Perspektif

Pohon Pendidikan Islam yang Tak Tumbuh Subur

3 Mins read

Bayangkan, bahwa pendidikan yang selama ini kita kenal adalah sebatang pohon yang tumbuh. Akarnya memuat tradisi dan nilai-nilai fundamental, batangnya adalah struktur kurikulum, sementara cabang dan daunnya mewakili keragaman perspektif dan interpretasi. Tentunya, pohon yang sehat akan selalu membutuhkan keseimbangan antara kekuatan akar dan fleksibilitas cabang-cabangnya.

‘Pengetahuan Resmi’ dalam Pendidikan Islam

Yang terpenting dari analogi itu adalah munculnya pertanyaan, bagaimana kita dapat menyeimbangkan ‘pengetahuan resmi’ dengan keragaman perspektif dalam konteks pendidikan Islam? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di era globalisasi dan informasi yang kian kompleks.

Situasi ini sempat disinggung oleh Michael W. Apple, seorang tokoh penting dalam teori kurikulum kritis. Ia memperkenalkan konsep ‘pengetahuan resmi’ yang merujuk pada pengetahuan yang dianggap sah dan penting untuk diajarkan dalam sistem pendidikan.

Menurut Apple, ‘pengetahuan resmi’ ini sering mencerminkan kepentingan dan perspektif kelompok dominan dalam masyarakat, sementara mengabaikan suara-suara marginal. Jelas, konsep ini membawa tantangan serius bagi dunia pendidikan Islam.

Pendekatan ‘Pengetahuan Resmi’ yang Kaku

Ketika kita berbicara soal pendidikan Islam, ‘pengetahuan resmi’ bisa jadi meliputi interpretasi tertentu dari Al-Quran dan Hadits, mazhab fikih tertentu, atau sudut pandang teologis tertentu yang dianggap ortodoks. Namun, Islam sendiri sebenarnya sudah mengajarkan tentang pentingnya keragaman.

Coba kita tengok. Al-Quran telah menyatakannya dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”

Ayat ini menekankan bahwa keragaman adalah desain ilahi yang bertujuan untuk saling memahami dan memperkaya satu sama lain.

Akan tetapi, realitasnya, banyak lembaga pendidikan Islam cenderung mengadopsi pendekatan ‘pengetahuan resmi’ yang kaku. Hal ini jika diperhatikan, dapat berdampak negatif pada perkembangan intelektual dan spiritual peserta didik.

Baca Juga  FPI Dibubarkan, Tapi Spiritnya Akan Selalu Ada

Pertama, ketidakseimbangan ini dapat membatasi kemampuan berpikir kritis siswa. Kedua, dapat menimbulkan kesenjangan antara apa yang dipelajari di sekolah dan realitas dunia yang beragam. Ketiga, dapat menyebabkan alienasi bagi siswa yang perspektifnya tidak tercermin dalam kurikulum ‘resmi’.

Peluang Integrasi Perspektif dalam Pendidikan Islam

Meski begitu, di sisi lain, terbuka peluang besar untuk mengintegrasikan perspektif yang beragam itu dalam pendidikan Islam masa kini. Sebab, Al-Quran sendiri sejatinya selalu mendorong pemikiran kritis manusia, seperti yang tertuang dalam Surah Az-Zumar ayat 18,

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.

Tentunya, ayat ini mengajak kita untuk tidak menerima informasi begitu saja, sebab kita perlu dengan serius menganalisis dan memilih segala sesuatu hanya yang terbaik.

Selain itu, prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam, seperti yang tercantum dalam Surah An-Nisa ayat 135, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu,” dapat menjadi landasan untuk memastikan representasi yang adil dari berbagai perspektif dalam kurikulum.

Menyeimbangkan ‘Pengetahuan Resmi’ dan Keberagaman Pendidikan Islam

Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kita dapat menyeimbangkan ‘pengetahuan resmi’ dengan keragaman perspektif dalam pendidikan Islam?

Mungkin, beberapa pandangan ini setidaknya dapat membantu bagaimana keseimbangan di dalam pendidikan Islam masa kini dapat terbentuk.

Pertama, mengadopsi pendekatan inklusif dalam pengembangan kurikulum Islam. Mengapa ini penting? Sebab, hal ini berarti melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ulama dari berbagai mazhab, akademisi, praktisi pendidikan, dan bahkan perwakilan siswa dalam proses penyusunan kurikulum. Dengan begitu, kurikulum yang dihasilkan akan lebih komprehensif dan representatif.

Baca Juga  Ramadhan Sebagai Penguat Iman dan Imun

Kedua, mendorong dialog dan perbedaan pendapat yang konstruktif di dalam kelas. Guru, yang menjadi penggerak, dapat memfasilitasi diskusi tentang berbagai interpretasi dan perspektif dalam Islam. Guru dapat mengajarkan siswa untuk menghargai perbedaan sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip fundamental Islam. Sebab, perbedaan pendapat di antara yang konstruktif sebenarnya adalah rahmat.

Ketiga, yakni dengan mengintegrasikan pengetahuan tradisional dan modern. Lantaran pendidikan Islam tidaklah harus memisahkan diri dari perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Akan tetapi sebaliknya, ia dapat menjembatani antara kearifan tradisional Islam dengan temuan-temuan ilmiah terbaru. Sehingga hal ini dapat menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang relevan dan dinamis.

Keempat, mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis siswa. Maksudnya, alih-alih hanya menyajikan ‘pengetahuan resmi’, pendidikan Islam harus mengajarkan siswa bagaimana menganalisis, mengevaluasi, dan mensintesiskan informasi dari berbagai sumber. Temtunya, hal ini akan mempersiapkan mereka, para siswa, untuk menghadapi kompleksitas dunia modern sambil tetap berpegang pada nilai-nilai Islam.

Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pendidikan Islam yang ideal adalah yang tumbuh dengan akar yang kuat dalam tradisi dan nilai-nilai Islam. Namun, meski tumbuh dengan akar yang kuat dalam tradisi Islam, pendidikan harus memiliki cabang yang beragam dan fleksibel, serta mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya.

Meski begitu, ‘pengetahuan resmi’ tetap penting sebagai landasan, namun tidak boleh menghalangi pertumbuhan dan perkembangan perspektif baru yang memperkaya pemahaman kita tentang Islam dan dunia.

Penutup

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali pertanyaan awal, tentang bagaimana menyeimbangkan ‘pengetahuan resmi’ dengan keragaman perspektif dalam pendidikan Islam? Jawabannya, terletak pada komitmen kita untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai ruang yang inklusif, kritis, dan dinamis.

Baca Juga  Empat Tingkatan Orang Mengerjakan Shalat, Kamu yang Mana?

Pastinya, kondisi ini bukan tugas yang mudah, tetapi situasi ini adalah tantangan yang harus kita hadapi jika kita ingin mempersiapkan generasi Muslim yang mampu berkontribusi secara positif dalam dunia yang semakin kompleks dan beragam.

Sudah saatnya kita memulai perubahan ini, dimulai dari ruang kelas, kurikulum, hingga kebijakan pendidikan Islam secara luas. Sehingga, kita dapat memastikan bahwa pohon pendidikan Islam akan terus tumbuh subur, memberikan naungan dan buah yang bermanfaat bagi umat dan seluruh umat manusia.

Adhitya Prasta Pratama
4 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds