Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian. Sektor ini mencakup aktivitas seperti pertambangan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan eksploitasi hutan. Namun, di balik kontribusi ekonomi yang signifikan, rezim ekstraktif membawa dampak jangka panjang yang mengancam kesejahteraan antar generasi. Model pembangunan yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keberlanjutan menghadirkan tantangan serius dalam berbagai aspek—ekonomi, sosial, lingkungan, dan politik.

Dampak Ekonomi: Ketergantungan yang Membahayakan

Rezim ekstraktif memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi generasi sekarang, terutama dalam bentuk pendapatan dari ekspor komoditas seperti batubara, minyak kelapa sawit, dan hasil tambang lainnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, ekspor minyak kelapa sawit menyumbang sekitar 15% dari total ekspor Indonesia, menjadikannya salah satu sektor unggulan. Namun, ketergantungan ekonomi pada sumber daya yang tak terbarukan ini menciptakan risiko besar bagi generasi mendatang. 

Ketergantungan pada komoditas seperti kelapa sawit dan batubara membuat ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketika harga komoditas jatuh, seperti yang terjadi pada krisis harga sawit tahun 2022, dampaknya terasa luas, mulai dari penurunan pendapatan negara hingga pemutusan hubungan kerja. Generasi mendatang berpotensi menghadapi ketidakstabilan ekonomi yang lebih parah ketika sumber daya ini mulai habis, mengingat kurangnya diversifikasi ekonomi saat ini. 

Selain itu, distribusi keuntungan dari sektor ekstraktif sering kali tidak merata. Data dari Oxfam Indonesia menunjukkan bahwa 1% kelompok terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 50% kekayaan nasional, termasuk keuntungan dari sektor ekstraktif. Akibatnya, kesenjangan ekonomi antar generasi semakin melebar, di mana hanya segelintir elit yang menikmati kekayaan sementara masyarakat luas, terutama generasi muda di daerah pedesaan, tetap terjebak dalam kemiskinan struktural. 

Baca Juga  Resensi Buku "Islamikasi Indonesia"

Dampak Sosial: Konflik dan Hilangnya Identitas

Ekspansi sektor ekstraktif, terutama perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, sering kali melibatkan pengambilalihan lahan masyarakat adat dan petani kecil. Konflik agraria menjadi fenomena yang tak terpisahkan dari rezim ekstraktif. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya 241 konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2023, dengan sebagian besar terkait dengan sektor perkebunan. 

Generasi sekarang, terutama masyarakat adat, menghadapi risiko kehilangan tanah leluhur mereka. Tanah ini bukan hanya aset ekonomi tetapi juga simbol identitas budaya. Hilangnya tanah berarti hilangnya ikatan dengan tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan antar generasi. Generasi mendatang, yang terputus dari tanah leluhur mereka, akan menghadapi krisis identitas yang dapat memengaruhi stabilitas sosial jangka panjang. 

Selain itu, hilangnya akses terhadap tanah mendorong banyak generasi muda untuk bermigrasi ke kota besar sebagai buruh. Fenomena urbanisasi ini menciptakan masalah baru, termasuk kemiskinan perkotaan dan tekanan pada infrastruktur kota. Generasi muda yang hidup di kota tanpa keterampilan yang memadai sering kali terjebak dalam pekerjaan informal dengan penghasilan rendah, memperparah siklus kemiskinan antar generasi. 

Dampak Lingkungan: Warisan Kerusakan yang Sulit Dipulihkan

Rezim ekstraktif meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang masif, yang dampaknya dirasakan langsung oleh generasi sekarang dan diwariskan kepada generasi mendatang. Deforestasi besar-besaran akibat ekspansi kelapa sawit dan pertambangan telah mengubah lanskap Indonesia secara drastis. Menurut laporan Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 10 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. 

Kerusakan lingkungan ini membawa konsekuensi serius bagi generasi mendatang. Hilangnya hutan primer berarti hilangnya keanekaragaman hayati, yang tidak hanya penting bagi ekosistem tetapi juga bagi penghidupan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya hutan. Selain itu, degradasi lahan akibat monokultur kelapa sawit mengurangi kesuburan tanah, mengancam ketahanan pangan di masa depan. 

Baca Juga  Haedar Nashir: Elit Politik Harus Kedepankan Jiwa Kenegaraan

Fenomena perubahan iklim, yang diperparah oleh emisi karbon dari sektor ekstraktif, menambah kompleksitas tantangan lingkungan. Generasi mendatang akan mewarisi bumi yang lebih panas, dengan frekuensi bencana alam yang meningkat seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Hal ini tidak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan tetapi juga stabilitas sosial dan ekonomi. 

Dampak Politik: Lemahnya Kedaulatan dan Konflik Kepentingan

Rezim ekstraktif sering kali melibatkan dominasi korporasi multinasional dalam eksploitasi sumber daya alam. Hal ini melemahkan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya dan menciptakan ketergantungan pada investasi asing. Generasi sekarang hidup di bawah sistem politik yang sering kali mengutamakan kepentingan korporasi dibandingkan rakyat. Contoh nyata adalah lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan atau pelanggaran hak asasi manusia. 

Bagi generasi mendatang, warisan politik ini dapat menciptakan sistem yang semakin korup dan tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat. Ketimpangan kekuasaan antara masyarakat dan elit ekonomi memperbesar risiko konflik politik, baik dalam bentuk pemberontakan sosial maupun ketegangan antar kelompok. Generasi muda yang merasa terpinggirkan mungkin tumbuh dalam sistem yang penuh ketidakpercayaan terhadap institusi negara, yang dapat mengancam stabilitas politik jangka panjang. 

Perlunya Gerakan Bersama untuk Melawan Rezim Ekstraktif dan Oligarki

Perubahan sistemik hanya dapat tercapai melalui gerakan bersama yang melibatkan berbagai elemen masyarakat—kaum muda, masyarakat adat, petani, akademisi, aktivis lingkungan, dan organisasi masyarakat sipil. Gerakan ini harus berfokus pada melawan oligarki dan elit penguasa yang memanfaatkan rezim ekstraktif untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan masa depan anak bangsa. 

Langkah kolektif harus diarahkan pada upaya mengungkap praktik-praktik korupsi dan ketidakadilan, memperjuangkan hak atas tanah bagi masyarakat adat dan petani, serta menuntut transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam. Gerakan ini juga perlu mendorong kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya keberlanjutan sebagai warisan bagi generasi mendatang. 

Baca Juga  Konsolidasi Kebangsaan Angkatan Muda Muhammadiyah

Hanya dengan bersatu melawan kekuatan oligarki dan korporasi besar, masyarakat Indonesia dapat mengamankan hak dan kedaulatan atas sumber daya alamnya. Generasi muda harus menjadi motor penggerak perubahan, dengan membawa narasi keberlanjutan ke ruang-ruang publik, legislatif, dan politik nasional. 

Penutup

Nasib antar generasi di Indonesia di bawah rezim ekstraktif menghadapi ancaman serius. Generasi sekarang menikmati manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi dengan mengorbankan kesejahteraan generasi mendatang. Tanpa perubahan sistemik dan gerakan kolektif yang terorganisasi, generasi berikutnya berisiko mewarisi warisan kerusakan ekonomi, sosial, lingkungan, dan politik yang sulit dipulihkan. 

Indonesia membutuhkan perubahan mendasar yang melibatkan semua pihak untuk melawan rezim ekstraktif dan oligarki, serta membangun model pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan langkah ini, kekayaan sumber daya alam Indonesia dapat menjadi berkat yang diwariskan dengan adil bagi seluruh anak bangsa. 

Editor: Soleh

7 posts

About author
Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds