Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read

Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan etika kerja yang baik dijunjung tinggi. Namun, korupsi tetap bisa terjadi bahkan di kalangan yang religius.

Beberapa koruptor di Indonesia bahkan bergelar kiyai, lora, ustadz, doktor, profesor. Juga beragam profesi bergengsi. Kenapa orang yang tampak religius bisa korupsi, mungkin kita bisa membedah beberapa fakta sosial.

Banyak individu yang menjalankan ritual keagamaan, tetapi tidak sepenuhnya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin beribadah secara teratur, tetapi memisahkan etika agama dari praktik bisnis atau pekerjaan. Ibadah urusan sendiri, korupsi kepentingan sendiri.

Beberapa orang bisa tergoda untuk mencari pembenaran atas tindakan korupsi mereka, misalnya dengan alasan “demi keluarga,” “demi kelangsungan organisasi” , ”demi membesarkan dan biaya partai”, atau bahkan “demi kebaikan bersama”, dan alasan lain sebagai pembenar. Semakin intelek semakin pintar membangun narasi alibi. Rasionalisasi ini memungkinkan mereka merasa tetap baik secara moral, meskipun melakukan korupsi.

Di masyarakat religius, keluarga dan komunitas sering memiliki harapan besar terhadap individu untuk tampil sukses secara finansial dan sosial. Tekanan ini kadang mendorong orang untuk menghalalkan segala cara agar memenuhi ekspektasi tersebut, meski dengan melanggar nilai kejujuran.

Bahkan ada tokoh agama yang membenarkan money politik hanya karena kadernya maju sebagai calon legislatif ataupun eksekutif. Keberadaan kader ormas pada jabatan-jabatan tertentu dianggap sebagai kemenangan dan dominasi eksistensi meskipun menghalalkan segala cara. Kader politik adalah mesin uang dan kekuasaan yang membanggakan.

Di beberapa masyarakat religius, terutama yang memiliki nilai-nilai kekeluargaan atau kolektifitas yang kuat, balas budi dan loyalitas terhadap kerabat bisa melampaui etika dan aturan formal. Budaya seperti ini bisa menjadi pintu masuk bagi korupsi, misalnya dengan memberikan jabatan atau kemudahan kepada orang yang punya hubungan dekat. Nepotisme adalah sisi mata uang korupsi yang cukup mengakar. Jika seorang kader menduduki jabatan tinggi, maka sebuah instansi menjadi sarang gerbong kelompoknya.

Baca Juga  Tiga Cara Memahami Populisme

Tidak jarang posisi ini menjadi pintu terbuka bagi tindak korupsi. Tragisnya kader yang dibanggakan karena menjadi mesin uang dan kekuasaan bagi ormas, ketika terbukti korupsi maka dibuang ramai-ramai. Menyumbang uang kader disayang, tak ada manfaat kader dibuang.

Tidak jarang pula praktik keagamaan lebih ditekankan secara ritual tanpa penanaman nilai-nilai etis yang mendalam. Padahal, banyak ajaran agama yang secara jelas menentang perilaku koruptif, tapi ajaran ini sering tidak menjadi fokus pendidikan agama. Ajaran etika dan moral kalah oleh dzikir dan do’a yang terkadang juga menjadi alat politik.

Ketika lingkungan atau komunitas secara umum sudah terbiasa dengan tindakan korupsi kecil seperti “uang pelicin” atau suap, perilaku ini menjadi dianggap normal. Bahkan, ada pemahaman bahwa tidak melakukan praktik ini justru bisa merugikan, dan ini memengaruhi mentalitas bahkan di masyarakat religius.

Korupsi pada masyarakat religius menunjukkan bahwa religiusitas harus diperdalam agar lebih menyentuh sisi moral dan etika pribadi. Perbaikan mentalitas ini membutuhkan kesadaran kolektif serta pengaruh positif dari pemuka agama, tokoh masyarakat, dan lingkungan.

Pendekatan normatif sosiologis agama berupaya menggunakan kekuatan nilai, norma, dan komunitas agama untuk mencegah dan memerangi korupsi. Nilai agama tidak hanya menjadi acuan pribadi, tetapi juga menjadi kekuatan sosial yang membentuk perilaku masyarakat dalam menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang.

Korupsi pada dasarnya merupakan hasil dari kombinasi faktor-faktor pribadi, sosial, dan struktural. Perilaku ini tidak hanya disebabkan oleh lemahnya hukum, tetapi juga karena adanya kelemahan dalam pengawasan sosial, lemahnya integritas individu, serta struktur kekuasaan yang tidak seimbang dan tentu saja religiusitas palsu.

Membasmi korupsi tidak hanya soal penegakan hukum, tetapi juga memerlukan perubahan mendasar pada budaya, pendidikan agama yang benar, sistem sosial yang sehat, dan pengawasan kekuasaan yang seimbang.

Baca Juga  Khalifah fil Ardl, Khalifatur Rasul, dan Khalifatullah: antara Dua Titik Ekstrem

Bagi masyarakat religius, mestinya nilai-nilai agama menjadi ruh pada setiap tindakan yang pada gilirannya membangun mentalitas spiritual al khauf wa raja. Sederhananya, takut neraka dan berharap surga. Jika neraka tidak ditakuti, dan surga tidak menarik hati, maka jangan harap korupsi bisa dibasmi.

Editor: Soleh

Avatar
13 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, dan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….
Perspektif

Begini Relasi Ideal Antara Guru, Murid, dan Orang Tua

4 Mins read
Heboh kriminalisasi guru menjadi tranding topic dalam beberapa waktu terakhir ini. Beberapa guru yang sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik harus berurusan…
Perspektif

Perlukah Muhammadiyah Menunda Penggunaan KHGT?

3 Mins read
Diskusi seputar hisab dan rukyat menjadi isu yang menarik setiap menjelang Ramadan. Apalagi dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Kalender…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds