Artikel ini saya tulis untuk mengisi tema diskusi Maarif Institute, “Agama, Krisis Lingkungan dan HAM: Izin Tambang untuk Ormas, Masalah atau Maslahah?” (Kamis, 18 Juli 2024), dan Rountable Discussion UIII, yang bertemakan, “Agama, Ideologi dan Lingkungan” (Jum’at, 19 Juli 2024). Tapi karena waktunya yang sangat pendek untuk presentasi di kedua acara tersebut, sementara temanya sangat luas. Saya tidak akan masuk ke isu yang sudah dibahas dalam polemik yang bermula dari tulisan Ulil Abshar Abdalla di Kompas. Saya akan membicarakan sesuatu yang lebih filosofis, sesuai latar belakang saya, seperti judul di atas.
Ada dua hal yang mau saya dalami untuk kedua diskusi ini, sebagai rangkuman dan catatan saya atas polemik tersebut. Yaitu pertama bahwa yang didiskusikan dan dipolemikkan sebenarnya terkait pencarian solusi atas dilema moral ekologi. Yang kedua, bahwa yang didiskusikan dan dipolemikkan sebenarnya juga terkait pencarian model kepemimpinan ekologi. Kita bahas keduanya, satu per satu.
Dilema Moral Ekologi
Dilema moral dalam isu ekologi merupakan salah satu tantangan paling kompleks yang dihadapi oleh manusia saat ini. Ketika berbicara tentang ekologi, kita membicarakan hubungan antara manusia dan lingkungannya, serta bagaimana tindakan manusia mempengaruhi ekosistem. Dalam konteks ini, muncul berbagai dilema moral yang menuntut kita untuk menimbang antara kepentingan manusia, kesejahteraan hewan dan tumbuhan, kelestarian alam, dan keberlanjutan kehidupan di planet ini.
Saya melihat diskusi dan perdebatan antara Ulil dan pembelanya, dan para pendebatnya, merefleksikan dilema moral ini. Saya memetakan dari perdebatan tersebut, dan isu-isu yang muncul, menggambarkan dilema moral sebagai berikut:
Eksploitasi Alam vs Pelestarian Lingkungan
Ini adalah dilema moral yang paling banyak dibicarakan. Pilihan atau ketegangan antara: eksploitasi alam vs pelestarian lingkungan. Semua pihak memberi perhatian pada pentingnya kedua hal ini. Tapi salah satu akan menekankan hal yang satu, dan baru yang kedua. Misalnya Ulil menekankan argumen keabsahan eksploitasi alam, baru pelestarian lingkungan. Yang lain, para pendebatnya, sebaliknya. Tentu saja, tidak ada yang ekstrem pilihan atau eksploitasi alam, atau pelestarian lingkungan.
Memang, salah satu dilema moral utama dalam isu ekologi adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Di satu sisi, eksploitasi sumber daya alam sering kali dianggap perlu untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti energi, makanan, bahan baku industri, dst. Namun, eksploitasi yang berlebihan dapat merusak ekosistem, menyebabkan degradasi lingkungan, dan mengancam keberlanjutan hidup di bumi.
Para pemimpin dan pengambil keputusan sering dihadapkan pada pilihan sulit antara mengizinkan misalnya, penambangan (misalnya batu bara dalam debat itu), atau yang lainnya, seperti penebangan hutan untuk meningkatkan pendapatan negara, atau melindungi hutan untuk menjaga biodiversitas. Pengambilan keputusan semacam ini sering kali melibatkan pertimbangan ekonomi jangka pendek yang bertentangan dengan manfaat lingkungan jangka panjang.
Perdebatan ini pun memperlihatkan yang di atas disebut “pertimbangan ekonomi jangka pendek yang bertentangan dengan manfaat lingkungan jangka panjang”. Bagaimana solusi atas dilema ini. Tentu solusinya selalu tidak mudah. Hanya dalam pemikiran ekologi, solusi yang umum diwacanakan, adalah seperti ini:
Pemerintah dan perusahaan harus mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Ini juga menjadi pandangan Ulil. Lepas dari regulasi pengelolaan yang berkelanjutan yang banyak, dan tidak dijalankan di Indonesia. Tapi peraturannya jelas ada.
Pemerintah harus menerapkan regulasi lingkungan yang ketat untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam dilakukan dengan cara yang tidak merusak ekosistem. Ini argumen aktivis lingkungan. Para aktivis sering memantau dan melaporkan adanya kerusakan ekosistem, akibat regulasi ketat pemerintah yang tidak dijalankan. Contoh paling aktual, dokumentasi penambangan nikel beberapa hari yang lalu (film dokumenter “Kutukan Nikel”).
Mengembangkan dan menerapkan teknologi ramah lingkungan yang dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Ini argumen Ulil. Pelan tapi pasti memang harus ke arah ini.
Perusahaan harus mengimplementasikan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang fokus pada pelestarian lingkungan dan pengurangan jejak ekologis. Soal CSR ini tidak muncul dalam perdebatan.
Keadilan Antargenerasi
Dilema moral lainnya adalah keadilan antargenerasi. Generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga lingkungan agar tetap lestari bagi generasi mendatang. Namun, sering kali tindakan yang menguntungkan secara ekonomi dalam jangka pendek, dapat merugikan lingkungan dalam jangka panjang.
Misalnya, penggunaan bahan bakar fosil, seperti tambang termasuk batu bara, dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi saat ini, tetapi juga mempercepat perubahan iklim yang berdampak negatif pada generasi mendatang. Isu keadilan antargenerasi adalah isu yang tidak banyak muncul dalam perdebatan. Tapi isu keadilan ini yang seharusnya muncul dalam perdebatan, sangat penting, yang telah menyebabkan banyak Generasi Z yang merasa hidup mereka akan sangat berat di masa depan.
Isu ini mengangkat pertanyaan penting tentang hak dan kewajiban kita terhadap anak cucu kita. Apakah kita berhak mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya? Atau, apakah kita memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi planet yang sehat dan layak huni? Ini pertanyaan-pertanyaan etis terkait keputusan moral kita atas eksploitasi tambang, dan eksploitasi alam lainnya. Ulil dan para pembelanya, tidak menghadapkan dirinya pada refleksi etis ini.
Solusinya? Ini beberapa pemikiran yang saya catat dari berbagai literatur filsafat lingkungan, seperti:
Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pelestarian lingkungan melalui pendidikan di semua tingkat, dari sekolah dasar hingga universitas; Pemerintah harus merancang kebijakan lingkungan yang memperhitungkan dampak jangka panjang dan bukan hanya keuntungan ekonomi jangka pendek; Meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan sumber energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Semua ini untuk meningkatkan kesadaran ekologi yang kuat di segala lini, mulai dari keluarga, masyarakat, pemerintah, perusahaan, tentu termasuk agama dan tokoh-tokoh agamanya.
Hak Hewan dan Tumbuhan vs Kepentingan Manusia
Dalam konteks ekologi, dilema moral juga sering muncul ketika mempertimbangkan hak hewan dan tumbuhan. Soal ini tidak muncul dalam perdebatan kita. Aktivitas manusia seperti perburuan, peternakan, perikanan, dan pertanian intensif sering kali mengorbankan kesejahteraan hewan dan tumbuhan. Sementara beberapa orang berpendapat bahwa manusia memiliki hak untuk menggunakan hewan dan tumbuhan, untuk kebutuhan pangan dan lainnya, yang lain menekankan bahwa hewan dan tumbuhan juga memiliki hak untuk hidup bebas dari penderitaan. Prinsip ekologi agama Buddha sangat kuat menyuarakan ini: Biarlah semua makhluk berbahagia.
Dilema ini semakin kompleks ketika kita mempertimbangkan bahwa aktivitas manusia yang merusak lingkungan juga berdampak pada habitat alami hewan dan tumbuhan. Penebangan hutan, polusi, dan perubahan iklim semuanya mengancam kelangsungan hidup banyak spesies hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu, muncul pertanyaan etis, yang berkembang baru-baru ini, tentang sejauh mana kita harus melindungi hak-hak hewan dan tumbuhan, bahkan jika itu berarti mengubah cara hidup dan konsumsi kita.
Solusinya? Di bawah ini catatan saya dari berbagai literatur yang saya pelajari:
Mengembangkan dan menerapkan undang-undang yang melindungi hak-hak hewan dan tumbuhan, dan memastikan kesejahteraan hewan dan tumbuhan dalam industri kehutanan, peternakan, perikanan, dan perburuan. Ini sesuatu yang belum terpikir secara holistik. Tapi sudah banyak disadari para aktivis lingkungan; Mendorong praktik pertanian yang lebih ramah hewan, tumbuhan, dan lingkungan, seperti agroforestri dan peternakan organik. Ini juga sudah mulai dilakukan;
Mengembangkan dan mempromosikan alternatif nabati sebagai sumber pangan untuk mengurangi ketergantungan pada produk hewani. Ini juga sudah mulai populer. Dalam dunia konsumsi sekarang ada istilah “plant based”, pengganti vegetarian dan vegan yang dianggap berkonotasi keagamaan.
Perubahan Iklim dan Tanggung Jawab Global
Perubahan iklim adalah isu ekologi yang menghadirkan dilema moral global. Negara-negara berkembang sering kali menjadi yang paling terkena dampak perubahan iklim, meskipun mereka menyumbang sedikit terhadap emisi gas rumah kaca dibandingkan negara-negara maju. Ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan tanggung jawab: siapa yang harus menanggung beban utama dalam mengatasi perubahan iklim?
Dalam perdebatan Ulil tidak terlalu yakin dengan adanya perubahan iklim, apalagi krisis iklim. Ulil bahkan mencurigai advokasi-advokasi perubahan iklim, sebagai “konspirasi”. Apalagi wacana perubahan dan krisis iklim yang sengaja dipicu dalam istilah Ulil, dengan keadaan alarmisme.
Hal lain terkait krisis iklim, yang tidak muncul dalam perdebatan, adalah bahwa negara-negara maju, yang telah mendapatkan keuntungan ekonomi dari industrialisasi, memiliki tanggung jawab moral untuk memimpin upaya mitigasi perubahan iklim. Namun, implementasi kebijakan yang efektif sering kali terhalang oleh kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek. Di sisi lain, negara-negara berkembang membutuhkan bantuan untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim dan beralih ke model pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Solusinya? Ini yang terus menjadi perdebatan dalam COP.
Negara-negara harus bekerja sama melalui perjanjian internasional seperti Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berbagi teknologi hijau; Negara-negara maju harus menyediakan pendanaan dan dukungan teknologi untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan dampak perubahan iklim dan mengembangkan ekonomi berkelanjutan; Mendorong transisi global dari bahan bakar fosil ke energi bersih melalui insentif dan subsidi untuk energi terbarukan.
Ulil sadar tentang perlunya transisi energi bersih. Tapi tidak memberi perhatian besar pada soal ini, karena defensif soal bolehnya atau halalnya eksploitasi tambang (batu bara).
Penggunaan Teknologi dan Risiko Ekologis
Ini juga hal yang tidak muncul dalam perdebatan. Kemajuan teknologi menawarkan solusi potensial untuk masalah ekologi, tetapi juga menghadirkan dilema moral. Misalnya, teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, produksi dan pembuangan peralatan teknologi ini juga memiliki dampak lingkungan.
Selain itu, teknologi geoengineering, yang bertujuan untuk mengubah iklim bumi untuk mengatasi pemanasan global, menimbulkan risiko yang belum sepenuhnya dipahami. Pertanyaan etisnya: Apakah kita berhak mengubah iklim bumi dengan cara yang bisa berpotensi menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan? Bagaimana jika solusi teknologi ini gagal atau menimbulkan dampak negatif yang lebih besar?
Pertanyaan-pertanyaan etis seperti ini tidak muncul dalam perdebatan. Padahal, penggunaan teknologi mempunyai dampak risiko ekologis. Soal ini perlu mendapat perhatian. Karena ini adalah salah satu harapan besar untuk solusi krisis lingkungan. Ulil juga memunyai harapan terkait teknologi ini.
Biasanya solusi yang diberikan untuk penggunaan teknologi dan dampak risiko ekologisnya, adalah penelitian dan pengembangan: Maka perlu terus mendukung penelitian yang berfokus pada pengembangan teknologi hijau yang aman dan berkelanjutan.
Sebelum menerapkan teknologi baru, perlu dilakukan penilaian dampak lingkungan yang komprehensif untuk memahami potensi risiko dan manfaat. Secara normatif tentu ini sangat disadari. Tapi Apakah dipraktikkan? Juga apakah ada hukum yang ditegakkan kalau ini tidak dilakukan?
Solusi lain, perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan risiko yang efektif untuk meminimalkan potensi dampak negatif dari teknologi baru seperti geoengineering.
Akhirnya: Dilema moral dalam isu ekologi yang sebagian saya gambarkan di atas, menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara manusia dan alam atau lingkungannya. Soal ini sebagian terasa dalam perdebatan kita. Menghadapi dilema ini membutuhkan refleksi mendalam tentang nilai-nilai kita, tanggung jawab kita terhadap sesama manusia, hewan, tumbuhan dan bumi ini secara keseluruhan, serta keputusan yang seimbang antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Refleksi tentang nilai-nilai dan tanggungjawab etis kita tidak terlalu muncul dalam perdebatan.
Saya merenungkan dilema moral yang muncul dari perdebatan Ulil dan para pendebatnya, memerlukan solusi yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan semua aspek etika, ekonomi, dan ekologi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua makhluk hidup di bumi.
Mengatasi dilema moral dalam isu ekologi bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan pendekatan yang tepat dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan akademisi, kita dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Solusi-solusi ini memerlukan komitmen jangka panjang dan kesadaran kolektif untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi semua makhluk hidup di bumi. Misalnya:
Mengadopsi kebijakan yang berpihak pada lingkungan, menerapkan regulasi yang ketat, dan mempromosikan pendidikan lingkungan.: Berkomitmen pada praktik bisnis berkelanjutan, mengurangi jejak karbon, dan mengimplementasikan program CSR yang pro-lingkungan. Juga meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam pelestarian lingkungan melalui perubahan gaya hidup dan konsumsi yang lebih ramah lingkungan. Dan tentu saja tugas para peneliti dan akademisi, melakukan penelitian yang berfokus pada solusi berkelanjutan dan memberikan rekomendasi kebijakan berbasis ilmiah.
Demikian catatan saya atas bacaan perdebatan Ulil dan para pendebatnya. Seperti saya sebut di atas, mengatasi dilema moral dalam isu ekologi bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan pendekatan yang tepat dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan akademisi, kita boleh berharap akan ada jalan keluar yang optimis.
Daripada berpesimis berlarut-larut akan dampak perubahan dan krisis iklim. Kita perlu lebih optimis, percaya pada seed of hope, bahwa kemanusiaan kita akan mampu membangun sebuah bumi yang berkelanjutan. Ini pandangan saya. Tapi untuk mencapai ini, memerlukan kepemimpinan ekologis yang belum dibahas dalam perdebatan. Saya ingin merenungkan soal kepemimpinan ekologis, melanjutkan optimisme bahwa kita bisa memecahkan dilema ekologi yang sudah saya sampaikan di atas.
Perlunya Kepemimpinan Ekologis
Kepemimpinan ekologis berarti ada pemimpin yang menjalankan visi ekologis. Kepemimpinan ekologis adalah konsep yang semakin mendapat perhatian di era perubahan dan krisis iklim sekarang ini, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Untuk mendapatkan visi ekologis, saya mendapatkan insight pemikiran Hannah Ritchie, tentang bagaimana bagaimana dunia dapat menghadapi tantangan lingkungan yang mendesak sekarang ini (yang di-denial oleh Ulil).
Menghindari pesimisme, dan kritik yang sudah disampaikan Ulil tentang “alarmisme”. Saya akan coba untuk lebih optimis, dan masuk dengan tema “Kepemimpinan Ekologis”. Pendekatan ini tidak hanya mencakup diskusi tentang fikih lingkungan, tetapi memperluas pandangan kita tentang bagaimana kepemimpinan dapat memainkan peran kunci dalam menjaga kelestarian bumi. Dalam hal ini, Hannah Ritchie memberikan wawasan visioner yang berharga. Ia jadi inspirasi saya untuk tetap optimis ditengah “alarmisme” yang disebut Ulil dalam artikelnya.
Hannah Ritchie adalah seorang ilmuwan data dan peneliti senior di Our World in Data. Ia juga seorang peneliti Oxford University. Ia dikenal karena pendekatan optimisnya terhadap masalah lingkungan, yang didasarkan pada data dan bukti ilmiah. Ritchie percaya bahwa generasi saat ini dapat menjadi generasi pertama yang mencapai keberlanjutan sejati, yaitu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Dalam bukunya Not the End of the World: How We Can Be the First Generation to Build a Sustainable Planet (2023), ia menyatakan bahwa per kapita emisi karbon telah mencapai puncaknya pada tahun 2012 dan mulai menurun, meskipun populasi dunia terus bertambah. Ini menunjukkan bahwa kita berada di ambang perubahan besar dalam hal keberlanjutan energi. Ritchie menekankan bahwa alat dan teknologi yang diperlukan untuk mencapai keberlanjutan sudah tersedia, tetapi tantangannya adalah bagaimana menerapkannya secara efektif di seluruh dunia.
Ritchie menekankan pentingnya perubahan sistemik dan teknologi skala besar. Dia berpendapat bahwa perubahan perilaku individu secara ekologis saja tidak cukup untuk mencapai keberlanjutan global. Sebaliknya, diperlukan insentif politik dan ekonomi baru, seperti harga karbon global, untuk mendorong adopsi teknologi bersih dan efisiensi energi.
Visinya menjelaskan bagaimana kita dapat menjadi generasi pertama yang membangun Bumi yang berkelanjutan. visinya ini memberikan pandangan optimis dan berbasis data tentang tantangan lingkungan yang kita hadapi serta solusi yang tersedia. Ritchie membahas berbagai isu lingkungan, perubahan iklim, dan cara-cara untuk mengurangi dampak negatif terhadap bumi. Visi ini mengajak kita untuk mengambil tindakan nyata dan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari demi masa depan yang lebih baik.
Beberapa visi pentingnya yang bisa menginspirasi kita: Visinya menekankan bahwa meskipun tantangan lingkungan sangat besar, ada banyak alasan untuk optimis tentang masa depan. Visinya menggunakan data dan fakta ilmiah untuk mendukung argumennya, memberikan pandangan yang berbasis pada bukti. Visinya tidak hanya membahas masalah, tetapi juga memberikan solusi praktis yang dapat diambil oleh individu dan masyarakat. Visinya menekankan pentingnya peran generasi muda kita dalam membangun planet yang berkelanjutan untuk masa depan.
Akhirnya, visinya bertujuan untuk menginspirasi kita untuk bertindak dan membuat perubahan positif dalam kehidupan kita sehari-hari. Pesannya adalah bahwa kita memiliki kapasitas dan tanggung jawab untuk menciptakan perubahan positif dan bahwa setiap tindakan kecil bisa berkontribusi terhadap upaya global untuk menyelamatkan Bumi kita.
Hannah Ritchie percaya pada adanya krisis iklim. Ia mengakui tantangan besar yang dihadapi oleh Bumi kita akibat perubahan iklim. Meskipun demikian, pendekatan Ritchie terhadap krisis iklim adalah berbasis data dan optimis. Ia berpendapat bahwa meskipun masalah yang dihadapi sangat serius, masih ada peluang dan solusi yang dapat kita terapkan untuk mengatasi krisis ini. Visinya bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang situasi yang kita hadapi, serta menginspirasi tindakan nyata dan berkelanjutan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Menurut Ritchie terdapat beberapa peluang dan solusi yang dapat kita terapkan untuk mengatasi krisis iklim, di antaranya:
Beralih dari sumber energi fosil ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidroelektrik. Ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab utama perubahan iklim; Meningkatkan efisiensi energi dalam segala aspek kehidupan, mulai dari rumah tangga hingga industri, untuk mengurangi konsumsi energi dan emisi; Mengadopsi praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik, rotasi tanaman, dan pertanian regeneratif yang meningkatkan kesehatan tanah dan mengurangi emisi karbon; Mengurangi, mendaur ulang, dan mengelola limbah dengan lebih baik untuk mengurangi dampak lingkungan. Ini termasuk pengurangan limbah makanan, plastik, dan bahan berbahaya lainnya.
Selanjutnya, melindungi hutan, lahan basah, dan ekosistem penting lainnya yang berperan sebagai penyerap karbon alami. Selain itu, melakukan reboisasi dan restorasi lahan yang terdegradasi; Mengembangkan dan menerapkan teknologi baru yang dapat membantu mengurangi emisi dan mengatasi dampak perubahan iklim, seperti teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, serta teknologi transportasi yang lebih bersih; Mendorong pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung tindakan iklim, seperti insentif untuk energi terbarukan, regulasi emisi, dan dukungan untuk penelitian dan pengembangan teknologi hijau.
Selanjutnya, mengajak individu untuk membuat perubahan dalam gaya hidup, seperti mengurangi konsumsi daging, menggunakan transportasi umum, dan memilih produk yang lebih ramah lingkungan; Meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang isu perubahan iklim sehingga lebih banyak orang memahami pentingnya tindakan iklim dan bagaimana mereka bisa berkontribusi.
Juga mendorong kerjasama internasional untuk mengatasi perubahan iklim, karena ini adalah masalah global yang memerlukan solusi kolektif dari seluruh negara di dunia.
Hannah Ritchie menekankan bahwa kombinasi dari solusi-solusi ini, jika diimplementasikan secara efektif, dapat membantu kita mengatasi krisis iklim dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.
Mencapai Masa Depan yang Berkelanjutan
Kata keberlanjutan (sustainability) semakin sering kita dengar dalam diskusi publik, media, dan kebijakan pemerintah. Namun, banyak orang mungkin belum sepenuhnya memahami apa yang dimaksud dengan keberlanjutan dan bagaimana mencapainya. Hannah Ritchie, dalam visinya mengungkap bahwa pemahaman konvensional tentang keberlanjutan sering kali menyesatkan.
Apa makna sebenarnya dari keberlanjutan bagi kemanusiaan dan bagaimana kita dapat menjadi generasi pertama yang benar-benar mencapainya? Secara konvensional, keberlanjutan sering dikaitkan dengan tindakan sederhana seperti mengurangi penggunaan plastik, menghemat energi, atau menanam pohon. Meskipun tindakan-tindakan ini sangat penting, Ritchie berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu sempit dan tidak cukup untuk mencapai keberlanjutan sejati. Keberlanjutan sejati memerlukan perubahan sistemik dalam cara kita mengelola sumber daya, memproduksi barang, dan mengonsumsi energi.
Keberlanjutan bukan hanya tentang melestarikan lingkungan untuk generasi mendatang, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang dapat terus-menerus mendukung kehidupan manusia tanpa merusak Bumi, satu-satunya rumah kita bersama. Ini mencakup aspek ekonomi, sosial, politik dan lingkungan, yang semuanya saling terkait.
Ritchie menggunakan data historis untuk menunjukkan bagaimana kemajuan manusia telah dicapai dan tantangan apa yang masih dihadapi. Salah satu poin penting yang diungkapkannya adalah bahwa banyak kemajuan yang kita nikmati saat ini, seperti peningkatan harapan hidup, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan akses ke pendidikan, telah dicapai dengan biaya lingkungan yang tinggi. Pemanfaatan bahan bakar fosil, deforestasi, dan polusi adalah beberapa contoh dampak negatif dari kemajuan ini.
Namun, Ritchie juga menyoroti bahwa ada banyak alasan untuk tetap optimis. Data menunjukkan bahwa kita telah membuat kemajuan signifikan dalam beberapa aspek keberlanjutan. Misalnya, teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin semakin efisien dan terjangkau. Selain itu, ada peningkatan kesadaran global tentang pentingnya keberlanjutan, yang tercermin dalam perjanjian internasional seperti Kesepakatan Paris.
Salah satu kesalahan pemahaman utama tentang keberlanjutan adalah anggapan bahwa kita harus memilih antara kemajuan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Ini adalah dilema palsu. Keberlanjutan tidak berarti harus mengorbankan kemajuan ekonomi; sebaliknya, keberlanjutan dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi.
Contoh konkret adalah ekonomi sirkular, di mana barang dan material terus digunakan kembali dan didaur ulang, mengurangi limbah dan kebutuhan akan sumber daya baru. Ekonomi sirkular tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru melalui inovasi dan efisiensi.
Menjadi Generasi Pertama yang Berkelanjutan
Untuk menjadi generasi pertama yang benar-benar berkelanjutan, kita harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi. Beberapa langkah yang dapat kita ambil, dan untuk ini tentu memerlukan kepemimpinan ekologis. Langkah itu adalah:
Mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan beralih ke sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air. Investasi dalam teknologi energi bersih dan peningkatan infrastruktur energi terbarukan adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan.
Menerapkan prinsip ekonomi sirkular dengan mempromosikan daur ulang, penggunaan kembali, dan perbaikan barang. Ini dapat mengurangi limbah, menghemat sumber daya, dan menciptakan lapangan kerja baru.
Meningkatkan efisiensi energi di semua sektor, dari transportasi hingga bangunan, dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghemat biaya energi.
Konservasi dan pemulihan ekosistem alami seperti hutan, lahan basah, dan terumbu karang sangat penting untuk menjaga keseimbangan alam dan mendukung keberlanjutan.
Mendorong pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, termasuk memilih produk lokal dan organik, serta mendukung bisnis yang berkomitmen pada praktik ramah lingkungan.
Maka keberlanjutan adalah tantangan kompleks yang membutuhkan pendekatan multi-disipliner dan kolaborasi global. Dengan memahami data dan memanfaatkan teknologi serta praktik terbaik, kita dapat mengubah cara kita hidup dan bekerja untuk mencapai masa depan yang berkelanjutan.
Keberlanjutan bukanlah tentang kembali ke masa lalu atau mengorbankan kemajuan; ini tentang menciptakan sistem yang dapat mendukung kehidupan manusia dalam jangka panjang. Jika kita mengambil langkah-langkah yang tepat sekar, kita bisa menjadi generasi pertama yang benar-benar berkelanjutan, meninggalkan warisan yang sehat dan makmur untuk generasi mendatang. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh