Tafsir

Mengucap SALAM kepada Non-Muslim (2): Pandangan Al-Qur’an dan Ulama?

5 Mins read

Oleh: Muhamad Ali

Mari bahas teks-teks agama Islam, yang sering dikutip dalam kontroversi ucapan selamat ini. Tidak ada ayat Al-Quran dan hadis (katakanlah menurut jalur Sunni) yang secara eksplisit melarang seorang beriman dari mengucapkan selamat dan berdo’a untuk dan kepada siapapun. Malahan, ada beberapa ayat yang bisa dipahami membolehkan salam kepada penganut agama lain.

Salam kepada Nabi Isa

Surat Maryam ayat 15 dan 33, menunjukkan Allah mengucapkan salaam kepada Isa Al-Masih pada hari kelahirannya, wafatnya, dan kebangkitannya kembali. Dua ayat terkait ini dipahami sebagian ulama, termasuk Muhammad Quraish Shihab di Indonesia, kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani, dalam pengertian seperti yang dipahami dari ayat-ayat di atas.

Artinya, seperti saya sebut sebelumnya, Selamat Natal yang diucapkan seorang Muslim yang memahami ayat di atas bahwa Isa adalah Nabi Allah, bisa memiliki makna yang agak berbeda dengan Selamat Natal yang diucapkan seorang Kristiani yang meyakini Yesus sebagai Anak Tuhan, dan bagian dari Trinitas. Namun, ada kesamaan keyakinan yang fundamental antara Muslim dan Kristen tentang figur Yesus ini: bahwa Yesus bukan manusia biasa, bahwa ia memiliki pengikut yang taat pada ajarannya, bahwa diantara para pengikut Yesus itu adalah orang-orang yang “paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman, dan mereka berkata,”Sesungguhnya kami ini Nashrani. Yang demikian itu karena di antara mereka terhadap pendeta-pendeta dan Rahib-rahib, yang tunduk dan tidak sombong” (Al-Maidah:82).  

Al-Qur’an pun menyatakan, Isa Al-Masih sebagai ayat (tanda) bagi semua manusia dan rahmat dari Allah (Maryam: 21). Bagi sebagian Muslim, pemahaman seperti ini sama sekali tidak mendangkalkan keyakinan tauhid Islam dan tidak pula mencampuradukkan dua agama, seperti yang dianggap sebagian ulama dan Muslim lain yang melarangnya.  Mengucapkan “Salam Sejahtera kepada kita Semua” kepada sebagian umat Kristen para pengikut Isa, yang hadir misalnya, bukanlah bid’ah yang buruk.   

Dar Al-Ifta Al-Mishriyah, tidak hanya membolehkan tapi juga menganggap bagian dari mengikuti perintah Allah, “Berkata baiklah kepada semua manusia” (Al-Baqarah:83) dan menuruti perintah Allah untuk berbuat adil dan berbuat baik (Al-Nahl:90), dan mengikuti perintah Rasulullah yang diutus “untuk memperbaiki akhlak manusia”. Para ulama Mesir ini, juga mengutip Nabi SAW yang menerima hadiat dari Raja Kristen Mesir Al-Muqawqis, dan Kaiser dan raja lain. Nabi juga memberi hadiah kepada non-Muslim, mengutip Shar Al-Siyar Al-Kabir (vol.1, hal.96).

Baca Juga  Toleransi Beragama dalam Membangun Keutuhan NKRI

Dalam Kitab Fath Al-Ali Al-Malik (vol.2, hal. 349), Syeikh ‘Illish, berfatwa,”mengucapkan selamat kepada non-Muslim dengan mendo’akannya panjang umur tidak membuat murtad atau kafir karena ucapan selamat itu tidak berarti menerima kekafirannya.” Syaikh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb, kita tahu, juga mengucapkan Selamat Natal kepada Umat Kristiani, khususnya komunitas Orthodoks Koptik di Mesir yang merayakan kelahiran Yesus pada 7 Januari.

Selainnya, Guru Besar Perbandingan Mazhab Al-Azhar, Saad Al-Helaly, bahkan menganjurkan Muslim dan non-Muslim untuk memupuk persaudaraan, dan membolehkan merayakan hari raya keagamaan tanpa perlu mengikuti aspek ritual spesifik masing-masing agama.

Setidaknya di sini para ulama ini membolehkan, bahkan justru menjadi bagian dari ibadah menurut Al-Quran dan Sunnah. Dalam konteks pertanyaan kita di atas, bolehlah mengucapkan salam umat agama lain dalam acara-acara apapun, termasuk dalam kaitannya dengan hari raya agama.

Salam oleh Nabi Ibrahim

Selain Isa Al-Masih dan Selamat Kelahirannya, Al-Quran memuat kisah pendek Nabi Ibrahim yang mengucapkan salam kepada ayahnya yang ‘kafir’: “Salam untuk Ayah! Dan aku memintakan ampunan kepada Tuhanku untukmu; sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam:47).

Mufassir Al-Qurthubi, seperti yang dikutip lengkap dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, yang diterbitkan tahun 2000, menafsirkan ayat ini sebagai berikut: Sebagian ulama menyatakan salam Ibrahim sebagai salam perpisahan. Mereka juga membenarkan menjawab dan mendahului orang kafir dengan salam. Pernah ditanyakan kepada Sufyan Ibnu ‘Uyainah (w.198/813M),”Bolehkah mengucapkan salam kepada orang kafir?” Dia menjawab,”Ya. Allah Yang Maha Tinggi berfirman, ‘Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tidak memerangi kamu karena agamamu dan tidak mengusir kamu dari negerimu; sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah:8).

Allah juga berfirman, ‘Sesungguhnya terdapat suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim.’ Dan Ibrahim itu mengucapkan salam kepada ayahnya.” (Al-Qurthubi, XI: 111-2, dalam Tafsir Tematik, hal.74-75). Dalam ayat lain, “Ingatlah ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam. Ibrahim membalas, salam juga untuk kalian, meskipun kalian adalah orang-orang asing yang kami tidak kenal. (Al-Dzariat: 25). 

Baca Juga  Kesatuan Surah dalam Al-Qur'an Menurut Pandangan Dua Mufassir Besar

Di sini kita baca Al-Qurthubi menafsirkan ucapan selamat kepada non-Muslim sebagai wujud dari berlaku adil kepada siapa saja, suatu penafsiran yang berbeda dengan fatwa MUI di atas yang memisahkan ‘berlaku adil’ sebagai mu’amalah semata dan ‘ucapan salam agama lain’ sebagai bagian ibadah yang harus bersifat eksklusif.

Salah satu sifat hamba-hamba Allah adalah bersikap rendah hati dan selalu menebar salam kepada siapa saja. Surat Al-Furqan ayat 63, mengingatkan kita,”Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang, adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan ketika orang-orang yang jahil (tidak tahu) mengajak bicara, mereka menyampaikan salam.”

Mufassir Ibnu Katsir menulis,”Jika mereka yang jahil (tidak tahu) itu menyakiti mereka dengan kata-kata buruk, mereka tidak membalasnya, tapi mereka justru memaafkan atau membiarkan. Mereka tidak mengatakan apa-apa kecuali kata-kata yang baik. Itulah yang Rasululllah lakukan.” Jadi, bukankah mengucapkan salam umat agama lain, bisa menjadi wujud kata-kata baik kepada mereka, apalagi mereka bukanlah orang-orang jahil itu?

Bagaimana dengan Adab Salam?

1. Jawablah dengan yang lebih baik atau setara

Dalil selanjutnya Surat Al-Nisa Ayat 86: “Dan apabila kalian diberi salam, maka balaslah dengan ucapan salam yang lebih baik, atau setidaknya sama…” Rasyid Rida dan Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, menafsirkan ayat ini cukup panjang lebar.

Berikut ringkasan saya: Rida mengutip Qatadah dan Ibnu Zayd bahwa menjawab ucapan salam dengan lebih baik itu kepada Muslim yang lain, sedang menjawab yang serupa, itu kepada Ahlul Kitab, atau non-Muslim pada umumnya. Tapi, Rida menambahkan, tidak ada dalil Al-Quran dan Sunnah yang memisahkan Muslim dan Ahlul Kitab. Ibnu Abbas, menceritakan, jika ada makhluk Allah siapapun mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah walaupun ia orang Majusi, karena Allah berfirman ayat ini.

Rida berpendapat, konteks ayat ini dalam hukum peperangan dan damai, dan orang-orang Arab ketika itu memiliki akhlak yang sudah mengakar. Perintah menjawab salam itu, menurut Muhammad Abduh, sebagai jalan menciptakan kehidupan damai (wasa’il al-salam). Nah, ketika lafaz salam menjadi lafaz umat Islam, maka ucapan itu menjadi tanda keislaman, dengan mengutip ayat lain, ”Jangan katakan kepada orang yang menyatakan salam kepada kamu, Anda bukan orang beriman.” (Al-Nisa:94).

Baca Juga  Mengenal Lebih Dekat Tafsir Hadaiq ar-Rauh war Raihan

Rasyid Rida melanjutkan, sebagian umat Islam tidak menyukai (makruh) mengucapkan salam kepada non-Muslim karena berpendapat bahwa tidak boleh membalas salam non-Muslim; seorang non-Muslim tidak boleh mengikuti adab umat Islam. Akan tetapi, salah satu karakter seorang Muslim adalah lemah lembut, dan seperti firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk rumah orang lain sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat (Surat Al-Nur:27).

Rida bertanya,” apakah salam ini berlaku umum, termasuk umat Islam, atau khusus hanya umat Islam?. Ia menjawab, “sesungguhnya Islam adalah agama yang umum dan salah satu tujuannya menyebarkan adab-adabnya dan keutamaan-keutamaannya kepada semua manusia, meskipun secara bertahap sehingga menarik sebagian mereka dan semua manusia menjadi bersaudara. Dan diantara adab Islam yang menguat di zaman Nabi adalah usaha menyebarkan salam kepada semua, kecuali mereka yang memerangi.

2. Membalas Salam

Orang Yahudi mengucapkan salam kepada Nabi dan Nabi membalas salam mereka hingga ada orang jahil di antara mereka yang mengganti kata al-“salam” dengan al-“saam”, yang artinya celaka, atau mati. Dalam konteks permusuhan sebagian Yahudi inilah, jawaban salam Nabi, “wa alaikum” (“dan begitu juga kepada kalian”) perlu dipahami.

Konteks sebab hadis tidak boleh memulai itu adalah karena permusuhan sebagian Yahudi waktu itu, khususnya Banu Quraizhah. Ibnu ‘Abbas menceritakan bahwa para sahabat mengucapkan Salam kepada ahlul kitab dhimmi. Dan dari Sya’bi bahwa sebagian Salaf mengucapkan salam kepada orang Nashrani dengan “Dan bagi kamu Salam dan Rahmat Allah Ta’ala.” Ada yang bertanya, “Kenapa menjawab salam mereka?”, ia menjawab,”Bukankah dia juga hidup dalam rahmat Allah?”  Begitu pula, perintah Nabi untuk “menyebarkan salam kepada yang kamu kenal dan kamu tidak kenal.”

Itulah kalangan Salaf. Nah di kalangan Khalaf, Rasyid Rida melanjutkan, mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memulai salam kepada non-Muslim. Sebagian tidak membolehkan memulai kecuali ada keperluan. Namun menjawab salam non-Muslim adalah sama wajibnya dengan menjawab salam Muslim. Sebagian berpendapat, itu sunah saja. “Jika ada orang Yahudi, Nashrani, Majusi, mengucapkan salam kepadamu, maka bolehlah kamu jawab.”

Seperti disinggung di atas, hadis Nabi (dalam Sunan Ibnu Majah): “Aku berkendara untuk bertemu orang-orang Yahudi maka janganlah mulai memberi salam dan jika mereka memberi salam, maka jawablah, “dan juga bagi kalian”, memiliki konteks khusus dan tidak menjadi norma umum dalam setiap kondisi. Mengucapkan salam berarti memberikan rasa aman kepada mereka, dan jika tidak ada rasa aman, maka tidak ada makna memulai salam itu.

Rasyid Rida menulis, memulai salam adalah sunnah yang utama menurut pendapat mayoritas ulama, bahkan ada pendapat itu wajib, sedangkan menjawab salam, mayoritas berpendapat wajib, seperti maksud tekstual ayat di atas. Bersambung!

15 posts

About author
Associate Professor, Jurusan Kajian Agama, Direktur Program Studi Timur Tengah dan Islam, University of California, Riverside.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds