingkat perkembangan yang lebih tinggi seperti yang dilontarkan oleh beberapa orientalis tersebut merupakan pandangan yang keliru. Tidak benar, bahwa Islam di Asia Tenggara tidak ada kaitannya dengan Islam di Timur Tengah, berdiri sendiri, dan bahkan bukan bagian dari dunia Islam secara keseluruhan.

Islam di Asia Tenggara justru mempunyai potensi yang besar dalam kebangkitan Islam. karakteristiknya yang damai, toleran, lunak, dan akomodatif terhadap budaya menjadi modal penting bagi kaum Muslimin di kawasan ini untuk mengangkat kembali Islam ke zaman keemasannya dan membawanya ke puncak peradaban dunia.

Baca Juga  Pola Interaksi Islam dan Budaya: Tinjauan Kritis Puritanisme dan Sinkretisme

Wallahu A’lam.

Editor: Soleh

Abdur Rahman Soleh
1 posts

About author
Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Kepala Bidang RPK (Riset dan Pengembangan Keilmuan) IMM FAI UAD Periode 2024-2025.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds