Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok yang tidak bermadzhab adalah bid’ah yang sangat berbahaya. Kepada kelompok tersebut, ia juga menjatuhi vonis sesat.
Ustadz tersebut lalu mengutip salah satu kitab karangan Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi yang berjudul Al-Lamadzhabiyah ahthoru bid’atin wa tahaddus Asy-syariah (2015), yang apabila diterjemahkan maka judulnya adalah “Anti Madzhab, Bid’ah yang paling berbahaya dan penghancur syariah.
Ceramah tersebut menjadi viral karena dikaitkan dengan ormas di Indonesia yang tidak mengafiliasikan dirinya kepada mazhab tertentu. Dari sinilah, banyak asatidz Muhammadiyah yang angkat bicara karena merasa bahwa narasi tersebut dimaksudkan kepada Muhammadiyah.
Terlepas dari itu semua, perlu kita ketahui dahulu apa itu Al-Lamadzhabiyah yang dimaksud dalam kitab tersebut. Al-Lamadzhabiyah, Kitab tersebut ditulis dalam rangka merespon satu kelompok yang dalam kitab tersebut disebut dengan Shohibul Kurros. Al-Bhuti sendiri tidak membeberkan siapakah tokoh dan pionir gerakan tersebut. Namun yang pasti, kelompok tersebut sangatlah berbahaya sehingga beliau merasa perlu melontarkan kritik yang kemudian tertuang hingga hampir 200 halaman.
Berikut akan saya ringkas butir-butir pemikiran Shohibul Kurros dalam Kitab Al-Lamadzhabiyah;
Pertama, ajaran Islam sangat mudah difahami oleh siapapun, baik mereka orang Arab asli ataupun ‘ajam (non Arab). Oleh karena itu, seseorang tidak perlu taqlid kepada ulama atau imam tertentu. Mazhab tidak lebih dari sekedar kumpulan pemikiran ahli ilmu dalam memahami syariat, sehingga pendapatnya sangatlah relatif.
Kedua, mereka mengajak agar hanya berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja. Keduanya tersifati ma’shum oleh Allah dan Rasul-Nya. Sampai disini nampaknya tidak ada yang harus dikomentari, karena Muhammadiyah pun mengkampanyekan slogan tersebut.
Masalahnya narasi tersebut masih memiliki kelanjutan. Mereka menambahkan bahwa para imam madzhab itu tidak ma’shum. Walaupun memiliki gelar warosatul ambiya’ , mereka tetaplah manusia. Mana mungkin umat ber-i’timad kepada manusia yang bertabiat salah dan lupa. Termasuk video yang masih hangat, seorang da’i salah satu stasiun Tv satelit mengatakan bahwa bahasa Al-Qur’an itu lebih mudah daripada bahasa ulama madzhab, dan bahasa hadis lebih mudah daripada bahasa fuqoha’.
Munculnya pernyataan-pernyataan tersebut membuktikan bahwa ada beberapa cara pandang yang beragam dalam mengekspresikan Ar-Ruju’ ila Al-Qur’an wa As-Sunnah.
Ketiga, bermadzhab merupakan perbuatan bid’ah dholalah karena tidak ada di zaman Nabi. Eksistensi madzhab baru muncul pada abad pertama hijriyah. Begitulah narasi yang selalu dikampanyekan, segala sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi adalah bid’ah yang sesat. Keabsahan bermadzhab hanyalah kepada Rasulullah Saw. Barang siapa mengikuti pendapat imam madzhab yang empat, maka telah nyata baginya berpaling dari jalan kaum muslimin.
Keempat, taqlid adalah perbuatan yang tercela sekalipun dilakukan oleh orang awam. Mereka seperti tidak membedakan antara mujtahid dan awam. Kelima, apabila terdapat beberapa riwayat yang tidak diketahui manakah yang lebih dahulu dan mana yang datang belakangan, hendaklah mengamalkan semua hadis-hadis tersebut. Sesekali mengamalkan hadis yang ini, sesekali yang lain. Mereka seperti tidak mengindahkan konsep nasikh dan mansukh. Persis sebagaimana Syiah yang juga tidak mengakui adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an.
Demikian pokok pikiran Shohibul Kurros yang diuraikan Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam kitab Al-Lamadzhabiyah. Sampai disini, apakah tepat apabila ustadz tersebut menyamakan Muhammadiyah dengan gerakan anti madzhab sebagaimana Shohibul Kurros? Saya menduga beliau tidak membaca buku tersebut secara utuh. Padahal kalau beliau jeli dan jujur dalam membaca kitab, Shohibul Kurros juga menyesatkan mereka yang beri’timad kepada salah satu madzab.
Muhammadiyah tidak anti bermazhab, tetapi memiliki pendekatan yang berbeda terhadap mazhab dalam Islam. Secara umum, Muhammadiyah menganut prinsip “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih” dan menghindari taqlid (mengikuti suatu mazhab tanpa dasar yang jelas).
Proses kembali pada Al-Qur’an bukan berarti karena telah meninggalkannya, namun menempatkan Al-Quran sebagai rujukan utama. Cara kembali kepada Al-Qur’an tentu tidak serampangan, membutuhkan ilmu alat yang dibutuhkan, menguasai metodologi tafsir, dan tentu saja mempelajari pendapat para ulama terdahulu yang tertulis dalam khasanah kitab.
Jadi, Muhammadiyah menghargai karya-karya ulama dari berbagai mazhab (seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), menempatkannya sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan al-Sunnah dengan melakukan tarjih, berusaha untuk mengambil pandangan yang diyakini lebih sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung. Hal ini bukan berarti yang tidak diambil oleh Tarjih Muhammadiyah tidak dapat diamalkan.
Pendekatan Muhammadiyah ini sering disebut sebagai tajdid atau pembaruan, yang juga dimaksudkan untuk memurnikan Islam dari praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran asli Islam.
Muhammadiyah cenderung menghindari perdebatan antar-madzhab dan menekankan persatuan umat dengan berfokus pada esensi ajaran Islam dengan melakukan tarjih. Ajaran agama tidak seyogyanya hanya diperdebatkan namun diamalkan. Ketika para ulama berbeda pendapat, maka diambillah yang secara metodologi tarjih lebih kuat untuk dilaksanakan.
Banyak yang menuduh bahwa Muhammadiyah menolak imam madzhab tetapi bermazhab pada Majelis Tarjih. Padahal Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak dimaksudkan untuk menjadi mazhab. Fungsi Majelis Tarjih adalah memberikan panduan dan keputusan mengenai persoalan-persoalan keagamaan bagi anggota Muhammadiyah dengan prinsip kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengadopsi pendekatan ijtihad kolektif, dengan tujuan menemukan pandangan yang lebih relevan dan kontekstual sesuai perkembangan zaman, tanpa terikat pada madzhab tertentu.
Walaupun hasil tarjih dapat memberikan panduan yang mendetail dan spesifik, Muhammadiyah tidak bermaksud menjadikan pandangan ini sebagai suatu madzhab baru. Muhammadiyah berfokus pada konsep tajdid (pembaruan), sehingga hasil-hasil tarjih tersebut tetap terbuka untuk dievaluasi dan diperbarui sesuai dengan kebutuhan dan konteks sosial yang berkembang.
Dengan demikian, Majelis Tarjih berperan sebagai rujukan keagamaan yang fleksibel bagi warga Muhammadiyah, bukan sebagai madzhab dalam arti formal. Mengatakan bahwa tidak bermadzhab adalah bid’ah juga merupakan bid’ah yang nyata.
Editor: Soleh