Tajdida

Muhammadiyah 107 Tahun Mencerahkan Peradaban

4 Mins read

Oleh: Fahd Pahdepie

Hari ini Muhammadiyah merayakan hari lahirnya yang ke 107 tahun. Izinkan saya bercerita untuk memahami apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan organisasi ini? Mengapa ia hadir untuk memberikan pencerahan peradaban umat, mencerdaskan kehidupan bangsa? Mengapa KH Ahmad Dahlan adalah Sang Pencerah? Mengapa gerakan ini memperjuangkan Islam Berkemajuan?

Hierarki Realitas

Ada sebuah dongeng filsafat yang dikenal dengan sebutan alegori gua Plato. Tentang bagaimana manusia melihat realitas di sekelilingnya, memahami dan memaknai kebenaran, serta bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.

Melalui dongeng ini, Plato menggambarkan setidaknya empat tingkatan realitas. Yang pertama adalah orang-orang yang duduk menghadap ke dinding gua, seumur hidup tangan dan kaki mereka terpasung. Orang-orang ini melihat bayangan-bayangan di dinding gua itu dan menganggap bahwa bayangan-bayangan itulah realitas dan kebenaran.

Padahal, aneka bayangan itu dihasilkan dari benda-benda yang terpapar cahaya dari sebuah api unggun besar yang terdapat di belakang orang-orang yang terpasung tadi. Di antara api unggun dan orang-orang pasungan itu, ada sekelompok orang lain yang membawa benda-benda mirip wayang-wayangan.

Sayangnya ‘dalang-dalang’ ini tak bisa berkomunikasi dengan orang-orang pasungan tadi, mereka hanya bisa menganggap orang-orang pasungan itu bodoh karena mempercayai bayangan sebagai realitas bahkan kebenaran. Bagi mereka yang membawa wayang-wayangan, realitas adalah aneka benda yang mereka pegang. Namun, kaki orang-orang ini juga terikat, apalagi mereka takut melewati api unggun raksasa yang membatasi gerak mereka.

Nyatanya, di sebalik api unggun itu ada orang-orang lain yang, meski masih terikat kakinya, bisa mencapai mulut gua. Bagi orang-orang ini, ternyata ada cahaya yang lebih terang dari sekadar cahaya yang dihasilkan api unggun: Cahaya yang memancar dari mulut gua. “Betapa bodoh mereka yang percaya bahwa cahaya berasal dari api unggun!” Kata mereka.

Tapi sialnya orang-orang ini juga tak bisa pergi lebih jauh dari mulut gua itu, karena kaki mereka masih terantai. Sementara mereka belum bertemu orang-orang dari kelompok keempat: Orang-orang yang sudah berhasil keluar dari gua dan melihat realitas yang lebih kompleks. Di luar gua ternyata begitu indah. Ada langit, laut, gunung, bukit, sungai, burung-burung yang terbang, aneka binatang dan tumbuhan.

Baca Juga  Kiprah Muhammadiyah dalam Pendidikan

Kerja Pembebasan

Plato hanya bercerita sampai dimensi keempat, meski sebenarnya cerita masih bisa kita lanjutkan dengan sejumlah elaborasi. Bayangkan jika kita memasukkan unsur-unsur lain ke dalam cerita ini, ketika orang-orang yang berhasil keluar dari dalam gua itu berjalan-jalan dan ternyata mereka menemukan peradaban, teknologi, dan lainnya. Bahkan mereka bisa pergi ke luar angkasa!

Namun, alegori gua Plato ini cukup untuk kita pakai menggambarkan betapa realitas memiliki hierarkinya sendiri. Betapa pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran sangat ditentukan oleh hierarki realitas itu. Filsuf muslim Yahya Ibn Habash Suhrawardi bahkan membagi realitas ke dalam sepuluh tangga akal. Akal pertama hinggal akal kesepuluh atau akal kudus.

Bayangkan jika orang-orang yang telah berhasil keluar dari gua memberitahukan apa yang mereka lihat di luar gua kepada orang-orang di dalam gua? Apakah mereka bisa langsung mengerti dan percaya? Bayangkan jika orang di mulut gua memberi tahu kepada para dalang bahwa api unggun bukan sumber cahaya? Bayangkan jika orang-orang yang seumur hidupnya terpasung dan menghadap ke dinding gua diberi tahu bahwa bayangan yang mereka lihat setiap hari bukanlah kebenaran?

Filsuf Prancis Michel Foucault melihat bahwa perbedaan pengetahuan dan pemahaman ini erat hubungannya dengan pengaruh dan kekuasaan di dalam masyarakat. Mereka yang tahu lebih banyak cenderung lebih mudah mengatur dan menentukan banyak hal, sementara yang paling tahu sedikit adalah yang paling menderita. Masayarakat kemudian membentuk strukturnya sendiri berdasarkan akses dan relasi pengetahuan tadi, mereka yang terdidik ada di puncak piramida sosial sementara mereka yang bodoh tersungkur dan berdesak-desakan di dasar piramida itu.

Satu-satunya cara untuk membebaskan orang dari kutukan struktur sosial adalah dengan memberi mereka pendidikan. Agar orang bisa memanjat dari lantai dasar piramida sampai ke puncaknya. Sama seperti upaya membebaskan orang-orang di dalam gua Plato dari aneka rantai yang memasung, agar mereka bisa bergerak dari satu tangga realitas ke tangga yang lain untuk menemukan pencerahan di luar gua.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan Ala Pak AR

Karena cerita dari luar gua begitu memikat dan kisah dari lantai atas piramida sosial begitu menggiurkan, setiap orang ingin mendapatkan pencerahan dan akses pendidikan, bukan? Pengetahuan lantas menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Maka sekolah-sekolah dibuka agar orang bisa bebas dari pojokan gua sampai ke luar, agar mereka yang hampir mati terhimpit di lantai dasar piramida bisa naik ‘lift’ ke status sosial lain yang lebih tinggi.

Apakah benar semudah itu? Sayangnya tidak. Manusia didesain untuk bertahan hidup dan bersaing untuk egois mempertahankan posisi dan status sosialnya masing-masing. Sekolah-sekolah dan universitas tidak benar-benar didesain secara setara agar orang bisa terbebas dari kebodohan dan kemiskinannya. Apalagi dengan cara berpikir kapitalistik, sekolah didesain untuk memiliki tarif yang berbanding lurus dengan kualitas. Sekolah mahal akan menawarkan pendidikan terbaik, di saat yang sama sekolah yang murah menawarkan layanan dan fasilitas pendidikan seadanya.

Akhirnya, hierarki realitas dan struktur sosial justru dijaga dan dilanggengkan. Sekolah untuk orang di pojokan gua hanya akan menghasilkan lulusan yang paling jauh hanya bisa mengintip aktivitas para dalang. Universitas yang diselenggarakan oleh mereka yang berada di puncak piramida, kenyataannya tak bisa diakses dan dibayar oleh mereka yang berada di dasar piramida. Yang bodoh akan terus bodoh, yang miskin akan tetap miskin, begitu juga sebaliknya.

Gerakan Pencerahan

Hari ini Muhammadiyah merayakan hari lahirnya yang ke 107 tahun. Bagi saya, inilah cara terbaik untuk memahami KH. Ahmad Dahlan dan gerakan Muhammadiyah. Ahmad Dahlan muda adalah seorang progresif yang mendambakan pencerahan yang setara untuk semua orang. Baginya pengetahuan harus bisa diakses oleh semua pihak dan bahkan memberikan dampak sosial kemasyarakatan yang berarti, agar orang terbebaskan dari belenggu struktur.

Baca Juga  Roh, Nafs dan, Kalbu: Manusia dalam Perspektif Al-Qur'an

Maka lihatlah ketika Ahmad Dahlan muda 107 tahun lalu, yang sudah melanglang buana di luar gua, memutuskan untuk kembali ke bagian paling dalam gua dan menawarkan pencerahan pengetahuan. Ia didik lagi anak-anak di kampung-kampung, ia dekati dengan penuh kesabaran, ia komunikasikan kepada mereka tentang dunia di luar gua dengan segala kemajuan peradabannya.

Melalui gerakan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan juga ingin membongkar kutukan struktur sosial. Pendidikan harus bisa diakses semua pihak dari semua kalangan. Pendidikan harus bersifat egaliter dan progresif, memiliki semangat pembebasan. Inilah sebabnya mengapa corak gerakan Muhammadiyah berakar kuat pada teologi pembebasan yang diinspirasi oleh tafsir surat al-Ma’un.

Dalam 107 tahun, spirit inilah yang dibawa oleh Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah, gerakan pembaharuan (tajdid). Maka tak heran jika Muhammadiyah terus memberikan pencerahan dan dampak nyata bagi umat dan bangsa. Selama kiprahnya, Muhammadiyah dan Aisyiah telah membangun lebih dari 30.125 TK dan PAUD, 2.766 SD dan MI, 1.826 SMP dan MTs, 1.407 SMA dan MA sederajat, 165 perguruan tinggi, dan 50 SLB. Bayangkan berapa juta orang yang telah tercerahkan dan terbebas dari belenggu strukturnya?

Belum lagi jika kita melihat kiprah Muhammadiyah di bidang lain. Ada 583 rumah sakit dan klinik di seluruh Indonesia, 384 panti asuhan, 20.198 masjid dan mushala, serta masih banyak lagi. Ini baru berangkat dari tafsir kontekstual KH. Ahmad Dahlan terhadap surat Al-Ma’un saja. Bagaimana dan apa jadinya jika kita mengoperasionalisasikan tafsir dari seluruh ayat al-Quran? Di sanalah Muhammadiyah terus bergerak ke masa depan dengan spirit Islam Berkemajuan-nya.

Selamat milad ke-107 untuk Persyarikatan Muhammadiyah. Teruslah mencerahkan ummat dan bangsa!

FAHD PAHDEPIE
Kader Muhammadiyah

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds