Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili realitas global yang mana konten-konten sampah digital membusukkan otak manusia.
Dalam era digital yang semakin mendominasi keseharian kita, setiap individu dunia dihadapkan tantangan memilah butiran informasi berkualitas dari lautan konten yang dangkal.
Islam sebagai agama yang komprehensif telah mengatur dan memberikan solusi terbaik dalam setiap kita berkehidupan. Dalam konteks Brain Rot yang rame diperbincangkan, Islam memiliki konsep Pemeliharaan Akal (Hifdz al-‘Aql) dalam Maqashid al-Syari’ah (Tujuan Utama Syariat). Pendekatan yang relevan sekaligus esensial untuk menangkal dampak buruk Brain Rot di kalangan masyarakat modern.
Apa itu Brain Rot?
Oxford mendefinisikan Brain Rot sebagai kemunduran yang dianggap terjadi pada kondisi mental atau intelektual seseorang, yang utamanya disebabkan oleh konsumsi berlebihan konten daring yang dianggap ringan atau tidak menantang. Selain itu, istilah ini juga merujuk pada hal-hal yang berpotensi menyebabkan kemunduran tersebut.
Penggunaan pertama istilah Brain Rot tercatat pada tahun 1854 dalam buku Walden karya Henry David Thoreau, yang menggambarkan pengalamannya menjalani gaya hidup sederhana di alam. Dalam kesimpulannya, Thoreau mengkritik kecenderungan masyarakat untuk meremehkan ide-ide kompleks, atau ide-ide yang dapat ditafsirkan dalam berbagai cara, dan lebih suka ide-ide yang lebih sederhana.
Ia melihat hal ini sebagai tanda kemunduran dalam upaya mental dan intelektual: “Sementara Inggris berusaha mengatasi pembusukan kentang, apa tidak ada yang akan berusaha mengatasi pembusukan otak – yang jauh lebih meluas dan fatal?”
Pentingnya Pemeliharaan Akal dalam Islam
Islam memandang akal sebagai anugerah yang sangat berharga dari Allah SWT. Akal adalah kunci bagi manusia untuk memahami syariat, mengembangkan ilmu pengetahuan, serta mengarahkan kehidupan menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Tanpa pemeliharaan yang baik, akal dapat menjadi sumber kerusakan, baik bagi individu maupun masyarakat. Oleh sebab itu, menjaga akal termasuk dalam dharuriyat—hal-hal primer yang harus dilindungi dalam Islam, setara dengan perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, dan harta.
Namun, di era digital saat ini, tantangan untuk menjaga akal semakin besar. Konsumsi konten daring yang tidak terfilter—mulai dari video lucu tanpa makna hingga informasi palsu—menciptakan distraksi yang merusak daya pikir kritis manusia. Fenomena ini sangat berbahaya karena tidak hanya menurunkan kualitas intelektual, tetapi juga mengikis produktivitas dan kesehatan mental.
Islam dan Solusi Menghadapi Brain Rot
Islam menawarkan pendekatan holistik untuk melindungi akal dari kerusakan akibat konsumsi informasi yang tidak sehat. Pendekatan ini mencakup pendidikan syariat, pengendalian konsumsi informasi, keseimbangan spiritual dan fisik, serta pengembangan akal yang optimal melalui refleksi mendalam terhadap ciptaan Allah.
1. Nilai-nilai keimanan sebagai Fondasi Akal
Penanaman nilai-nilai keimanan sejak dini adalah langkah penting untuk membentuk pola pikir yang sehat. Anak-anak diajarkan tauhid, shalat, zikir, dan nilai-nilai kebaikan lainnya. Dengan keimanan, anak-anak tumbuh dengan kemampuan untuk memilah mana yang bermanfaat dan mana yang tidak.
Ketika nilai-nilai ini diterapkan dalam kehidupan, individu menjadi lebih sadar tentang bahaya konsumsi konten yang merusak. Sebagai contoh, ajaran untuk menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat—seperti disebutkan dalam QS. Al-Mu’minun: 3—menjadi panduan moral yang membentuk kebiasaan konsumsi informasi yang sehat.
2. Pengendalian Konsumsi Informasi
Dalam QS. Al-Maidah: 90, Allah SWT melarang konsumsi hal-hal yang memabukkan karena dapat merusak kesadaran dan akal. Larangan ini dapat diperluas secara kontekstual ke dunia modern, di mana konten digital berkualitas rendah bertindak seperti “racun” yang memabukkan pikiran.
Mengadopsi pendekatan ini, masyarakat Muslim diajarkan untuk tidak hanya menghindari makanan dan minuman haram, tetapi juga konten yang tidak bermanfaat. Dengan membatasi paparan terhadap konten dangkal dan lebih memilih informasi yang mendidik, individu dapat menjaga daya pikir mereka tetap tajam dan produktif.
3. Keseimbangan Spiritual dan Fisik
Islam menekankan pentingnya keseimbangan antara ibadah ritual dan kesehatan fisik. Shalat, zikir, dan pola makan halal yang baik (thayyib) adalah bagian integral dari pemeliharaan akal. Makanan dan minuman yang halal serta bergizi berkontribusi pada kesehatan fisik dan mental, yang pada gilirannya mendukung fungsi akal.
Dalam konteks Brain Rot, menjaga pola hidup sehat yang didasarkan pada ajaran Islam dapat membantu individu melawan dampak buruk dari konsumsi konten daring yang berlebihan. Sebuah pikiran yang sehat hanya dapat berfungsi optimal jika tubuh juga sehat.
4. Pengembangan Akal Melalui Refleksi dan Zikir
Konsep ulul albab dalam Al-Qur’an memberikan kerangka untuk menggunakan akal secara optimal. Allah SWT mendorong manusia untuk merenungi ciptaan-Nya sebagai cara untuk memperkuat iman dan meningkatkan kesadaran intelektual. Dengan cara ini, individu dapat membangun daya pikir kritis yang tidak mudah terganggu oleh konten yang tidak relevan.
Misalnya, refleksi mendalam terhadap QS. Ali Imran: 190-191 tentang penciptaan langit dan bumi dapat mengarahkan manusia untuk berpikir kritis dan menjauhi kebiasaan konsumsi informasi yang dangkal.
5. Mengintegrasikan Nilai Islam dalam Kehidupan Digital
Untuk mengatasi Brain Rot, manusia, terkhusus umat Islam perlu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan digital mereka. Langkah ini dimulai dari edukasi keluarga, di mana orang tua berperan sebagai panutan dalam mengatur pola konsumsi informasi. Selanjutnya, setiap orang dapat memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan konten berkualitas.
Pemerintah dan institusi pendidikan dapat berkolaborasi untuk menciptakan kampanye yang mempromosikan konsumsi informasi yang sehat dan membatasi akses ke konten yang merusak.
Kesimpulan
Konsep pemeliharaan akal dalam Islam adalah solusi yang relevan dan komprehensif untuk menghadapi fenomena Brain Rot di era digital. Dengan menanamkan keimanan, mengontrol konsumsi informasi, menjaga keseimbangan spiritual-fisik, dan memanfaatkan akal secara optimal, kita dapat melindungi diri dari dampak buruk konten digital yang tidak sehat.
Lebih dari sekadar mengatasi Brain Rot, pendekatan ini menawarkan cara hidup yang harmonis antara dunia digital dan nilai-nilai spiritual. Dengan memegang teguh prinsip pemeliharaan akal dalam Maqashid Al-Syari’ah, masyarakat Muslim tidak hanya dapat menjaga kualitas intelektual mereka, tetapi juga memberikan kontribusi positif kepada peradaban global. Islam, dengan ajarannya yang universal, sekali lagi membuktikan relevansinya dalam menjawab tantangan modern.
Referensi
Rasyid, Muh. Haras. “Memelihara Akal dalam Maqasidu Al-Syari’ah: Suatu Solusi Preventif terhadap Kejahatan.” Jurnal, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) dan Universitas Islam Makassar (UIM), Volume 6, Nomor 2, Juli 2020.
Oxford University Press. “Brain Rot Named Oxford Word of the Year 2024.” Oxford University Press News, 2024. https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/
Editor: Soleh